Sepuluh tahun yang lalu ...
Seorang laki-laki berusia dua puluh tahun tengah sibuk mengerjakan tugas kuliahnya di sebuah bangku taman yang memang sering dia kunjungi, jari-jarinya menari di atas keyboard laptopnya sambil sesekali memikirkan apa yang akan dia ketik. Suasana taman lumayan sepi dan sedang mendung sehingga dia tidak akan merasa takut terganggu dengan keramaian ataupun dengan teriknya sinar matahari, mungkin hari ini adalah hari beruntung baginya karena dapat mendapatkan sebuah ketenangan untuk fokus dengan apa yang tengah dia kerjakan. Sebenarnya jika dia mau, dia bisa saja mengerjakan tugas itu di dalam kamarnya ataupun tempat yang tidak seterbuka taman. Tetapi dia memilih mengerjakan di sini, karena menurutnya tempat terbuka seperti ini bisa membuat pikirannya sedikit rileks dengan tugas-tugas menumpuk yang tengah menantinya.
Segerombolan anak yang masih mengenakan seragam SMP melewatinya, suara berisik terdengar melalui telinganya ketika segerombolan anak SMP itu semakin mendekat ke arahnya. Dia merasa sedikit tidak fokus dengan kebisingan yang terdengar, akhirnya dia memutuskan untuk melihat anak-anak SMP yang menurutnya sangat berisik sekali. Matanya langsung menatap seorang anak perempuan berseragam SMP yang sepertinya tengah memarahi teman laki-lakinya, awalnya dia tidak mendengar dengan jelas pembicaraan mereka. Namun makin lama dia semakin dapat mendengar dengan jelas, apalagi ternyata empat orang anak SMP itu duduk di bangku sebrang yang cukup dekat dengannya.
"Lo tuh ya, kalau gue bilangin sering ngeyel. Di hukum kan akhirnya lo," ucap gadis SMP itu pada temannya yang terlihat urakan.
"Habis gimana Ra, si Doni tuh suka banget cari masalah sama gue. Sebagai seorang laki-laki yang gentle, gue enggak mungkin lah terima begitu aja." Terlihat gadis SMP yang dipanggil Ra itu menghela napasnya.
"Gue bukannya bermaksud ngatur lo ya, Dit. Tetapi sebagai teman yang baik, gue bertugas mengingatkan teman-teman gue yang akan terjerumus. Gue enggak mau lihat lo berantem lagi sama Doni, lo kan tahu sendiri kalau tuh anak emang suka banget mancing emosi lo? Dia ngomong gitu biar lo terpancing sama omongannya, terbukti kan kalian berantem dan tadi di hukum? Kita ini udah mau ujian loh, seharusnya lo bisa mengontrol emosi lo kalau-kalau Doni mau cari masalah lagi sama lo. Gue enggak mau lo dapat masalah dan akhirnya enggak dibolehin ujian, kita itu dari dulu udah sekolah sama-sama dan gue maunya juga lulusnya sama-sama lo ngerti kan maksud gue, Dit?" Lelaki yang dipanggil Dit itu mengangguk lemah, benar apa yang temannya itu katakan. Seharusnya dia tidak boleh terpancing dengan omongan Doni, musuhnya itu memang suka sekali mencari masalah dengannya di setiap waktu.
"Iya Ra, maafin gue ya kalau gue lagi-lagi kepancing sama omongannya Doni. Perkataan Doni tadi benar-benar buat gue emosi Ra, gue enggak bisa nahannya. Rasanya gue mau tonjok aja tuh anak biar mampus sekalian!" Dia masih merasa kesal dengan perkataan Doni beberapa jam lalu.
"Heh! Enggak boleh ngomong gitu, ingat kita tuh pelajar. Sebagai pelajar seharusnya kita bisa ngomong hal yang baik-baik, enggak boleh kasar, enggak boleh bermusuhan. Bukannya Ibu dan Bapak guru kita sering ajarin kita sopan-santun kan? Nah kita yang udah gede gini harusnya bisa mikirin hal yang membuat kita untung ataupun hal yang malah membuat kita buntung! Coba bayangkan kalau misalnya perkataan kita kasar, emangnya ada yang mau nerima kita jadi pegawainya? Enggak kan!? Makanya itu kepintaran itu nomor kesekian, yang paling penting dan jadi nomor satu itu adalah sopan-santun!" ucap gadis SMP itu menggebu-gebu ketika menjelaskan pada ketiga temannya.
"Iya Bu guru mengerti!" Kompak ketiga temannya menjawab berbarengan.
"Enggak usah panggil gue Bu guru, cita-cita gue bukan jadi guru" ucapnya sambil mendengus.
"Loh emang cita-cita lo apa Ra? Padahal lo tuh cocok banget tau jadi Bu guru, ya enggak teman-teman?" tanya lelaki berpenampilan urakan itu pada dua temannya.
"Tentu aja jadi sekretaris CEO dong," ucap gadis itu sambil menerawang.
"Hah!?" Ketiganya bengong ketika mendengar cita-cita gadis itu.
"Kalian kenapa? Emangnya ada yang salah sama cita-cita gue?" tanyanya kesal ketika melihat tatapan aneh teman-temannya.
"Cita-cita lo terlalu aneh Ra buat kita yang masih kecil gini," ucap gadis yang rambutnya dikucir kuda.
"Aneh gimana sih Lau? Gue tuh ya pengen banget jadi sekretaris kayak novel yang gue baca itu, kerja jadi sekretaris enak banget tuh. Nanti gue bisa ketemu sama CEO ganteng, cool, cinta sama gue. Terus kami menikah, punya anak dan hidup bahagia selamanya. Selesai!" Ketiga temannya kembali menganga mendengar kehaluan gadis di hadapan mereka yang sudah pada taraf overdosis.
"Ra itu kan di dunia novel, beda sama dunia nyata Ra. Sadar Ra! Lagian lo tuh masih kecil masa udah baca cerita yang nikah-nikah gitu, enggak cocok sama umur lo. Nanti lo dewasa sebelum waktunya mau?" Gadis itu sontak saja mengangguk membuat ketiganya tak mengerti dengan jalan pikiran temannya yang tadi bersikap dewasa, namun kini semakin bertambah-tambah kedewasaannya yang sama sekali tak cocok dengan umurnya.
"Ih gue udah gede ya! Udah dewasa nih, buktinya gue udah mens kan. Terus kita juga udah mau lulus SMP dan sebentar lagi masuk SMA, masih kecil apanya coba? Lagian cita-cita tuh harus dipikirkan dari sekarang supaya kita bisa tahu apa yang harus kita lakukan untuk menggapai cita-cita kita. Menurut gue cita-cita menjadi sekretaris CEO tuh enggak salah, memangnya ada yang melarang? Kalau ada yang melarang siniin orang yang melarang seseorang bercita-cita. Gue mau ngasih tau dia kalau cita-cita adalah bagian dari tujuan hidup selain menikah dan punya anak!" Teman-temannya tercengang mendengar perkataan gadis itu, bahkan mulut mereka sampai ternganga hingga hampir saja meneteskan air liur karena terlalu lama terbuka.
"Astaga Ra! Lo dapat ilmu dewasa dari mana? Pasti dari novel pernikahan yang ada di kamar lo kan?" Gadis yang tadi dipanggil Lau menggeleng tak percaya menatap sahabatnya.
"Itulah pentingnya ilmu, ilmu tuh enggak harus di ambil dari buku pelajaran aja. Tetapi di novel pun ada ilmu yang diselipkan oleh penulisnya, memangnya ilmu dewasa diajarkan sama guru kita? Enggak kan. Makanya kita harus belajar sendiri, ya kayak gue ini lah" ucapnya tersenyum bangga pada dirinya sendiri. Baginya menjadi orang dewasa pasti sangat menyenangkan, ah rasanya dia tak sabar ingin usianya semakin bertambah dewasa.
"Kami tau sih Ra, tapi lo dewasanya kecepatan. Udah ah yuk pulang, gue mau ngadu sama Tante Lia. Biar anaknya ini enggak jadi dewasa sebelum waktunya," ucap gadis yang dipanggil Lau itu kemudian menarik tangan gadis yang sedari tadi mengoceh tentang kedewasaan.
"Laura! Jangan tarik-tarik gue dong, sakit nih." Laura akhirnya melonggarkan tarikannya kemudian menatap kedua temannya yang masih diam.
"Kalian enggak mau ikut pulang?" tanyanya yang membuat dua temannya itu langsung menyusul.
"Ya mau dong! Hei jangan ditinggal, tunggu!" Keempat remaja SMP itu saling berlarian di pinggir jalan sesekali tertawa.
Pria yang sedari tadi memerhatikan interaksi keempat remaja tadi pun terperangah, dia masih mengingat dengan jelas ucapan gadis SMP yang bercita-cita sebagai sekretaris CEO. Mengingat itu dia tersenyum geli kemudian kembali sibuk dengan laptopnya, meskipun dia merasa sedikit terganggu ketika bayangan wajah gadis SMP itu serta perkataanya yang penuh dengan kedewasaan memenuhi pikirannya. Astaga ada apa dengan dirinya? Tidak mungkin kan dirinya merasa tertarik dengan seorang gadis yang masih SMP?
"Mikirin apa?" Relix tersentak ketika mendengar sebuah suara lengkap dengan dua tangan yang memeluk tubuhnya dari belakang.
"Enggak mikirin apa-apa kok," jawab Relix sambil mengusap lengan Syafira yang melingkari perutnya.
Syafira jelas saja tidak percaya dengan perkataan Relix, suaminya itu pasti tengah memikirkan sesuatu. Dia yakin itu, buktinya saja tadi Relix sangat sibuk dengan lamunannya itu. Sebentar-sebentar pria itu tersenyum kemudian keningnya berkerut, sebenarnya apa yang tengah Relix pikirkan? Karena tidak ingin terlalu berpikiran negatif akhirnya Syafira diam saja. Wanita itu memilih semakin mengeratkan pelukannya pada perut Relix dengan kepala yang dia tempelkan di punggung tegap Relix yang terasa nyaman untuknya bersandar.
"Tumben kamu mau peluk-peluk aku duluan, biasanya juga kalau enggak aku yang mulai kamu mana mau meluk aku" kata Relix membuat Syafira mengendurkan pelukannya.
"Memangnya salah kalau aku peluk duluan? Ya udah deh, aku lepas." Syafira melepaskan pelukannya dari perut Relix dan akan berbalik memasuki kamar, namun Relix langsung menarik tangannya hingga wanita itu menubruk d**a bidang Relix.
"Gitu aja ngambek," cibir Relix kemudian memeluk tubuh Syafira erat.
"Kamu yah!" kesal Syafira sambil kembali memukul d**a Relix berkali-kali.
"Sakit, Yang. Kamu ini ya sama suami enggak ada manis-manisnya, harusnya suami tuh di sayang-sayang. Dicium-cium, bukannya dianiaya seperti ini." Bibir Syafira mengerucut mendengarnya.
"Itu sih memang maunya kamu!" Relix menyengir.
"Tadi kamu mikirin apa?" tanya Syafira yang teringat kalau Relix sedari tadi melamun sambil tersenyum tidak jelas.
"Yang mana?" Dagu Relix dia sandarkan di atas kepala Syafira yang tingginya hanya sebatas lehernya.
"Yang tadi, sebelum aku ke sini. Kamu tuh sebentar-sebentar senyum, sebentar-sebentar mengerut. Mikirin apa sih tadi?" Syafira masih sangat penasaran dengan apa yang dipikirkan Relix.
"Enggak mikirin apa-apa beneran deh, Yang." Tidak mungkin 'kan Relix memberitahu Syafira apa yang dia pikirkan tadi? Dia tidak mau kalau sampai istrinya besar kepala.
"Mikirin apa?" tuntutnya dengan mata menyipit penuh curiga.
"Enggak ada." Relix masih keras kepala tak mau memberitahu isi kepalanya pada Syafira.
"Jangan bilang kamu mikirin cewek lain makanya kamu enggak mau ngasih tau aku!" tuduh Syafira membuat Relix langsung melepaskan pelukannya dan kini meminta Syafira agar menatap matanya.
"Kenapa kamu sampai berpikiran seperti itu?" tanya Relix dengan wajah serius.
"Ya habisnya kamu enggak mau jawab." Bibir Syafira mengerucut membuat Relix tak tahan jika tak mengecup bibir istrinya yang terlihat menggoda dengan bibir cemberut seperti itu.
Cup
"Ih!" Refleks Syafira memukul d**a Relix ketika suaminya itu tiba-tiba mengecup bibirnya sekilas.
"Main nyosor aja!" sungut Syafira kesal.
"Kenapa aku kena pukul sih, Sayang? Harusnya kamu senang dapat ciuman dari aku!" Wanita itu memutar bola matanya malas.
"Jawab dulu pertanyaan aku tadi," pintanya masih keras kepala ingin agar Relix memberitahukan isi kepalanya pada Syafira.
Relix menatap Syafira dengan intens, pria itu mulai menerawang. Dia kembali mengingat-ingat wajah saat Syafira masih kecil, tak ada yang berbeda dari wajah itu. Istrinya itu tetap cantik dari dulu hingga sekarang, bahkan sekarang pun kecantikan Syafira sudah bertambah berkali-kali lipat. Kalau saja dia bisa memutar waktu, maka dia akan menghampiri saat Syafira masih mengenakan seragam SMP-nya. Dia ingin memuji kedewasaan Syafira secara langsung, tetapi bukankah itu sudah sangat terlambat? Yang terpenting sekarang dirinya sudah memiliki Syafira. Itu sudah lebih dari cukup untuk Relix, mencintai Syafira dan Syafira yang membalas cintanya adalah hal berharga yang selalu ingin Relix jaga dan pertahankan.
"Ngelamun lagi!" tegur Syafira sambil mencubit pipi Relix membuat pria itu kembali tersadar dari lamunannya.
"Mikirin apalagi sekarang? Kebanyakan melamun itu enggak baik loh," ucapnya membuat Relix mengulum senyum.
"Malah senyum, pertanyaan aku ini perlu dijawab dengan kata-kata. Aku enggak butuh jawaban berupa senyum." Relix semakin melebarkan senyumnya ketika melihat wajah kesal Syafira.
"Kamu," ucap Relix sambil tersenyum dan hal itu membuat Syafira mengernyit.
"Apa?" tanyanya.
"Aku mikirin kamu." Syafira langsung mencubit perut Relix kuat-kuat.
"Serius ih! Gombal mulu dari tadi." Relix berjengit sebentar ketika Syafira melayangkan cubitannya.
"Serius, Sayang. Mana pernah coba aku bohong sama kamu? Lagian gombal dari mananya sih? Orang aku ngomong serius juga." Syafira memilih tak menanggapi Relix wanita itu malah memandangi pemandangan di bawah sana.
Mereka memang sedang berada di balkon kamar, pemandangan malam memang cukup indah. Apalagi apartemen mereka yang memang berada di lantai teratas, jika kalian ingin tahu saja kalau harga apartemen ini bahkan lebih mahal dari sebuah rumah elite sekalipun, itu karena Relix ingin memberikan yang terbaik untuk Syafira–wanita yang sangat dia cintai. Jika dia mau, sebenarnya dia bisa saja membuatkan rumah untuk sang istri. Tetapi dia ingin memberikan kejutan itu di waktu yang tepat, masalah harga apartemen Syafira tak tahu menahu karena dia menyembunyikannya.
"Tuh kan giliran aku jawab jujur kamu malah enggak percaya sama aku, aku bohong kamu marahin aku. Sebenarnya kamu maunya apa, Sayang? Kamu mau kalau aku beneran mikirin cewek lain?" Syafira langsung menoleh dan menatap suaminya sinis.
"Matanya enggak usah dipelototin gitu dong, Sayang. Serem, buat yang di bawah makin berontak aja." Dan untuk kesekian kalinya, Syafira menghadiahi cubitan mautnya di perut suaminya yang kini meringis.
"Kamu ini ya suka banget cubit-cubit perut aku, nanti kalau enggak kotak-kotak lagi gimana?" Syafira berdecak, ini kenapa Relix berubah menjadi cerewet seperti ini sih? Dan mengapa hal itu terdengar menyebalkan ditelinga Syafira?
"Masih enggak percaya kalau aku tadi mikirin kamu?" tanya Relix yang kembali memeluk Syafira dari belakang, pria itu dapat merasakan kalau sang istri menggeleng dalam pelukannya.
"Buat apa kamu mikirin aku? Orang aku ada di sini juga," balas Syafira.
"Ya udah kalau kamu enggak percaya, intinya aku tuh mikirin kamu. Tepatnya sepuluh tahun yang lalu, pertemuan pertama kita. Saat kamu dengan dewasanya mengatakan pada temanmu itu bahwa kamu ingin jadi sekretaris CEO, dan sekarang cita-cita masa kecilmu itu terwujud. Bahkan kamu jadi istri aku," ucap Relix dengan penuh senyuman.
"Sepuluh tahun yang lalu? Pertemuan pertama kita? Bukannya kita pertama bertemu waktu kamu ke rumah dan bertemu dengan Kak Sandi?" tanya Syafira bingung, Relix tak menjawab dia malah mengeratkan pelukannya dan hal itu membuat Syafira penasaran setengah mati.