Bab 1 - Terbongkar Semuanya
Plak!
"Amar!" pekik seorang wanita.
"Beraninya kamu memukulku! Aku ini istrimu, Mar! Tega sekali kamu melakukan ini padaku!" tangisnya pecah akibat perlakuan suaminya.
Dia tidak menyangka, suaminya tega melakukan hal ini padanya. Meski dia sudah berusaha keras dan mencoba bertahan atas kegilaan suaminya.
"Diam, Rheiny, Diam!" bentak Amar pada wanita yang masih berstatus sebagai istrinya itu.
"Tega kamu, Mar! Kurang apa aku selama ini padamu dan keluargamu, hah?! Aku melakukan semua tugasku sebagai istri dan menantu di rumah, meski aku tidak diperlakukan dengan layak oleh kalian!" pekik Rheiny membela dirinya. Sudah cukup selama ini dia hanya diam saja diperlakukan semena-mena oleh Suami beserta Keluarga sang Suami.
Dia tidak ingin lagi ditindas lebih dari ini. Dia ingin melepaskan diri dari belenggu penderitaan yang diperbuat oleh suaminya.
"Diam, Rhe! Lebih baik sekarang kamu diam dan lakukan tugasmu. Karena kamu, aku jadi tidak bisa menuntaskannya!" perintah Amar dengan egois. Setelah memukuli dan menganiayai Rheiny. Sekarang pria itu memaksa Rheiny untuk melayaninya.
"Tidak! Aku tidak mau! Lepaskan, Berengsek, lepas! Jangan sentuh ak..., aaghh!" teriak Rheiny.
Dia berusaha memberontak, tetapi sebuah tamparan keras lagi-lagi mendarat diwajahnya, yang sudah banyak sekali memar dan luka akibat pukulan bertubi Amar.
Pria itu tidak memedulikan penampilan sang Istri yang mengenaskan, tidak peduli akan tangisan, dan permohonan Rheiny yang begitu memelas.
"Lakukan, Rheiny! Aku suamimu, Jalang!" bentak Amar dan merobek pakaian Rheiny.
"Mar, kumohon. Jangan seperti ini," pinta Rheiny sangat memelas dengan air mata menetes deras diwajahnya.
"Kamu sedang emosi Aland, kita bisa melakukannya nanti saat kamu sudah meredakan amarahmu," ucap Rheiny mencoba membuat Suami yang sudah berada di atas tubuhnya mengerti.
"Aakkhh!!" teriak Rheiny saat Amar melakukannya dengan kasar. Dia bahkan tidak siap, tetapi Amar tidak peduli pada Rheiny.
Meski wanita itu memohon-mohon padanya, Amar terus saja melakukannya demi menuntaskan kepuasannya semata.
Amar, pria itu ketahuan sedang bermesraan dengan seorang wanita, yang diketahui adalah sahabatnya sendiri, yaitu Christina. Rheiny yang murka mencoba menampar sahabatnya. Namun, Amar mencegah dan malah memukuli Rheiny dihadapan sahabatnya. Membuat Christina menjadi besar kepala dan menyunggingkan seringaian puas atas apa yang menimpa Rheiny.
Bahkan Christina pun memarahi Amar dan pergi begitu saja meninggalkan mereka. Sehingga saat ini, Rheiny harus menanggung semua kebejatan dan kekejian sang Suami.
"Aku akui, kamu jauh lebih cantik dari Christina. Tapi, wanita itu jauh lebih hebat saat melayaniku di atas ranjang, Rhe. Tidak seperti kamu yang hanya diam seperti sebatang kayu!" ungkap Amar sambil terus menggerakan tubuh bagian bawahnya dengan kasar.
Sementara Rheiny hanya meringis dan menahan sakit akibat perbuatan sang Suami.
"Sakit, Mar! Tolong hentikan!" pinta Rheiny memelas dengan suara merintih. Amar terus saja menghentakkan dengan kasar di bawah sana. Amar bahkan menggenggam kedua asetnya dengan brutal. Rasa sakit bukan hanya dirasakan ditubuh bagian bawah Rheiny, melainkan dikedua aset berharganya juga tak luput dari amukan Amar.
"Diam, Rhe! Eunghh!" erang Amar saat mendapatkan apa yang dia inginkan.
"Hiks.., hiks..," tangis Rheiny pecah saat Amar telah menyelesaikan perbuatannya. Dia merasa puas dan sudah mendapatkan keinginannya. Amar bahkan meninggalkan Rheiny begitu saja tanpa mengatakan apa pun.
Ceklek
Rheiny menoleh untuk melihat siapa yang membuka pintu itu. Saat dia melihat sang Suami, Amar. Wajahnya sedikit berharap dan hatinya merasa senang.
Mungkin Amar kembali untuk meminta maaf padanya. Namun, apa yang dia harapkan sirna begitu saja.
"Satu lagi, Rhe! Jangan pernah mengganggu hubunganku dan Christina! Sekarang kami tidak perlu lagi menutup-nutupi hubungan kami. Jadi, biarkan kami dan lakukan saja tugasmu di rumah ini dengan benar!" perintah Amar tanpa belas kasih. Dia menatap Rheiny jijik dan enggan. Bagaimana mungkin dulu dia bisa menikahi wanita seperti Rheiny. Harusnya dulu dia menikahi Christina, bukan Rheiny.
Rheiny membuatnya muak dan jijik. Penampilan dan aroma tubuhnya membuat Amar mual. Sebab, Rheiny yang sekarang sangat berbeda jauh dengan yang dulu.
Sekarang istrinya hanya memakai pakaian lusuh, tidak pernah berdandan, dan selalu berpenampilan tidak layak. Tidak ada satu pun yang dapat dibanggakan atau dipamerkan oleh Amar atas istrinya itu.
"Kau menjijikkan, Rhe!" seru Amar dengan suara kencang di depan Rheiny dan menutup pintu kamar dengan sangat kuat.
"Hiks...," Rheiny merungut dan memeluk tubuhnya sendiri.
"Kenapa, Mar? Kenapa mesti dia? Kenapa mesti sahabatku? Kenapa kalian melalukan ini padaku? Salah aku apa pada kalian?!" tangisnya semakin pecah saat banyaknya pertanyaan yang dia ucapkan tanpa habisnya.
Semakin memikirkannya, semakin dia merasa sakit hatinya. Dia tidak mengerti kesalahan apa yang telah dilakukannya.
Dia sudah menjadi istri yang baik. Bangun disaat yang lain masih tidur nyenyak, memasak, membersihkan rumah, mengurus anak dengan baik. Namun, apa yang dilakukannya selalu saja salah. Selalu saja ada sesuatu yang membuatnya dihina dan diperlakukan tidak pantas oleh Amar beserta keluarganya. Padahal rumah yang mereka tempati ini adalah rumah milik Rheiny. Peninggalan dari orang tuanya untuk dirinya.
Tok Tok
"Mama..?!"
Suara seorang anak lelaki terdengar ditelinga Rheiny.
Dengan tergesa-gesa, Rheiny mengambil pakaian apa pun dan memakainya. Setelah bersiap, Rheiny melangkah mendekati pintu kamar dan membukanya. Sudah berdiri seorang anak laki-laki kecil di sana.
"Valden, sini Nak," panggil Rheiny lembut.
Valden Channing merupakan anak kandung Rheiny Quellatte dan Amar Channing, yang berusia lima tahun.
Putranya itu hanya menatap wajah sang Ibu dalam diam. Mengamati ekspresi ibunya.
"Aah, ini tadi mama tidak sengaja terjatuh, Nak. Tidak perlu khawatir, ini akan sembuh saat Mama mengoleskan salep nanti," ucap Rheiny tersenyum pada putranya. Dia mencoba menutupi apa yang telah dilakukan oleh Ayah kandung putranya.
"Mama, ayo kita pelgi dali sini!" seru Valden pada Rheiny, hingga membuat mata wanita itu membulat dengan sempurna.
"Valden, kenapa Nak? Apa kamu Nenek dan Kakek memarahimu?" tanya Rheiny menatap cemas pada putranya. Dia juga mencoba memerika tubuh putranya.
Seandainya saja putranya dipukul oleh mertuanya, Rheiny tidak akan tinggal diam.
Meski itu tidak mungkin terjadi. Rheiny lebih tahu dari siapa pun, kalau mertua dan suaminya begitu menyanyangi Valden. Mereka tidak akan menyakiti Valden.
"Hem," gumam Valden sambil menggeleng.
"Valden tidak suka ada di sini! Meleka jahat sama Mama!" ucap Valden tegas dengan gaya khas seorang anak kecil.
"Mama jangan bohong Valden lagi. Valden tahu semuanya. Papa lagi-lagi mukuli Mama, 'kan?!" tandas Valden.
Meski dia baru berumur lima tahun. Namun, dia cukup dewasa untuk ukuran anak lima tahun.
Bagaimana tidak, jika setiap hari dia terus melihat ibunya disiksa dan dianiaya oleh orang-orang yang tinggal di rumah ini.
Hanya saja, Valden selalu diam dan berpura-pura tidak tahu saat ibunya berbohong padanya.
"Val...," lirih Rheiny menatap putra semata wayangnya dengan mata berkaca-kaca.
"Bukan gitu, Sayang. Papa itu ...," baru saja hendak menjelaskan. Namun, putranya telah memotong perkataannya.
"Mama jangan bohongi Valden lagi. Valden tahu semuanya, Ma. Selama ini Valden hanya pula-pula tidak tahu. Valden tidak mau membuat Mama tambah cedih. Valden juga tahu tentang Papa dan Tante Chlistina. Papa seling ajak Valden pelgi belcama Tante itu. Meleka seling melakukan sesuatu yang Valden tidak tahu apa itu, meleka membuat suala yang aneh. Lalu meleka meminta Valden untuk melahasiakannya dali Mama," jelas Valden dengan sangat polos.
Rheiny yang mendengarnya tidak percaya. Ingin rasanya dia tidak mempercayai semua perkataan putranya. Namun, dia sangat tahu tentang putranya. Putranya tidak mungkin berbohong padanya.
Dalam hatinya, Rheiny mengutuk kedua orang itu. Beraninya mereka melakukan hal b***t dan m***m seperti itu didepan putranya tanpa tahu malu. Bahkan mereka meminta seorang anak kecil untuk merahasiakannya.
Rheiny merasa hancur dan gagal menjadi seorang ibu. Ternyata tanpa dia sadari, Rheiny membuat putranya tersakiti dengan keluarga yang seperti ini.
Rheiny juga baru tahu, ternyata putranya mengetahui semua apa yang dia alami. Padahal selama ini, Rheiny berusaha mati-matian untuk menutupi semuanya.
"Nak, kamu terlalu cepat dewasa, Sayang. Maafkan Mama, Nak! Maaf...," lirih Rheiny memeluk putranya erat.
Rheiny menangis tersedu-sedu dan putranya membalas pelukannya serta mengusap-usap punggung Rheiny. Menenangkannya layaknya dia seorang pria dewasa.
Hati Rheiny begitu sakit. Miris sekali! Harus mengetahui keadaan putranya seperti ini. Andaikan saja dia dapat membuat pilihan yang tegas, mungkin saja Valden tidak akan seperti ini.
Putranya-Valden, pasti akan tetap menjadi seorang anak kecil yang polos dan bertingkah sesuai usianya.
Rheiny memang curiga saat Valden menunjukkan sikap yang tak biasa. Namun, dia menepis semuanya. Karena Valden begitu pandai dan lihai mengelabuinya.
"Mama jangan nangis lagi yah. Valden tidak suka lihat Mama menangis," ucap Valden pelan. Dia tidak menangis seperti anak lainnya. Valden bersikap dewasa dan tidak sesuai dengan umurnya.
"Nak, terkadang menangis sesekali itu tidak masalah. Jika hatimu terasa sedih, kamu boleh menangis. Tidak akan ada yang melarang hal itu," jelas Rheiny pada Valden.
"Tapi Papa, Nenek, Kakek, dan Paman seperti itu. Mereka selalu memarahi aku kalau aku menunjukkan sedikit saja perasaanku. Terlebih mereka akan memukulku, kalau aku menangis!"
Bagai disambar petir. Hati Rheiny hancur berkeping-keping.
Masalahnya, Rheiny tidak pernah tahu mereka berbuat kasar seperti itu pada putranya. Karena yang Rheiny tahu, orang-orang di rumah ini sangat menyanyangi Valden. Mereka tidak pernah memarahinya sekali pun.
"Nak, apa mereka benar memukulmu?" tanya Rheiny tak percaya.
"Hem, setiap hari saat Mama tidak ada di rumah," jawab Valden cepat.
Seketika Rheiny teringat sesuatu. Dia pernah beberapa kali menemukan memar ditubuh Valden.
Namun, putranya tidak pernah mengatakan apa pun saat dia bertanya. Karena penasarannya tak kunjung hilang, Rheiny bertanya pada orang rumah dan mereka menjawab bahwa Valden terjatuh.
Rheiny yang tidak menduga perkataan mereka adalah sebuah kebohongan, mempercayai begitu saja perkataan mereka.
"Putraku!" Rheiny kembali memeluk Putra kecilnya.
"Maaf, Nak. Maaf karena Mama tidak menjagamu dengan baik! Kenapa kamu tidak mengatakan apa pun pada Mama, Sayang?" tanya Rheiny begitu sedih.
"Maaf, Valden hanya tidak ingin membuat beban Mama beltambah," ucapan Valden mampu membuat Rheiny menyesali semuanya.
Andaikan sejak dulu dia berpisah dengan Amar, putranya tidak akan seperti ini.
"Valden!" bentak Rheiny.
"Kamu bukan beban, Nak. Kamu sama sekali tidak membebani Mama! Kamu adalah hadiah terindah untuk Mama, kamu segalanya buat Mama, Sayang. Jangan pernah berkata dan berpikir seperti itu lagi, em? Janji pada Mama?" jelas Rheiny.
Entah mengapa, hal itu membuat mata putranya berkaca-kaca dan memerah.
"Sungguh?!" tanya Valden.
"Mama sungguh tidak berpikir kalau aku hanyalah beban? Mama tidak akan meninggalkanku dan tetap sayang padaku? Meski aku berbuat nakal dan menangis?!" suara Valden mulai berubah menjadi sesengukkan.
"Iyah, Sayang. Tidak akan pernah!" jawab Rheiny tegas.
'Apa yang telah mereka lakukan padamu, Nak?! Anakku, Putra semata wayangku. Maafkan Mama, Nak. Maaf!' Rheiny bermonolog seorang diri.
Dia tidak tahu apa yang telah diperbuat mereka pada putranya yang masih kecil. Perkataan dan tindakan apa, sampai membuat Valden berpikir bahwa dirinya akan pergi meninggalkannya.
"Huee, jangan pernah membuangku, Ma. Aku akan bersikap baik. Aku tidak akan nakal atau menangis. Aku tidak akan merengek juga. Jadi, Valden mohon, jangan buang dan tinggalkan Valden sendilian, Ma!" isak tangis Valden memenuhi kamar tersebut.