“Hei, Bung!” sapanya pada Jhon.
“Hai!” sahut Jhon.
“Kau tidak minum?” tanya Wick.
“Tidak.”
“Lalu kenapa kau ke sini?”
“Aku hanya ingin merasakan suasana kelab saja,” jawab Jhon.
“Haha, aneh! Namaku Wick!” katanya lebih dulu memperkenalkan diri.
“Aku Jhon,” balas pria yang sedang menggaruk kepalanya karena gatal.
“Pesanlah minum, biar aku yang membayarnya, jangan biarkan kau tidak meneguk seloki pun saat keluar dari sini,” ujar Wick.
“Hoho, tidak masalah, Bung! aku sedang tidak ingin mabuk.”
“Oke, terserah.”
“Wick, kau sedang apa di sini?” tanya Jhon.
Pria itu menunjuk ke arah wanita berbaju putih yang sedang duduk bersama teman-temannya.
“Aku sedang memperhatikan dia.”
“Haha, kau suka padanya?” tanya Jhon.
Wick menggeleng. “Tidak, aku hanya ada urusan dengannya. Berharap dia mau bekerja sama denganku,” jawabnya.
“Ah, begitu ternyata. Katakan saja keinginanmu, mungkin dia mau bekerja sama tanpa harus diikuti seperti ini. Dia bisa melaporkanmu,” kata Jhon.
Wick pun cekikikan, tidak ada yang bisa menebak isi hatinya.
“Hmm, dia terlalu keras. Aku harus menemukan titik lemahnya.”
“Wanita hanya lemah pada perhatian.”
Wick langsung tertawa dan meminta segelas minuman lagi pada si bartender. “Aku pria yang sulit menemukan kelemahan wanita,” akunya.
Jhon tersenyum. “Kau sudah menikah?”
“Belum.”
“Pasangan ada?”
“Ada, tapi sudah lama meninggal.”
Jhon menyesal bertanya tentang itu. “Aku minta maaf karena sudah bertanya tentang itu.”
“Tidak masalah, aku sedang berusaha mencari penggantinya.”
“Semangat!” Jhon pun melihat seorang pria yang memiliki bekas luka di wajahnya menuju ke arah kamar mandi.
Jhon pamit pada Wick dan berjalan mengikuti pria itu ke arah kamar mandi. Pria bertopi merah itu sedang berdiri dan menyelesaikan niatnya membuang air. Jhon mencuci tangan di wastafel sambil memperhatikannya.
Berdasarkan bukti yang terekam, tinggi badan pelaku berkisar antara 175 sampai 180 sentimeter, sementara pria yang diikutinya ini hanya 155 sentimeter saja, tidak setinggi itu.
Tunggu, bila dia menggunakan sepatu berhak tinggi, bisa jadi dia pelakunya, gumam Jhon menganalisis. Tapi, tidak mungkin dia menggunakan sepatu setinggi 20 sentimeter, tidak mungkin.
Meski begitu, Jhon tetap berusaha mengambil fotonya secara diam-diam dan akan digunakannya sebagai bukti kunjungan.
Wick memperhatikan Jhon yang sedang memotret diam-diam. Pria itu mengagetkan Jhon dengan sapaannya. “Kau paparazzi?” tanyanya.
“Ahaha, tidak.”
“Ayo, lah! Aku juga seorang wartawan.”
“Oh, begitu.”
“Ya, untuk apa kau foto pria tua pemilik toko sepatu itu?” tanya Wick.
“Kau mengenal dia?”
“Ya, aku sudah lama bermain di sini dan pernah beberapa kali berbicara dengannya.”
“Mmh, aku hanya ingin mengerjakan tugas kuliahku saja,” sahut Jhon.
“Oh, kau anak kuliahan?”
Jhon mengangguk. “Ya.”
Sayangnya Wick tidak percaya. “Apa yang mau kau tanyakan terkait pria tua itu?”
“Aku ingin mewawancarai usahanya, tapi tadi saat aku mendatangi tokonya, karyawan wanita itu bilang pemiliknya sedang di bar.”
Wick tersenyum turun kemudian mengangguk. Wick memperhatikan pria yang ada di sampingnya ini, rasanya tidak mungkin dia mahasiswa.
“Aku pamit dulu, lain waktu saja kembali ke tokonya, sepertinya dia juga sedang sibuk,” kata Jhon.
“Oke! Sampai bertemu lagi!” Wick melambaikan tangan padanya.
Beberapa menit kemudian Jhon keluar dari bar tersebut dan berdiri di depan salah satu toko. Sekilas dia melihat wanita yang diperhatikan oleh Wick tadi.
“Lho, dia keluar, tapi kenapa pria itu masih di dalam?” tanyanya heran.
Namun, Jhon salah menilai, ternyata Wick mengejarnya dan mengikuti wanita itu dari belakang. Jhon berinisiatif mengikuti mereka karena curiga pada Wick yang bisa saja merupakan penguntit wanita tersebut.
Dari jarak sekitar 10 meter, Jhon mengikuti Wick. Wanita yang berjalan sendiri di depan Wick pun sedang bermain ponsel, jalannya sedikit lebih cepat dari biasanya.
Tiba-tiba saja wanita itu dihampiri pria yang mengendarai motor kemudian tasnya ditarik oleh mereka.
“Tolong!” jerit Rani.
Wick segera berlari untuk menyelamatkan wanita itu. Jhon juga mengerahkan kemampuannya menjatuhkan motor perampok itu.
Jhon melompat dan menendang pria yang dibonceng kemudian menjatuhkan motornya ke jalanan. Wick menghajar wajah pria yang mengendarai motor itu dan terjadi pertikaian antar pencuri dan dua pria yang menolong Rani itu karena mereka melakukan perlawanan, bahkan menodongkan senjata pada Wick.
Wanita itu berhasil menarik tasnya kembali dan mundur dari posisinya. Ketakutan dan mengatur nafas yang sempat tidak beraturan akibat rasa takut.
Jhon mengeluarkan senjata apinya dan membuat dua pria itu tak berkutik. Diam saja karena sudah kalah gerak. Jhon terpaksa memborgol mereka berdua dan membuat Wick terkejut.
Dia polisi? Tanyanya dalam hati sambil membantu Jhon mengamankan dua pria tersebut.
Jhon membongkar identitasnya karena kejadian ini. Mereka membawanya ke kantor polisi terdekat dan memberikan keterangan sesuai peristiwa.
Setelah mereka selesai memberi keterangan, ketiga orang itu pun keluar dari kantor polisi.
“Terima kasih, Jhon!” kata Rani.
“Wick yang telah menolongmu,” sahut Jhon.
Rani menoleh padanya. “Terima kasih, Wick!”
“Ya, tidak masalah, sudah kewajibanku sebagai pria melindungi wanita.”
Rani pun tersenyum. “Sebagai bayarannya, apa kalian mau minum bersamaku? Tubuhku masih gemetar, kurasa secangkir coklat panas bisa meredakan ketakutanku,” tawar Rani.
“Aku rasa Wick bisa, tapi aku tidak.”
“Oh, ayolah, Jhon!” ajak Wick.
“Oke,” sahut Jhon terpaksa demi menghargai permintaan Rani.
Di dalam kafe.
Pesanan mereka tiba dan ditaruh ke meja secara hati-hati oleh pelayan. Rani langsung menyesap coklatnya pelan-pelan.
“Kalian saling kenal?” tanya Rani.
“Tidak,” jawab mereka serentak.
“Haha, kenapa gugup? Aku hanya bertanya bukan mengintimidasi.”
Wick dan Jhon pun tertawa kecil. “Aku dan Jhon bertemu di bar, baru sebatas bicara di sana.”
“Oh, begitu.” wanita itu mengangguk. “Aku tahu kalau Wick mengikutiku,” kata Rani.
“Ahaha, maaf Rani kalau usahaku membuatmu tidak nyaman.”
“Jujur aku tidak suka pada pria yang selalu membuntutiku,” ujar Rani.
Jhon melipat tegas bibirnya, merasa kalau wanita itu sudah menolaknya tegas.
“Maaf, aku meresahkanmu.” Wick menyesal.
“Tetapi karena hari ini kau berjasa menolongku, maka aku bersedia bekerja sama denganmu untuk menemukan berita terbaru dari kasus pembunuhan Chelsea,” papar Rani dan membuat Jhon terkejut.
Jhon mengira mereka terjebak di antara dua hati yang saling menyukai, tetapi ternyata mereka berada di bidang profesi yang sama, yaitu wartawan.
“Kalian wartawan?” tanya Jhon.
“Ya, kau polisi,” jawab Wick tersenyum.
“Haha, jadi kalian sedang menyelidiki kasus Chelsea?” tanya Jhon.
“Tepat sekali!” Rani memetik jarinya. “Kau polisi, tetapi tidak menggunakan seragam apa itu, tandanya kau adalah seorang intel?” tanya wanita itu dengan nada rendah agar tidak didengar oleh orang sekitar, tubuhnya condong ke depan.
Jhon menutup bibirnya dan meminta mereka tidak mengatakannya di hadapan umum. “Ssshh!”
“Oke, aku paham!” Rani pun menarik dirinya.
Jhon menyeruput kopinya kemudian ingin mengenal mereka lagi lebih dalam. “Kalian dari media mana?” tanya pria itu.
“Aku dari Goho,” jawab Wick.
“Aku dari Winter Head,” jawab Rani.
Winter Head? Bukankah itu media yang paling dekat dengan kepolisian? tanya Jhon dalam hati dan merasa mereka bisa digunakan untuk membantu penyelidikan kasus itu.