JM-5

1103 Words
Pasca penugasan Jhon oleh Sam, pria itu pun mulai mencari data mengenai toko-toko sepatu konvensional yang berskala rumahan. Dia akan memulainya dari sana sebelum masuk ke industri kecil hingga besar. Karena merasa bekerja sendiri di tim Light, Jhon kembali ke kantornya dan lebih nyaman mencari data di meja kerjanya. Acer melirik temannya tersebut karena kembali ke ruangannya. “Hei, kenapa kau balik? Apa tidak jadi ke tim Light?” tanyanya. “Jadi, mereka benar-benar serius menghadapi kasus, tidak seperti kita yang masih bisa bercanda.” “Maksudmu?” “Ada apa?” Jhon meninggalkan pekerjaannya sebentar dan menghadap sahabatnya. “Acer, sebelum masuk aku bertemu wanita yang memberiku peringatan untuk menjaga diri di dalam tim itu. Banyak singa di sana yang siap menerkam kapan saja.” “Haha! Dan kau percaya?” Jhon mengangguk. “Mereka semua bermuka tegang, aku seperti masuk ke toko pakaian dalam dan melihat celana dalam baru, masih ketat dan kaku.” “Haha!” “Ah, di sini masih kudengar candaan dan tawa. Di sana sepi dan senyap, jarum jatuh pun terdengar.” “Ya, ceritakan padaku bagaimana perkembangan kasus Chelsea?” Jhon menghela nafas. Mumpung di ruangan hanya mereka berdua saja sementara teman lain sedang bekerja di luar, Jhon menceritakannya. “Mereka menduga pelakunya sengaja pakai sepatu itu, sebab mereka menemukan cctv yang menangkan kendaraan pelaku di depan toko, tapi sepatunya sudah berbeda.” “Oh, berencana.” “Iya, Chelsea diikuti dari basemen apartemen menteri perhubungan,” sahut Jhon. “Terus kenapa kau tidak ikut kegiatan mereka hari ini?” “Ah, mulutku adalah harimauku,” jawabnya lemas. “Aku mengatakan dugaan yang membuat mereka setuju.” “Kau berani mengusulkan sesuatu? Apa itu?” tanya Acer. “Aku bilang ada kemungkinan kalau pelakunya tukang pembuat sepatu, terus aku disuruh cari tukang sepatunya - yang punya luka gores di bagian pipi kanannya.” “Ya, ada kemungkinan kau lebih cepat menemukannya,” tandas Acer. “Eh, dia punya luka goresan?” “Oke, sesuai pernyataan saksi yang ada di parkiran basemen. Kalau ternyata dia karyawan perusahaan sepatu, bagaimana?” “Tangkap!” “Haha, ini kasus pembunuhan pertamaku, Acer! Bantu aku.” “Aku juga punya pekerjaan, Jhon.” “Eh, kalian sedang mengusut masalah apa?” tanya Jhon penasaran. “Ada seorang nenek yang ditemukan tewas mengenaskan di toko buku.” “Wah, dendam pribadi,” sambar Jhon. Acer geleng kepala, suka sekali mengambil spekulasi sendiri tanpa pengecekan langsung. Namun, dari beberapa kasus yang ditangani bersama Jhon, terkadang ucapannya benar. Acer bangkit dari duduknya dan menepuk bahu Jhon. “Semangat! aku harus keluar mengecek bukti lain di lapangan,” ujarnya. “Ya, oke lah! Aku juga sebentar lagi mau mengunjungi beberapa tempat yang sudah aku catat.” Acer mengangguk kemudian membawa tasnya dan pergi. Jhon menyesap tehnya dengan tatapan ke layar laptop kemudian tangannya menulis beberapa alamat yang didapatnya. Beberapa menit kemudian. Jhon mulai mendatangi tempat-tempat yang sudah ada di dalam list-nya. Buku saku itu pun menjadi bahan pegangannya agar tidak salah alamat. Jhon tiba di lokasi pertama. Dia turun dan bertanya ke masyarakat sekitar yang terlihat tentang pengrajin sepatu yang ada di sana. Seorang wanita pun menunjuk ke arah kanan dari posisinya saat ini. Jhon segera ke sana sesuai petunjuk dari wanita itu. Namun, ketika dihampiri ke lokasi, ternyata pemiliknya seorang kakek berusia 76 tahun yang hanya mengelola usahanya bersama sang cucu yang masih kuliah. Jhon membuat catatan di bawah alamat toko pertama kemudian memotretnya dengan persetujuan sang pemilik. Jhon beralasan kalau dia sedang melakukan survey padanya dan meminta foto bersama. Tentu mereka menghargai alasan itu dan percaya kalau Jhon itu adalah anak kuliahan. Berhubung usia dan juga wajah awet mudanya, si bapak tidak menyadari kalau dia bukan anak kuliahan lagi. Pencarian terus berjalan. Jhon tidak mau dirinya dianggap tidak bekerja. Dia sudah menduga kalau besok pasti akan diminta laporannya. Sampai lah dia di alamat ketujuh. Toko sepatu jadi dan tempahan Donald, begitu lah tulisannya di sana. Toko ini berada di samping kelab yang sudah buka. Jhon masuk dan menemui seorang wanita. “Selamat siang, Bu!” “Siang! Cari sepatu model apa?” tanyanya. “Ah, saya ingin melihat-lihat dulu,” jawabnya sambil menatap beberapa model sepatu di sana. “Toko ini punya ibu?” tanyanya. “Bukan, saya hanya pekerja di sini. Pemiliknya seorang pria,” jawabnya. “Oh, apa ada tanda luka di wajah kanannya?” tanya Jhon. “Ya, ada.” “Bisa saya bertemu dengannya?” “Bisa, tapi dari mana kau tahu dia punya luka?” “Ahaha, saya tadi sempat bertanya-tanya pada orang sekitar, mereka mengatakan cirinya.” "Ya, aku kira kau mengenalnya.” “Tidak, saya hanya mau melakukan survey dari kampus,” ujarnya dengan teknik yang sama. “Sayang dia tidak di sini. Coba kau ke kelab sebelah. Dia biasa di sana.” “Oke, saya coba cari.” “Semangat! semoga tugasmu sukses!” kata wanita itu memberi dukungan. Jhon tersenyum kemudian mengangguk ramah. Jhon segera pergi dan berjalan menuju tempat hiburan yang ada di samping toko sepatu itu. Sesampainya di dalam. Jhon hanya fokus mencari pria yang memiliki bekas luka di wajahnya. Meski penerangan samar-samar, Jhon masih memiliki mata yang bagus dan juga tajam. Dia berdiri di depan meja bar, duduk di kursi bar kemudian menatap mereka semua sambil beradaptasi dengan menggoyang kepalanya mengikuti musik. Tidak lama kemudian ada suara pecahan gelas di sisi kanan, Jhon. Jaraknya sekitar 7 meter darinya dan perhatian mereka semua ke arah sana. Jhon melihat pria botak yang dilihatnya saat berdiri di atas jembatan kemarin. Pria yang membawanya ke lokasi kejadian dan menurutnya pria itu adalah seorang wartawan. “Perhatikan jalanmu!” bentak seorang pria padanya. “Oke! Berhati-hati saat mabuk, Tuan!” sahut Wick. Melihat tidak ada yang berbahaya, hanya kesalahpahaman saja, semua pengunjung kembali ke aktivitasnya. Jhon memperhatikan pria itu lewat kemudian duduk di sampingnya. Dia memesan minuman pada bartender. Sementara Jhon tidak berniat minum dan memilih untuk melanjutkan pengamatan. “Hai, Wick!” sapa si bartender. “Ya, Carlos!” “Bagaimana pekerjaanmu? Apa kau mengurus masalah wanita cantik itu?” tanya si bartender. Jhon menggunakan semua inderanya di sana, meski mata ke arah lain, telinganya tetap mengikuti percakapan sekitar. “Ya, aku sedang mencari berita tambahannya.” “Haha, kau pasti bisa. Kerjaan kau itu sebenarnya sudah melebihi seorang intel, kau itu hebat!” puji si bartender. “Beda kasus, beda penanganan.” Wick meneguk minumannya kemudian berbalik arah, melihat ke depan, ke arah gadis-gadis itu menari. Jhon melirik Wick, tatapan mereka bertemu dengan ekspresi penasaran satu sama lain.Wick tersenyum melihat pakaian rapi Jhon datang ke bar siang ini, seperti baru pulang dari kantor.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD