JM-4

1608 Words
Keesokan harinya. Jhon sudah berada di parkiran badan intelijen swasta lain yang dibentuk oleh Komisaris Charles Dowson juga. Menurut informasi yang dia dapat, tim Light selama ini menjalankan misi untuk kasus berat dan juga terkait pemerintahan. Sementara tim Sky, khusus untuk kasus di masyarakat. Pria itu masih berada di mobil, membuka kaca jendela, mendaratkan siku kirinya dan melihat dengan ekspresi mengernyit ragu. Secara mental Jhon memang belum terlalu percaya diri untuk mengusut kasus kriminal tentang pembunuhan. Pertama, dia sangat benci melihat mayat dan kedua, masih suka muntah ketika menemukan potongan-potongan tubuh yang terpisah. “Huh!” jeritnya sendiri, sambil membuang nafas untuk menyingkirkan rasa gugupnya kemudian turun dari mobil membawa tas kerjanya yang digantung di bahu. Pria itu berjalan ke arah pintu masuk dan menegur pegawai yang berjaga di sana. “Selamat pagi!” “Selamat pagi! ada yang bisa saya bantu?” tanya pria tua yang sedang duduk sambil mengecek surat. “Saya Jhon Calton dari distrik 19, ke sini atas perintah Komisaris Charles Dowson.” Pria itu langsung melihat catatan kaki yang ada di hadapannya. “Tim Sky?” “Ya.” “Oke, aku akan memeriksamu sebelum kau masuk.” “Oke.” Pria tua itu keluar dari meja kerjanya dan meraba-raba tubuh Jhon yang sudah merentangkan tangan ke samping. “Pistol?” “Aku intel, wajar saja bukan, bila ada senjata pelindung?” jawab Jhon. Dengusan pria tua itu. Setelah melakukan pemeriksaan, Jhon pun diantar oleh seorang wanita ke ruangan tim Light di lantai dua. Jhon mengikutinya dan memperhatikan semua sisi yang ada di bangunan itu. Wanita paruh baya tersebut memperhatikan. “Kau orang yang teliti?” tanyanya. “Huh? Haha, aku hanya ingin melihat-lihat saja.” “Ini hari pertamamu di sini?” tanya pria itu. “Ya, perintah komisaris.” “Oh, kau Jhon dari tim Sky?” “Ya, bagaimana bisa kau tahu?” tanya Jhon. Mendadak merasa seperti artis saja. Dikenal oleh orang asing. “Sudah tersebar luas. Anggota muda tim Sky masuk tim Light. Aku peringatkan, tim ini beda dengan tim lain. Banyak singa di dalam, kalau kau tidak menjaga diri bisa terkena terkaman,” ujar wanita itu. Jhon tersenyum miring kemudian mengangguk. “Dunia memang banyak menyimpan orang-orang seperti itu.” Sontak wanita itu tertawa kecil. “Kalau kau di sana, bisa aku pastikan kau akan kehilangan tawa selama 24 jam.” Jhon menaikkan alis dan menahan senyum. Untuk dia yang suka tertawa serta melakukan kegiatan aneh, rasanya akan menjadi sasaran kemarahan mereka. “Siapa ketua timnya?” tanya Jhon. “Irjen Pol Eigner.” Jhon langsung memajukan mulut dan membuat celah membentuk huruf o. Dia tahu dengan nama itu. Tidak disangka kalau Eigner masuk ke dalam intelijen ini. Mereka sudah berada di depan ruangan. Wanita itu mengetuk pintu kaca yang membuat Jhon bisa melihat kalau mereka sedang berbicara serius. Semua orang menoleh ke arah pintu karena mendengar suara ketukan itu. Pintu pun terbuka dan wanita itu mempersilakannya masuk. Jhon menelan ludah sekali kemudian memberi laporan. “Selamat pagi! perkenalkan saya Jhon Calton yang diutus Komjen Pol Charles Dowson dari tim Sky,” ucapnya saat berhadapan dengan mereka semua. “Masuklah, cari tempat duduk yang masih kosong,” sahut Eigner. “Siap, Irjen Pol Eigner!” sahutnya memberi hormat. Seketika semua orang di ruangan menahan senyum. Pria yang sedang berdiri di depan papan diskusi itu sebenarnya bukanlah Eigner, melainkan seorang brigadir yang turut menjadi anggota. Jhon pun bingung kemudian melirik wanita di sampingnya. Dia benar-benar belum mengenal semua orang di dalam sini. “Dia Brigadir Sam,” bisiknya. “Ah,” sahut Jhon terbodoh. “Maaf, Pak, saya tidak tahu,” lanjutnya ke arah mereka. Sam pun menggeleng dan memintanya duduk. Dia memakluminya karena Jhon baru bergabung. Jhon melihat ada kursi kosong di ujung kanan ruangan. Dia pun duduk kemudian membalas semua tatapan mereka dengan senyuman. Sam melihat dia sangat kaku dan juga bingung. “Jhon!” panggilnya. “Siap!” “Ke marilah,” perintahnya. Jhon menaruh tasnya di kursi kemudian berjalan ke depan ruangan. Dia berdiri di samping Sam. “Kami sudah tahu akan ada anggota baru di sini, perkenalkan saya Sam, salah satu anggota di tim Light. Jabatan saya adalah Brigadir satu.” Jhon Calton mengangguk tegas. “Saya akan mengingatnya.” “Tim ini terdiri dari 6 orang. Saya, Jessica, Anton, Montalino, Diana dan Irjen Pol Eigner,” papar Sam sambil mengenalkan mereka semua pada Jhon. Pria itu pun menyapanya ramah dengan senyuman. Memang di ruangan itu hanya ada lima orang. “Kebetulan Irjen Pol Eigner sedang ada tugas di luar, tidak bisa datang hari ini.” “Iya, Pak.” “Duduklah dan ikuti pembahasan kami. Besok datang lebih awal agar kau tidak terlambat.” “Baik, Pak!” Jhon kembali ke tempat duduknya dan mengikuti pembahasan mereka. Jhon melihat ada beberapa sketsa yang sudah dibuat oleh mereka di papan. Lebih tepatnya kronologi sementara kasus pembunuhan Chelsea. Jhon melihat peta penyidikannya dimulai dari sebuah apartemen. Terdapat foto yang ditempel pula di setiap titiknya. Sudah bisa dipastikan kalau mereka telah bergerak cepat dan mengecek cctv semua tempat. “Tugas kita sekarang adalah mencari tahu lokasi mobil yang digunakan oleh tersangka,” kata Sam. “Ada yang mau menambahkan informasi?” tanyanya. Montalino menaikkan tangannya. “Ya, silakan!” kata Sam. “Berdasarkan cctv di beberapa titik lain, mobil itu mengarah ke South Austin. Terlihat berhenti di depan minimarket selama 2 menit, keluar membawa minuman. Setelah itu hilang jejak.” “Tidak mungkin hilang jejak. Apa dia masih menggunakan sepatu berbentuk perseginya di sana?” tanya Sam. Montalino memberikan cuplikan cctv yang sudah diambilnya. Sam melihatnya dan ternyata dia tidak lagi memakai sepatu itu, tetapi bajunya masih sama seperti yang terlihat di basemen apartemen. “Bagaimana menurut kalian? Apa kita ke Austin Menyebar ke segala penjuru?” tanya Sam. Jhon memberanikan diri mengangkat tangannya dan Sam mempersilakannya berbicara. “Apa wajah pelaku terlihat jelas?” tanyanya. “Tidak.” “Lalu, untuk apa kita ke sana? maksud saya, ciri apa yang akan kita genggam untuk mencari pelakunya?” tanya Jhon. “Ada orang yang mengaku melihatnya sebelum kejadian itu. Dia adalah seorang wanita yang sama-sama berada di parkiran. Berdasarkan pengakuan wanita itu, pria dengan ciri yang sama pada hasil penyidikan lokasi mengintai korbannya dari balik mobil mewahnya, belum menggunakan masker penutup muka.” Jhon mengangguk, serius mendengarnya. “Pria itu memiliki tanda luka mengerikan di wajah kanannya. Memanjang dari arah bawah mata ke bagian telinga,” lanjut Sam. Jhon mengernyit. “Luka segitu panjangnya pasti di dapat di usianya sekarang, kalau di usia muda pasti akan mengabur.” “Belum tentu, Jhon! Luka bisa saja meninggalkan bekas tergantung tingkat kedalamannya. Scar itu akan menghasilkan keloid yang susah hilang.” Jhon mengangguk. “Berarti kita akan mencari pria dengan ciri seperti itu?” “Ya, bisa kita masukkan ke dalam list pencarian.” “Oke.” Jhon mengerti, kemudian melanjutkan pertanyaan yang masih mengganjal dalam hatinya. “Lalu, mengenai sepatu yang dibahas, memangnya apa bedanya?” tanya Jhon seolah tidak tahu. Sam mengerutkan kening. “Kau serius tidak tahu? “Ya, saya tidak tahu.” Jessica memberikan berkas hasil pemotretan itu pada Jhon dan dia melihat foto yang sama dengan yang diberikan oleh Cherry. “Sepatu persegi ditemukan di lokasi, dan dia tidak lagi menggunakan sepatu itu saat ditemui di cctv South Austin. Berarti dia sudah merencanakan pembunuhan ini dan berusaha mengaburkan jejak,” telisik Jhon setelah melihat semuanya. “Ya, kau benar. Anehnya, tapak sepatu itu tidak ada pembatas antara sepatu asli dan tambahan. Kami berasumsi ada dua kemungkinan, pertama, sepatu biasa dilapisi tambahan sol dari luar hingga membuat persegi dan kedua, sol itu memang dibuat dengan bentuk persegi.” “Ah, ya kalau sepatu biasa ditambah sol luar, pasti kita bisa tahu perbedaan sepatu asli dan tambahannya.” Sam mengangguk kemudian memetik jarinya. “Benar! Kau cerdas!” “Dan hasilnya, tidak ditemukan batas sepatu aslinya di sini,” sambung Jhon sambil melihat gambar itu. “Ya, berarti dia menempahnya atau membuatnya sendiri.” “Hmm, kita juga bisa mengecek setiap pengusaha sepatu yang memiliki luka di wajahnya,” sambung Jhon lagi. Mereka semua menatapnya dan merasa kalau pemikiran itu belum diutarakan oleh siapa pun. Seketika Jhon merasa ada yang aneh dan mengangkat kepalanya, lalu menyadari semua orang memandangnya. “Ahaha, itu hanya dugaanku saja. Maaf kalau keluar dari jalur diskusi,” katanya merasa lancang. “Tidak, kau tidak salah!” sahut Anton. “Ya, dia bisa saja benar, segala kemungkinan memang harus kita jalani,” kata Diana. “Kalau begitu biarkan dia yang mencari pengrajin sepatu yang ada di Chicago,” usul Montalino. Seketika Jhon termakan uraiannya sendiri dan menempatkan diri dalam tugas berat. Chicago yang luas ini akan ditelusurinya sendiri? apa mungkin bisa tanpa bantuan mereka? Jhon pun terdiam. Sam menarik nafas. “Bagaimana Jhon? Kau terima usul Montalino?” tanyanya. “Ahaha, kalau memang itu bisa membantu kalian, saya siap,” jawabnya terpaksa karena dia yang sudah mengutarakan ide itu. “Oke, saat kami berpencar ke arah lain, kau fokus mencari pengrajin sepatu seperti yang kau katakan itu karena kami menghargai setiap usulan agar semua proses berjalan cepat.” “Baik, “Pak! Apa saya melakukan semua sendirian?” tanya Jhon. “Ya, kami punya tugas masing-masing sebelum kau datang,” jawab Sam. Jhon menerima ucapan itu seolah mereka sebenarnya sudah sibuk dan tidak saling membantu satu sama lain. “Baik, Pak!” Mau tidak mau, Jhon harus mengikuti perintah untuknya di hari pertama. Rapat itu dibubarkan dan mereka semua segera turun ke lapangan, menuju Austin dan mencari keberadaan si pelaku pembunuhan. Sementara Jhon, dibebaskan memulainya dari mana saja karena dia harusnya mencari orang yang berprofesi sebagai pengrajin sepatu di Chicago.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD