JM-3

1160 Words
Di sebuah ruangan pemimpin redaksi sebuah koran dan majalah, tempat pria bekemeja biru bekerja, Wick Zain, namanya. Kini dia sedang menghadap bos yang mengelola tempat tersebut. “Apa yang sudah kau temukan dari kasus Chelsea?” tanya si bos. “Saya menerima kabar dari Jenny kalau kejadian itu diduga karena dendam.” Wick mengatakan hipotesanya. “Lalu menurutmu?” desaknya menunggu lanjutan. “Saya belum bisa menyimpulkan, informasinya belum penuh.” Wick memang belum menerima berita lain lagi. “Haha, kau ‘kan kenal dengan wartawan yang sering mengikuti tim kepolisian dalam penyelidikan. Masa tidak bisa mendekatinya.” Si bos berusaha meminta Wick mendekati mereka. Wick Zain tersenyum. “Kenal bukan berarti percaya, tapi tidak menutup kemungkinan bisa.” “Nah, itu, ayo lah! Berburu kabar terbarunya agar majalah kita bisa jadi yang terdepan dalam memberitakan kasus itu," ujar Michael. “Siap, Pak!” jawab Wick tanpa senyuman. “Kau sudah baca layout beritanya pagi ini?” tanya bos lagi. “Sudah.” Wick mengangguk. “Kalau ada kekeliruan, tolong kau sampaikan ke pengecekan sebelum dicetak,” sarannya. “Baik, Pak.” Wick keluar dari ruangan itu kemudian menyapa beberapa rekan kerjanya. Pria yang bekerja sebagai wartawan ini punya tugas berat. Dituntut untuk selalu memegang kabar terbaru sebelum semua wartawan mengetahuinya. Wick membaca hasil cetakan sementara terkait kasus yang ditangani. Ada tiga, pertama kasus Chelsea. Kedua, kasus korupsi petinggi sebuah perusahaan pemerintahan dan terakhir kasus terlama yang sampai saat ini masih belum terpecahkan, yaitu pelecehan seorang remaja yang pelakunya dikaburkan oleh pihak kepolisian. Wick mencoba menghubungi wartawan yang bekerja sama dengan pihak kepolisian, seperti yang diminta atasannya tadi. Wanita yang berada di TKP saat polisi melakukan proses penyidikan itu pun melihat ponselnya kemudian menaruh benda itu lagi ke meja. “Siapa?” tanya teman satu ruangannya. “Wartawan berwajah seram, dari redaksi Goho,” jawab Rani. “Hmm, mau apa dia menghubungimu?” “Biasa, dia pasti minta informasi yang kita dapat.” “Ih, kurang usaha dan malah minta informasi pintas.” “Begitu lah, namanya juga usaha.” Rani tersenyum tipis. “Haha, bagaimana, sih? kan tadi aku bilang dia kurang usaha, kenapa kau malah bilang dia lagi usaha?” “Lho, memang benar ‘kan? Kau saja yang sedang sewot dengannya.” “Jelas, dia merebut beritaku.” “Nah, berarti masalahnya di kalian, jangan bawa-bawa aku.” “Ih, kau ini, celetuknya kadang suka-suka.” “Tidak ada apa-apa.” Perbincangan aneh itu pun berakhir karena Rani akan keluar dari kantor untuk membeli makan siang. Sesampainya di kafe, Wick menghampiri Rani dan membuat perempuan terkejut. Rani menghela nafas kasar kemudian menggeleng lemah. “Maaf aku mengganggumu.” “Ya, kau memang menggangguku.” “Aku tahu itu, tetapi aku hanya ingin meminta tolong padamu.” “Hei, bisa tidak aku makan dulu. Aku sangat lapar,” kata Rani ketus. “Oke,” sahut pria yang lebih dewasa darinya itu. Wick mempersilakannya duduk dan dia pun duduk di dekat Rani. Wanita itu mengarahkan pandangannya ke sisi lain karena malas melihat Wick. Pria itu pun mengecek ponselnya kemudian membaca sebuah pesan. Tidak lama kemudian Wick memasukkan lagi benda itu ke kantong dan pamit pada Rani. “Aku pergi, maaf sudah mengganggu waktumu,” katanya. “Oke, bagus, aku juga tidak ingin bicara denganmu,” sahut Rani. Wick Zain punya tugas lebih penting dari pada sekadar menunggu wanita itu makan. Di sisi lain. Jhon sedang berdiri di atas jembatan, sambil memegang ponsel yang menampilkan foto tapak sepatu yang ada padanya. “Apa tujuan dia memakai sepatu itu? jika dilihat dari persiapannya, dia memang sudah merencanakan pembunuhan ini sejak lama, atau dia seorang psikopat yang suka mengoleksi benda aneh? Tanyanya sendiri. Kopi yang dia genggam dengan tangan kiri tersenggol oleh seseorang yang sedang berjalan. Wanita itu pun menunduk minta maaf. Jhon memakluminya karena memang dia yang salah. Karena masalah ini Jhon sedikit melamun. “Kau di berada di tempat kejadian?” kata seorang pria yang tengah berlari kecil, dia adalah Wick Zain. Jhon mendengar ucapannya dan menyipitkan mata. “Iya benar, menteri perhubungan!” Mendengar nama orang yang telah masuk menjadi target investigasinya itu, Jhon pun berpura-pura berjalan mengikuti Wick. Mencurigakan! Aku harus mengikutinya, gumam Jhon dalam hati. Wick tidak akan tahu kalau dia diikuti seorang intel karena Jhon bekerja menggunakan pakaian biasa, tanpa seragam kepolisian. Ciri khas seorang detektif ya memang seperti itu agar bisa menyusup ke mana saja. Setelah berjalan sekitar 10 menit, Jhon tiba di lokasi tempat terjadinya pembunuhan. Tepatnya di rumah Chelsea, korban pembunuhan. Di sana masih ada beberapa orang yang ditugaskan untuk berjaga. Tidak bisa masuk sembarangan. Terlebih Jhon belum mendapat izin bergerak sebelum besok. Jhon mendekat pada Wick yang sedang berbincang pada temannya. “Apa info terbaru yang kau dapat?” tanya Wick. “Aku hanya tahu kalau wanita itu diikuti dari basemen apartemen tempat tinggal menteri itu.” “Kau tahu dari siapa?” “Ponselnya, ada rekaman dia mengirim pesan pada kakaknya yang tadi datang ke lokasi. Dia menangis histeris melihat adiknya meninggal.” “Polisi belum melakukan konfirmasi ya,” tanya Wick. “Sudah, tapi mereka juga tidak bisa mengatakan kabar secara penuh karena masih dalam penyelidikan.” “Susah mendapatkan kabar dari dalam. Ada satu orang yang bisa kita gali, tapi wanita itu cuek sekali.” “Siapa?” tanya Jenny, rekan kerja Wick. “Rani, wartawan sekaligus fotografer dari majalah yang bekerja sama dengan kepolisian.” “Ah, wanita itu memang menyebalkan.” Wick Zain tersenyum. “Jika aku berhasil mendapatkan informasi darinya maka kita bisa bergerak cepat.” Jhon malah bingung dengan wartawan ini. Bisa-bisanya mereka bekerja melampaui intel. Aku saja masih belum dapat apa pun. Ah, jelas aku belum dapat apa pun. Yang turun tangan kan tim Light. Aku baru akan bergabung dengan mereka besok. Jhon mencoba memperhatikan ke segala sisi. Dia melihat ada beberapa cctv di sini, mungkin ada yang berhasil merekam pria itu. Jhon mencoba mampir ke sebuah toko peralatan dapur yang ada di sekitar sana, berpura-pura berdiri dan bertanya pada orang yang ada di sana. “Ada kejadian apa di sana, Bu?” tanya Jhon, berpura-pura tidak tahu. “Oh, itu, ada pembunuhan tadi malam. Iih, seram! Mayatnya mengenaskan.” “Oya, Ibu melihatnya?” “Tidak! Tapi kata orang-orang begitu.” Jhon lemas mendengarnya, kesaksian dia tidak bisa dijadikan tambahan informasi. “Ibu tidur di sini malam?” tanya Jhon melihat ke arah ruko. “Anak saya yang tidur di sini.” “Oya, apa anak ibu tidak mendengar ada sesuatu yang aneh atau melihat orang aneh di sekitar sini sebelum kejadian itu?” tanya Jhon lagi. “Haha, dia kalau tidur seperti kerbau! Susah bangun. Dia saja baru tahu kalau di dekat ruko ini ada pembunuhan,” jawab wanita itu tertawa malu. Jhon pun menyambut tawanya lebih aneh lagi dari si ibu, alisnya bergerak kaku karena kesal mendengar jawaban wanita itu. Dia pun pergi, sepertinya dia benar-benar tidak berbakat menganalisis proses pembunuhan. Jhon memilih kembali saja ke kantor dan berbincang pada Acer.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD