Date

1412 Words
Jessi membuka matanya saat cahaya matahari terasa menusuk wajahnya. Setelah memastikan angka yang terlihat di jam digital di atas nakasnya, Jessi menarik kembali selimutnya hingga ke d**a, berniat melanjutkan tidur ketika matanya tidak sengaja melihat seseorang sedang berdiri di pintu kamarnya. “Apa yang kau lakukan di kamarku?” Jessi berteriak, langsung terduduk hingga selimutnya melorot sampai ke pinggang. “Aku bisa berpotensi untuk gagal jantung kalau kamu selalu berteriak seperti itu, Wife.” Brian mengusap-ngusap dadanya pelan, pandangan matanya terlihat kesal, tetapi senyum simpul terukir di bibirnya, tertarik, “Kamu selalu terbuka seperti ini?” Jessi melihat dirinya sendiri, kemudian refleks menarik selimutnya sampai ke d**a. “Hot pants dan tank top, tidak buruk juga.” Brian berkomentar, “Tapi lingerie lebih seksi.” Tidak sampai satu detik setelah Brian berkata seperti itu, Jessi melempar wajah Brian dengan bantal. Membuat pria itu sedikit terhuyung ke belakang karena tidak ada persiapan sama sekali. “Tutup mulutmu, m***m,” bentak Jessi marah. “Kenapa kau bisa di kamarku?” Brian mengembalikan bantal Jessi, “Karena aku masuk ke kamar kamu.” Jessi geram, ingin melemparkan satu bantal lagi ketika Brian menahan tangannya. Pria itu bahkan sudah duduk di atas tempat tidurnya, menatap Jessi terpesona. “Cantik,” gumam Brian hampir tidak terdengar. Sebelum Jessi kehilangan akalnya dengan bersemu merah atas pujian Brian, ia terlebih dahulu untuk kembali bertanya, “Kenapa kau masuk ke sini? Ke kamarku? Lebih tepatnya, kenapa kau ada di apartemenku?” “Pertama, karena aku ingin membuktikan perkataan Abel. Abel bilang, kamu selalu lupa mengunci kamarmu kalau tidur. Dan ternyata benar.” Brian terkekeh, “Kedua, karena kamu isteriku, tentu saja aku ke kamarmu, masa iya aku harus ke kamar Abel.” Brian menggeleng, merasa geli dengan perkataannya sendiri. “Ketiga, karena rindu padamu, jadi aku mengunjungimu.” Jessi melongo. Brian berdecak, terselip kekesalan dalam suaranya ketika berkata, “Kuharap, kita bisa menikah besok. Sangat merepotkan kalau aku harus ke sini setiap kali rindu.” “Keluar dari kamarku.” “Kurasa aku harus ke sini setiap pagi.” “Jangan gila.” “Aku sudah terlanjur melihat wajah kamu saat bangun tidur. Aku pasti gila kalau aku tidak melihatnya besok pagi, besoknya lagi, besoknya lagi, dan sampai aku mati.” Jessi terdiam, merasa aneh saat bibirnya ingin sekali tersenyum. “Baiklah, sudah kuputuskan,” kata Brian membuat Jessi mengernyitkan dahinya bingung. “Aku akan ke sini setiap pagi, sampai kamu mau menikahkan denganku, lalu tinggal denganku, tidur denganku, hingga aku tidak perlu repot-repot untuk datang ke mari,” sambung Brian dengan semangat.  “Singkirkan pikiran gilamu itu, Brian.” Jessi menatapnya kesal. “Keluarlah dari kamarku.” “Iya, kalau kamu juga keluar denganku.” “Persetan denganmu!” Jessi memukulkan bantal, menyerang Brian bertubi-tubi. “Untung aku cinta.” Brian berdiri setelah mendapatkan kesempatan. “Jadi, aku terima saja di siksa oleh kamu.” Brian mengedipkan sebelah matanya, “Tapi aku lebih suka kalau kita main siksa-siksaannya di ….” Brian tidak sempat melajutkan kalimatnya, karena Jessi refleks menendang Brian. “Keluar kau dari kamarku.” Brian tertawa, terbahak-bahak sampai bahunya berguncang. “Oke. Oke.” Brian mengangkat tangannya, terlihat menyerah padahal bibirnya masih terbuka, tersenyum geli menatap Jess. “Mandi yang bersih, dandan yang cantik, ya, Wife,” ucap Brian sebelum menutup pintu, membuat Jessi sekali lagi melemparkan batal karena kesal.   *   Sembari menunggu Jessi, Brian memperhatikan ke sekeliling apartemen Jessi. Lebih tepatnya apartemen yang dihuni oleh wanita cantik tapi aneh menurut Brian. Aneh karena masing-masing mereka seperti memiliki dunia sendiri-sendiri. Lihat saja pintu berwarna vintage itu, secara misterius memberikan aura masa lalu yang pekat. Dan penghuninya adalah Kate, Brian melihat perempuan itu masuk ke sana setelah membiarkannya duduk sendirian di ruang tamu. Lalu, di depannya, dipisahkan oleh lorong yang sempit, terdapat sebuah pintu bewarna dengan bewarna biru muda, di desain menyerupai pintu kulkas lengkap dengan berbagai stiker makanan, es krim, dan minuman. Sekali lihat saja, Brian tahu kalau penghuni kamar unik tersebut adalah Abel. Sahabat Jessi yang tidak bisa hidup jika mulutnya tidak mengunyah sesuatu. Di sisi kiri, ruang tamu tempat Brian sedang menunggu sekarang, ada kamar Jessi yang tadi dimasukinya. Perempuan itu sangat feminim, pintunya di cat berwarna merah muda. Seisi kamar Jessi tadi juga didominasi oleh warna yang melambangkan cinta tersebut. Di depan kamar Jessi, sejajar kamar Abel, terdapat kamar ke empat. Sudah dipastikan jika penghuni kamar dengan pintu berwarna putih bersih itu adalah Anna. Wanita paling dingin yang pernah dikenal Brian. “Siapa yang membukakan pintu?” Brian masing memikirkan perbedaan empat sekawan itu ketika suara Jessi tahu-tahu sudah di dekatnya. “Kate.” “Kate?” Jessi membeo, “Kenapa dia tidak menyuruhmu menunggu di sini?” “Dia memang meninggalkanku di sini.” “Lalu kenapa kau masuk ke kamarku?” “Gue yang nyuruh.” Abel menyahut dari arah dapur, tepat di tengah-tengah kamar Abel dan Anna, ada sebuah ruang yang dijadikan dapur, dibatasi oleh sebuah meja pantry, selebihnya ruangan dibiarkan lepas sampai ke ruang tamu. “Lo.” Jessi menggeram. “Otak lo di mana, sih, Bel? Kenapa lo nyuruh laki-laki asing masuk ke kamar sahabat lo sendiri?” “Gue lupa kalau lo sahabat gue.” “Lo!” Jessi meledak. “Memang iya, kan?” Abel membalas cuek, perempuan itu sibuk mengeluarkan beberapa makanan dari dalam kulkas. “Lo sendiri yang sering bilang begitu,” sambungnya sambil lewat kembali ke kamarnya. Sekarang hanya tinggal mereka berdua di ruang tamu, membuat Jessi menumpahkan amarahnya kepada Brian. “Kenapa kau ke sini saat subuh buta seperti ini?” “Subuh buta?” Brian mengernyitkan dahinya, kepalanya langsung menoleh ke sisi sebelah kanan, ke ujung lorong yang memisahkan kamar Kate dan Anna, ada jendela di sana, tirainya sudah dibuka, cahaya matahari terlihat terang benderang di luar sana. “Bagaimana kamu mendeskripsikan subuh buta, Wife?” “Kalau masih jam sebelas pagi.” Jessi mengedikkan bahunya acuh. “Pantas saja kamu sering terlambat.” “Aku hanya terlambat sekali.” Jessi langsung menyela. “Kau jangan khawatir, aku ini profesional dalam pekerjaanku, jadi aku tidak akan terlambat jika memang hari aktif bekerja.” Jessi mendaratkan bokongnya ke sofa, “Tapi ini, kan, hari libur.” Jessi menatap Brian sengit, “Dan kau mengacaukan rencana indahku.” “Rencana indah apa?” “Tidurlah, apa lagi?” Brian tergelak, “Kamu sangat unik, Wife.” “Kau pikir aku barang langka?” sergah Jessi. “Aku ini cantik.” “Kamu memang langka.” Brian ikut duduk di samping Jessi. “Satu-satunya wanita yang membuatku tergila-gila.” “Bisa kalian berpacaran di luar saja?” Suara Abel kembali terdengar. Rupanya perempuan itu kembali mengambil beberapa cemilan dari dapur. “Lo nggak lupa peraturan nomor satu, kan, Jess?” “Kalau lo lupa, gue ingetin lagi,” kata Jessi terdengar malas. “Lo yang ngebukain pintu buat dia.” Abel mengerutkan dahi, “Lo yang pikun. Orang yang bukain pintu Kate, gue cuma nyuruh dia ke kamar lo.” “Nah, itu!” balas Jessi sambil mengangguk-angguk. “Lo udah nyuruh dia masuk ke kamar gue, gangguin waktu tidur gue, sekarang lo yang harus bertanggung jawab.” “Suami, suami lo gini, kok gue yang bertanggung jawab? Emang gue ngapain, nggak gue bikin hamil juga.” Jessi mendelik, menatap Brian semakin sengit saat pria itu berusaha menahan tawanya. “Jangan tertawa!” Dan ucapan Jessi berhasil membuat tawa Brian mengudara. Sudut matanya sampai berair karena tidak bisa berhenti tertawa, sementara Abel sudah kembali ke kamarnya. “Setelah kupikir-pikir,” ucap Brian di sela-sela tawanya, “Aku jadi bertanya-tanya kenapa kalian bisa berteman dengan perbedaan yang signifikan seperti itu?” “Aku sedang khilaf waktu itu, ini juga sebentar lagi dia kupecat jadi teman.” Brian masih tertawa. “Kenapa kau bertanya?” “Hanya ingin membuatmu berbicara padaku. Lagi pula, kamu pasti tidak mau kalau kuajak ke luar.” “Itu kau tahu. Sekarang kau bisa pergi.” “Mana bisa begitu.” Brian meraih remot TV, menyalakannya dan memilih chanel olahraga. “Siapa yang mengizinkanmu menyalakannya?” “Astaga, Wife.” Brian mengusap kupingnya, “Suara kamu tolong pelankan sedikit.” “Kenapa kau menyalakan TV?” Jessi tidak perduli dengan peringatan Brian. “Aku ingin menonton.” “Kau bisa menonton di rumahmu. Sekarang keluar dari sini,” usir Jessi untuk kesekian kalinya. “Kenapa kamu sangat tidak menyukai kehadiranku?” “Kenapa aku harus menyukai keberadaanmu?” Brian menggeleng, sekali lagi dibuat tidak habis pikir oleh Jessi. “Kamu membuatku tertarik begitu banyak, bagaimana mungkin aku bisa jauh-jauh dari kamu.” Jessi berdebar, ditatapnya Brian dengan sengit, berusaha menutupi kegugupan yang melanda tiba-tiba. Namun, sialannya Brian juga melakukan hal yang sama. Pria menatapnya intens. Membuat mereka saling beradu pandang hingga suara menyebalkan Abel kembali menginterupsi. “Apa kalian sedang melakukan zina mata?” Jessi memutuskan pandangan terlebih dahulu, dia menoleh kesal kepada Abel. “Apa lagi yang lo butuhin?” salaknya. “Sumpah, besok gue cariin kuli buat mindahin kulkas ke dalam kamar lo.” “Ide bagus.” Abel tersenyum lebar. Tangannya mendekap beberpa cemilan lagi. Padahal sejak tadi, seingat Jessi, sahabatnya itu sudah bolak-balik sebanyak dua kali untuk mengambil berbungkus-bungkus cemilan. Tetapi, yang namanya Abel, ratu omnivora, tidak pernah cukup dengan sedikit makanan. Wanita itu bahkan sanggup mengunyah ketika sedang tidur, sungguh kemampuan aneh. “Sekalian beliin kulkas yang gede, Jes.” “Abel selalu seperti itu?”” Brian bertanya setelah Abel menghilang ke kamarnya. “Dia tidak bisa hidup jika mulutnya kosong.” Brian mengangguk-angguk. “Tuhan mungkin masih marah padaku,” gumam Jessi. “Kenapa?” “Aku sering mengumpat, kemudian dia mengirimkan Abel untuk tinggal bersamaku.” Jessi menatap Brian, “Sekarang, entah dosa apa lagi yang aku lakukan, karena sepertinya kau adalah bentuk hukuman yang Tuhan kirim untukku.” Dikatakan sebagai hukuman bukannya membuat Brian kesal, pria itu justru tersenyum sebelum berkata, “Mungkin Tuhan sedang berbaik hati kepadaku, karena Dia mengirimkan aku seorang bidadari.” Kata-kata Brian berhasil membuat Jessi bungkam. Pasalnya, Jessi melihat ketulusan dalam mata Brian. Padahal ketika pertama kali berjumpa, Jessi yakin Brian hanya melihat tubuhnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD