Lunch

1186 Words
Jessi baru masuk ke ruangannya, menutup pintu dengan tergesa, lalu bersandar ke daun pintu dalam usahanya untuk berdiri tegak. Degup jantungnya menggila, berdentum-dentum bagaikan genderang perang membuat kakinya serasa jeli, entah karena dia berlari kencang untuk kabur dari Brian atau justru semua kekacauan pada tubuhnya ini justru karena Brian. “No.” Jessi menggeleng, “No,” ucapnya lagi sambil memukul-mukul pelan dadanya. Belum cukup dia menghilangkan frustasi karena keanehan yang terjadi, bayangan Brian mencongol di kepalanya. “No, Jessi, no!” teriaknya histeris. “Lo nggak mungkin terpesona sama Brian. Dia bukan orang yang bisa ngebuat lo bertekuk lutut.” Jessi berbicara sendiri, menasehati hatinya supaya tidak lemah terhadap pria yang sempat membuatnya tertarik pada pandangan pertama. Namun, rasanya langsung terhempas ketika Brian menciumnya pada lima menit pertemuan mereka berikutnya. Pintu terdorong, terbuka dari luar, membuat Jessi terkejut. “Kamu kenapa?” Kate muncul dari luar. “Nggak kenapa-kenapa.” Jessi menggeleng, langsung berdiri dengan normal. “Ngapain di belakang pintu?” Kate masih bertanya. “Mau keluar.” Jessi beralasan, “Lo ngapain ke sini?” “Ada pertemuan dengan dr. Haikal.” “Sekarang?” “Iya. Kamu belum ada jadwal, kan?” Jessi menggeleng. “Ya udah. Ayo.” Mereka melangkah beriringan, hampir sampai di lounge Brian’s Operation, ketika Kate bertanya. “Aku masih penasaran, kamu kenapa tadi ngomong sendiri di depan pintu?” Jessi berhenti melangkah, ditatapnya Kate kesal. “Gue mau keluar, terus tadi gue nggak ngomong sendirian di depan pintu.” Ketika Kate masih membuka mulutnya untuk membalas, Jessi berlari meninggalkan sahabatnya yang mengerutkan dahi karena kebingungan.   *   Terlambat untuk kabur setelah Brian berhasil mendorong kembali pintu ruangannya, mengunci, lalu menyimpan kunci itu dalam saku celana pria itu. Jessi baru saja kembali dari pertemuannya dengan dr. Haikal ketika Brian berada di ruangannya, menunggunya. “Halo, Wife.” Brian menyapa. “Berniat kabur?” tanyanya geli. “Kenapa kau kemari?” Jessi bertanya kesal. “Makan siang denganku?” Brian menarik tangan Jessi untuk mengikutinya duduk di kursi yang kosong di depan mejanya. Ruangan Jessi tidak dilengkapi dengan sofa, sebagaimana ruangan kerja Brian. Jessi melihat Brian mengeluarkan beberapa kotak dari dalam paper bag yang terletak di atas mejanya. Steak tuna yang lezat terlihat menggiurkan di dalam kotak tersebut. “Aku tidak suka ikan mentah.” Jessi berkomentar sebelum Brian menawarkannya. “Sayang sekali, padahal tuna dapat meningkatkan fungsi kognitif otak.” Brian menutup kembali kotak makananya. Brian mengambil paper bag kedua yang diletakkannya di bawah meja. “Bagaimana dengan spaghetti?” Brian bertanya setelah membuka kotak yang kedua. “Kau menyiapkan menu lain?” Jessi bertanya alih-alih menjawab pertanyaan Brian. “Hanya berjaga-jaga.” Brian tersenyum miring. Jessi mendengus, dia duduk di kursinya, menyalakan komputer dan fokus membaca beberapa laporan pasien di sana. Mengabaikan Brian yang masih telah duduk di hadapannya. “Kamu mengabaikan aku?” Brian bertanya tidak percaya kepadanya. “Wife.” “Spaghetti disiang hari, pilihan makan siangmu sangat buruk, Brian.” Jessi berbohong, sebenarnya apa pun pilihan makanannya, dia akan dengan hati gembira memakannya, entah itu di siang hari, malam, petang atau pun pagi. Bertahun-tahun berteman dengan Abel, si tukang makan, membuat Jessi terbiasa dengan berbagai jenis makanan. Brian mengangguk-angguk, kemudian tangannya meraih sesuatu dari bawah, meletakkan sebuah papper bag baru. Jessi membulatkan mata, terperangah melihat kelakukan Brian. “Seberapa banyak sebenarnya kau membawa makanan ke mari?” Kali ini Gulaschupee, makanan khas Jerman. Makanan yang berbentuk sup, dengan kuah yang sangat kental, Gulaschupee masih mengepulkan asap ketika penutupnya dibuka. Didalamnya terdapat potongan daging sapi. Jessi tentu saja ingin mencicipinya, sudah lama dia tidak memakan makanan yang menjadi faforitnya dulu ketika masa kuliah. “Makanan berminyak, kau benar-benar buruk dalam memilih makanan.” Dengan menahan gengsi, Jessi berkata sarkastis. Brian mengulum senyumnya. “Aku kira kamu menyukainya. Kamu pernah tinggal di Jerman untuk waktu yang lama. Apa lagi, aku pernah melihat Abel memesan makanan ini beberapa kali.” “Sekarang apa?” Jessi bertanya, ingin segera mengusir Brian dari hadapannya. “Aku tidak suka makanan apa pun yang kau bawa.” “Tidak makan makanan berminyak, artinya kamu tidak makan nasi padang, ya?” Brian kembali mengeluarkan paper bag yang lain. “Aku sedang diet. Jadi, keluarlah.” Jessi berkata malas. “Aku sangat sibuk.” Brian menghela napas pasrah, “Apa boleh buat.” Jessi tersenyum, usahanya berhasil, sepertinya Brian sudah menyerah. Namun, senyumnya lenyap ketika Brian mengeluarkan satu papper bag lagi. “Kuharap beberapa buah apel tidak mengganggu dietmu.” Brian mengeluarkan buah apel dari dalam papper bag terakhir. Lalu, sebuah tupper ware yang ketika dibuka tutupnya menampilkan salad buah dan sayur yang terlihat sangat menggiurkan. “Aku tidak tahu kamu sedang mengikuti program diet yang mana, tapi apel bagus buat diet apa saja.” Jessi menggeleng, tidak habis pikir terhadap Brian yang sepertinya sangat memaksa untuk makan siang dengan dirinya. “Selamat makan.” Brian tersenyum, menatap Jessi sambil menyiapkan makannya sendiri. Pilihan pria itu jatuh pada nasi padang. Terlihat sangat menggiurkan, potongan daging rendang dengan bumbu yang banyak. Sambal merah khas Padang, kuah gulai yang kental akan santan, membuat Jessi menelan ludahnya susah payah. “Aku tidak suka kalau kamu diet.” Brian berbicara setelah menelan suapan pertamanya. “Kamu sudah kurus begini, apalagi yang perlu kamu buang dari tubuh kecil itu?” Brian menatap Jessi tidak suka. “Aku harus menjaga tubu supaya tetap ideal.” Jessi mengambil apel dan menggigitnya kasar. Mengutuk dalam hati karena cacingnya tidak bisa berhenti mengadakan demo setelah disuguhi makanan-makanan enak oleh Brian. “Ideal atau tidak, kamu tetap cantik,” jawab Brian. “Aku tidak akan meninggalkanmu, kalau pun kamu gendut karena makan banyak.” “Aku tidak berniat untuk hidup bersamamu.” Brian terkekeh. “Aku tahu.” Kemudian lelaki itu kembali melanjutkan makan. “Tapi kamu tahu? Setiap kata itu mengandung doa. Dan kadang, justru kebalikan dari kata-kata kita yang akan menjadi realitanya. Mungkin itu cara Tuhan untuk menunjukkan bahwa apa yang kita harapkan belum tentu yang terbaik. Bahkan sering apa yang paling sering kita kira tidak membutuhkannya, justru yang paling kita butuhkan.” Jessi mendengus, berusaha untuk menyamarkan bunyi yang baru saja dihasilkan oleh perutnya. Digigitnya apel pemberian Brian dengan brutal. “Kamu mempunyai dendam apa sama buah apel?” Brian terkekeh. “Jangan digigit kasar seperti itu,.” “Kenapa kau terus menggangguku, Brian?” “Salah sendiri.” Brian membalas santai. “Kmau mengusik hatiku yang sedang tidur.” “Aku tidak pernah.” “Kamu melakukannya, Wife. Kamu bahkan mencurinya.” Brian mendorong satu nasi padang lain ke hadapan Jessi. “Makanlah, aku tahu kamu lapar. Gengsi tidak akan membuat kamu kenyang. Lagi pula, saat kamu bisa makan di waktu yang tepat, manfaatkan. Karena di ruang operasi kamu membutuhkan banyak energi.” Jessi akan kembali menolak, tetapi perutnya berbunyi lebih keras kali ini, Jessi tidak sempat mengalihkan perhatian Brian supaya tidak mendengarkannya. “Kamu tidak pintar berbohong rupanya,” ucap Brian geli. “Diam kau!” Jessi membentak, setenga menahan malu ketika membuka nasi padang bagiannya. Disaat Brian masih menatapnya dengan senyum yang dikulum, Jessi merutuk dalam hati. Mengumpati perutnya yang berkhianat disaata yang paling penting seperti ini. “Aku suka melihat wajah kesalmu.” “Aku membenci wajahmu.” Jessi membalasnya. “Sudah kukatakan, benci saja aku sebanyak yang kamu mau.” Brian menatap Jessi seksama, “Tapi, kamu tahu, kan, kalau benci dan cinta itu hanya dipisahkan oleh sebuah garis tipis?” “Aku tidak membaca quote.” “Aku juga tidak.” Brian membalas. “Tapi aku selalu percaya bahwa hasil tidak akan mengkhianati usaha.” “Apa maksudmu?” “Tidak peduli betapa pun kamu membenciku, aku akan tetap membuatmu luluh. Karena ketika aku mengatakan kalau kamu adalah isteriku, maka sampai mati akan tetap seperti itu. Kamu akan menjadi isteriku.” “Kau gila.” “Tergila-gila padamu, iya.” Brian menjawab yakin. Dijawab dengan penuh keyakinan seperti itu membuat Jessi terdiam, melihat kesungguhan Brian, membuat jantungnya kembali bertingkah aneh. Berdegup kencang seakan hari esok ia tidak diizinkan untuk berdetak lagi. “Makan yang banyak,” kata Brian sambil mengusap puncak kepala Jessi. “Aku pergi duluan, ada meeting penting siang ini. Terima kasih sudah makan siang denganku hari ini, Wife.” Setelah berpamitan seperti itu Brian meninggalkan Jessi dengan perasaan yang semakin tidak menentu.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD