Hate Me to Love Me

917 Words
Bisa dihitung jari yang memberikan Jessi senyuman manis dan sapaan hangat pagi ini. Karena selebihnya, para karyawan, perawat maupun dokter muda bahkan dokter yang sedang koas, melirik Jessi dengan tatapan aneh nyaris sinis. Kemudian bisik-bisik mulai terdengar samar-samar, bahkan ada yang sengaja bersuara kencang supaya Jessi bisa mendengarkan apa yang sedang bicarakan. “Apa itu metode baru?” Salah seorang perawat berbicara kepada temannya sambil menatap Jessi lebih sinis. “Bukan.” Temannya yang berambut sebahu menjawab, “Itu cara lama. Basi banget, nggak, sih?” “Pura-pura jual mahal, ntar juga di ditawarin duit satu koper, di bakalan ngangkang.” Kali ini temannya yang sedang memegang hasil pemeriksaan pasien yang menimpali. Kemudian gelak tawa mereka yang penuh hinaan terdengar mengudara. “Gue yakin dia udah tidur sama dr. Brian.” Perawat yang memegang berkas kembali bersuara, “Kalau nggak, nggak mungkin dokter baru kayak dia bisa bergabung dalam Brian’s Operation, kan? Gue bahkan nggak ngeliat kemampuan dia.” “Iya, masuk akal, sih.” seru temannya yang lain. “Perlakuan dia ke dr. Brian selama ini mungkin hanya kamuflase supaya orang nggak tahu kejalangannya.” Jessi mengepalkan tangan. Telinganya terasa panas dan kemarahan rasanya sudah menumpuk di kepala. Dengan ketenangan yang masih terjaga, Jessi melangkah mendekat. “Cerita yang bagus,” ucapnya memberi komentar. “Siapa pengarangnya?” Sekelompok perawat itu awalnya terkejut, tidak menyangka bahwa Jessi akan seberani itu untuk menimpali percakapan mereka. Namun salah seorang dari mereka menatap Jessi berani, “Mengarang?” tanyanya sinis, “Kami membicarakan fakta.” Jessi mengangguk-angguk. “Fakta, ya?” gumamnya pelan. Matanya perlahan berubah tajam. Kemudian setelah yakin, dia bisa bersuara dengan dingin, Jessi bertanya, “Bisa kalian lihatkan buktinya?” Semuanya terdiam, Jessi menaikkan sebelah alisnya, terlihat geram menunggu. “Ada buktinya?” desaknya lagi. Mereka masih membisu, lalu Jessi tersenyum sinis. “Kali ini kumaafkan, lain kali kuseret nama kalian ke pengadilan.” Disaat para perawat itu pucat pasi karena ketakutan, Jessi mengedikkan bahu tidak peduli. Langkahnya sangat anggun ketika menuju ruangan sendiri.   *   Jessi berhenti, tangannya berhenti di handle pintu, setelah berperang dalam pikirannya, Jessi membalikkan tubuh dan melangkah menuju lift. Sebuah akses yang akan membuatnya sampai di ruangan Brian, seseorang yang ingin dimutilasi olehnya di meja operasi. “Selamat pagi, dr. Jessi.” Sekretaris Brian yang bernama Rosa menyapanya. “Selamat pagi.” “Ada yang bisa saya bantu, Dok?” “Di mana Brian?” “Brian?” Rosa membeo. “Iya. Saya ingin bertemu dia.” Rosa terlihat mengulum senyumnya, membuat Jessi semakin jengkel karena ia yakin Rosa pasti mengingat tentang kejadian semalam. “Anda bisa langsung masuk, Dok,” kata Rosa. “Terima kasih.” Jessi tidak menunggu sampai Rosa merespons ucapan terima kasihnya, karena begitu selesai mengucapkannya, Jessi langsung berderap menuju ruangan Brian.   *   Seharusnya Brian tidak perlu merasa aneh ketika pintu ruangannya terbuka disusul oleh suara berdebam. Namun, kalau disuruh mengakui, ini kali kedua pintunya dibuka dengan cara yang tidak hormat begitu. Dan pelakunya pun masih orang yang sama dengan yang membanting pintunya secara kasar. Melihat Jessi berdiri sambil menatapnya garang, Brian mulai berpikir untuk menyiapkan belasan atau bahkan puluhan pintu cadangan. Karena sepertinya, Jessi tidak akan berhenti untuk menendang atau membanting pintu ruangannya. “Morning, Wife.” Brian melebarkan senyumnya, mengabaikan muka Jessi yang siap untuk mengajaknya berperang. “Gara-gara kau, ….” Ucapan Jessi terpotong, matanya melebar, meneliti seluruh ruangan Brian. Terakhir kali dia masuk ke sini, Jessi masih ingat kalau ruangan Brian masih sangat normal sebagaimana ruangan kerja pada umumnya. Namun, hari ini …. “Apa yang kau lakukan dengan fotoku?” Jessi menatap horror pada fotonya yang memenuhi ruangan Brian disetiap sudutnya. Fotonya saat sedang di pesta kemarin malam, terpajang dalam ukuran paling besar. Digantung di dinding yang menghadap langsung ke tempat Brian duduk dibalik meja kerjanya. Di bagian dinding yang lebih luas digantung foto-fotonya dengan pola membentuk gambar hati. Ada fotonya, saat pertama kali peresmian Brian’s Operation, masih memakai sandal tidurnya yang berkepala singa itu, hadiah dari sahabat tengiknya, Abel. Fotonya saat berbicara dengan pasien, ketika itu sore hari di taman belakang rumah sakit ini. Potret dirinya ketika baru keluar dari ruangan operasi, setelah melakukan operasi pertamanya di Brian’s Hospital. Dan masih banyak lagi foto dirinya yang diambil tanpa disadari. “Kau penguntit gila.” “Aku gila karena kamu,Wife.” “Kau positif gila, Brian!” Jessi berteriak keras di depan Brian. Membuat pria itu menutup kedua telinganya. “Suaramu masih mengangumkan, Wife. Berapa oktaf kekuatan terbesarnya?” Brian menyembunyikan senyum gelinya. “Mampu membuatmu tidak bisa lagi mendengar untuk seumur hidupmu.” “Kamu sangat lucu.” “Kau,…” Jessi menghela napas kesal. “Singkirkan fotoku dari ruangan ini, Brian!” “Tidak.” “Tidak? Apa maksudmu dengan kata ‘tidak’?” “Tidak. Artinya tidak, Wife, aku tidak akan memindahkannya, apalagi menyingkirkannya.” Jessi benar-benar dibuat naik pitam oleh kelakuan Brian. Emosinya sudah mencapai titik tertinggi dari tubuhnya. Dan tinggal menunggu waktu, hingga dia meledak. “Kamu istriku, jadi, apa salahnya kalau aku memajang fotomu di mana-mana. Toh, ini ruanganku. Aku yang berkuasa, tidak akan ada yang melarang.” “Aku bukan istrimu.” “Soon to be.” “Dalam mimpimu.” “Akan terjadi dalam kehidupan nyataku, Wife.” Brian terkekeh. “Kamu lihat saja.” Brian berusaha mati-matian untuk tidak tertawa melihat bagaimana merahnya muka Jessi saat menahan marah. Napas wanita itu pendek-pendek, tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya yang ramping. Matanya seakan mengobarkan api yang siap melahap habis segalanya. Tidak kuat menahan betapa lucunya ekspresi Jessi, Brian akhirnya menarik sudut bibirnya. Dia tersenyum, kemudian menggeleng, merasa geli sendiri dengan pemikirannya. Bisa-bisanya dia menganggap Jessi yang sedang dilingkupi kemarahan sangat menggemaskan. Jessi berjalan mendekat, berdiri tepat di depan Brian. Kepalanya mendongak supaya bisa menatap kedua mata Brian. “Aku membencimu, Brian.” Jessi mengucapkannya lamit-lamit. “Aku bersumpah, dengan sisa kehidupan yang aku punya, aku membencimu.” Brian masih tersenyum, setelah memastikan Jessi tidak akan berbicara lagi, dia berkata dengan tenang. “Bencilah aku dengan seluruh hidup kamu, Wife. Karena dengan begitu, hanya aku yang akan selalu berada di pikiranmu. Jika sudah begitu, hanya menunggu waktu sampai aku juga berada di hatimu. Lalu, ketika cinta itu tumbuh dan bersemi, jangan harap kamu bisa melepaskan diri dari aku.” Jessi meremang. Kalimat Brian terdengar seperti janji, menggetarkan relung dadanya, membuat Jessi kehilangan akal. Pertama kalinya, Jessi membiarkan Brian mengecup bibirnya tanpa perlawanan.   *  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD