Perempuan Unik

1023 Words
Jessi mencak-mencak, kakinya menghentak kesal ketika memasuki apartemen yang mereka huni bersama. Belum sampai di ruang tamu, Jessi sudah melemparkan tasnya ke sembarangan arah hingga hampir mengenai vas bunga kesayangan Kate yang terletak di atas meja kecil di depan sofa. “Brian sialan,” umpatnya kasar. “Tuhan, apa dosa hamba?” Jessi kembali berteriak, kali ini sambil menatap langit-langit. “Kenapa hamba harus bertemu makhluk hidup seperti Brian itu di dunia ini?” “Jangan biasakan lempar ini itu kalau lagi kesal.” Kate berkomentar setelah memindahkan vas bunganya. “Kamu berpotensi merusak apa pun, Jess.” Jessi mengerucutkan bibirnya, dengan muka yang masih ditekuk sepuluh ia merebahkan tubuhnya di sofa coklat di depan telivisi. Abel menyusul tak lama setelah itu, gadis berambut pendek itu sudah memenuhi dekapannya dengan berbagai keripik kentang aneka rasa. “Brian serius suka sama lo, Jess?” tanya Abel sambil membuka bungkus keripik yang pertama. “Sama singa hutan kayak lo?” “Abel.” Kate mulai memperingatkan. “Mungkin otak Brian lagi ada masalah. Syarafnya lagi nggak berfungsi kali, makanya bisa jatuh cinta sama manusia kayak lo.” Abel mengabaikan teguran Kate. “Otak lo yang ada masalah,” sergah Jessi. “Gue?” Abel menunjuk diri sendiri, kemudian tersenyum pongah ketika berkata, “Gue lulusan terbaik kedokteran University of Konstanz.” “Lo pasti main suap.” “Sialan.” “Kenapa?” Jessi menyalak. “Gue bener, kan?” “Otak gue terlalu cerdas, sori, aja, tapi main suap bukan gaya gue.” Jessi hampir membalas ketika Abel kembali bersuara. “Lo ngomongin suap menyuap, jangan-jangan kerja di Brian’s Hospital karena hasil nyuap Brian, ya?” Abel menatap Jessi penasaran. “Suapnya pake uang apa pake aset?” sambungnya lagi dengan menaik-naikkan alisnya. “Lo!” Jessi berteriak murka. Mukanya memerah menahan emosi, bahkan ia sampai berdiri dari duduknya. “Berhentilah bertengkar barang satu hari aja.” Kate menatap keduanya dengan tatapan garang. “Kalian sudah nyaris berkepala tiga, tetapi kelakuan tidak jauh lebih baik dari bocah TK.” “Dia yang selalu memulai.” Jessi menunjuk Abel dengan penuh permusuhan. Sementara Abel terlihat sangat santai, gadis itu bahkan tidak segan untuk membuka bungkus keripik kentangnya yang keempat. “Hanya anak TK yang melemparkan kesalahan kepada orang lain,” ujarnya sambil menirukan gaya bahasa Kate. “Abel.” Kate menegaskan suaranya. “Berhenti mengganggu Jessi, kamu harus paham situasinya kalau seseorang sedang kesal.” Abel mengangguk. Langsung menunduk dan fokus menikmati cemilannya. “Kamu, Jessi.” Kate melihat kepada Jessi, “Kamu bisa mengabaikan Abel. Jangan biarkan diri kamu selalu terpancing oleh Abel yang memang dasarnya seperti itu.” Jessi mendengus kesal, diliriknya Abel tajam sekali lagi sebelum kembali duduk dan menjawab perkataan Kate. “Iya.” “Kenapa lagi?” Suara Anna membuat Kate menoleh dan mendapati Anna baru saja keluar dari kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Abel. “Bertengkar,” jawab Kate terdengar bosan. “Masalah apa lagi?” “Dia menuduh gue menyuap Brian dengan tubuh.” Jessi kembali bersuara. “Gue bilang aset bukan tubuh.” Abel ikut bersuara membela dirinya. “Tapi maksud lo pasti itu.” “Enggak.” “Stop.” Perintah Kate membuat keduanya langsung kembali diam. Anna berjalan mendekat. Dia memperhatikan Abel sejenak, kemudian beralih melihat Jessi, lalu dengan wajah datarnya yang tidak berubah, Anna berkata, “Kalau kalian tidak bisa akur, aku bisa mengurung kalian satu kandang bersama beruang kelaparan.” Kate menggigit bibirnya supaya tidak tertawa melihat eksprsi ketakutan Jessi dan Abel. Anna tidak pernah main-main dengan ucapannya. Dulu ketika mereka kuliah, pernah sekali mereka melakukan perjalanan ke kebun binatang. Seperti biasa, Abel dan Jessi terlibat perperangan yang tidak pernah bertemu kata damai. Akibatnya, Anna meminta petugas kebun binatang untuk membuka kandang singa dan memasukkan mereka berdua ke sana. Anna benar-benar mengurungnya tanpa menndengarkan himbauan petugas. Bahkan saat Jessi sudah meraung-raung minta dikeluarkan Anna hanya bergeming dan melanjutkan berkeliling. Mereka baru dikeluarkan tiga jam setelah itu, Jessi hampir tidak bernyawa karena ketakutan. Sementara Abel terlihat tidak jauh berbeda, meskipun perempuan bengal itu enggan mengeluarkan air matanya. “Gue minta maaf.” Abel yang lebih dahulu mengulurkan tangannya. Rupanya ia menyadari kalau sikapnya sudah sangat keterlaluan kali ini. “Gue juga minta maaf.” Jessi menyambutnya terlalu cepat, takut Anna melakukan apa yang dikatakannya. “Benar-benar kayak anak kecil,” gumam Kate menggelengkan kepala, lalu meninggalkan mereka bertiga. Dia yakin Jessi dan Abel tidak akan berulah lagi, setidaknya untuk sementara waktu.   *   Brian mematut dirinya di depan cermin, senyumnya terlihat bodoh, tetapi ia tidak bisa menghentikannya. Bahkan ia sengaja semakin melebarkan sudut bibirnya. Geli melihat dirinya sendiri, Brian memilih untuk menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Hari sudah larut, seharusnya Brian sudah tertidur, tetapi kepalanya sibuk memutar ulang kejadian di pesta tadi. Berulang-ulang, layaknya sebuah film kesukaan.   *     Flash back on …. “Calon isteri!” Teriakan isteri bergema di seluruh ruangan, memecah keriuhan suara tepuk tangan dan ucapan selamat. Menjadikan Jessi sebagai fokus pemandangan, karena semua mata teralih kepadanya. “Baby.” Brian memanggil Jessi mesra. “Baby!” Jessi membeo, “Kau buta sampai mengira aku ini bayi?” Brian melangkah, membelah kerumunan seperti di film-film romansa, berjalan lurus menuju Jessi. Namun, Jessi seperti memang ditakdirkan untuk menghapus kejenuhan dalam hidupnya, wanita itu bukan malah menyambutnya sebagaimana yang perempuan lain lakukan untuk Brian, Jessi justru menyiram Brian dengan bekas minuman Abel. Suara terkesiap mendominasi sebelum senyap mengambil alih. Semua orang enggan bersuara, sampai Abel yang tidak pernah mengerti situasi melayangkan protesnya. “Minuman gue, Jessi Protokol!” teriaknya mengubah nama Jessi, kebiasaannya ketika sedang kesal. “Kenapa hidup lo mubazir banget, sih? Di luar sana masih banyak yang butuh air bersih, butuh minum, di sini, tanpa perasaan, lo ngebuang-buang minuman.” “Diem, Lo!” “Lo yang diem!” Abel balas meninggikan suaranya. “Gue butuh minum.” “Lo bisa ambil, Bego. Di sini banyak.” “Nah, itu.” Abel berseru, “Di sini ada banyak, kenapa harus minuman gue yang lo pake buat nyiram muka Brian? Kan, minuman yang lain ada.” “Karena ….” “Enough.” Kate memijit pangkal hidungnya. Emosinya sudah terkumpul di ubun-ubun siap diluapkan melihat kelakukan kedua sahabatnya yang selalu berhasil membuat tekanan darahnya meninggi. “Minta maaf,” suruhnya. “Enggak.” Jessi dan Abel menolak dengan serempak. “Kalau begitu, pecat saja mereka, Sir.” Kate mengatakan itu dengan santai kepada Brian yang masih sibuk mengeringkan mukanya dengan handuk kecil yang entah dia dapatkan dari siapa. “Lho, kok gitu?” Abel kembali protes, “Gue, kan, nggak salah.” Kate mengacuhkan Abel, wajahnya sudah terlihat sangat sungkan ketika menundukkan sedikit kepala dan meminta maaf pada Brian. “Maaf telah membuat kacau di acara anda, Sir.” “Tidak masalah, Kate.” Brian tersenyum maklum. “Tidak masalah, kepalamu!” Jessi kembali berteriak. “Tarik dulu uca ….” kata Jessi selanjutnya tidak terdengar karena Kate membungkam mulut wanita itu dengan tangan rapat-rapat. “Saya akan membawa mereka pulang, terima kasih atas pestanya dan semoga sukses, Sir.” pamit Kate akhirnya meninggalkan acara pesta dengan menyerat paksa Abel dan Jessi yang masih terlihat enggan meninggalkan acara. Flash back Off ….   *   “I think, I’am falling onto you.” Brian bergumam sebelum terlelap tidur dengan mimpi yang indah tentang dirinya dan Jessi.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD