Looking For Dress

736 Words
Jessi lagi membaca jurnal di sofa yang tersedia di lounge, ketika Kate  baru masuk dengan wajah ceria. Senyumnya berseri-seri hingga memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi. “Ada apa?” Anna yang bertanya. Saat ini di lounge hanya ada mereka berempat. Jessi dan Anna yang sibuk dengan jurnal di tangan masing-masing, Abel yang kencan dengan berbagai cemilannya, juga Kate yang baru datang dengan wajah bahagianya. Kate menyipit, menatap mereka sejenak, lalu bertanya dengan nada sangsi, “Kalian nggak lupa tentang pesta nanti malam, kan?” “Pesta?” Jessi menutup jurnalnya. Pembahasan mengenai pesta selalu membuatnya melupakan segala hal. “Pesta pernikahan Jessi sama Brian?” Abel ikut menimpali. “Memangnya Brian mau dengan manusia aneh kayak Jessi?” “Lo mau gue bunuh hari ini?” Jessi bertanya marah. Matanya menatap nyalang pada Abel yang kembali memakan cemilannya. “Lo siap masuk neraka hari ini?” Abel membalas Jessi sambil menampilkan raut masa bodoh andalannya. “Arrabela.” Jessi menaikkan nada suaranya beberapa oktaf, “Sebenarnya, apa masalah lo sama gue?” tanyanya murka, “Gue punya utang underwear sama lo? BH lo pernah gue pake dan belum gue kembaliin?” Disaat Anna kembali fokus pada jurnalnya, Kate hanya menggeleng nelangsa. “Aku punya dosa apa di masa lalu, sampai Tuhan tega ngirimin kalian sebagai sahabatku.” “Gue juga bertanya-tanya mengapa Tuhan ngirimin lo sebagai sahabat gue.” Jessi dan Abel menjawab bersamaan. Kemudian saat tersadar, mereka kembali mengucapkan kaliamat yang sama dalam waktu bersamaan. “Kenapa lo plagiat jawaban gue?” “Karena kalian saudara kembar yang terpisahkan sejak lama.” Kate mengadu kepala Jessi dan Abel yang saling menatap sengit. Setelah itu seakan tidak berdosa, Kate pergi meninggalkan mereka. Setelah Kate benar-benar menghilang, giliran Anna yang meninggalkan lounge. Wanita berwajah kutub selatan itu juga pergi tanpa merasa sungkan meninggalkan Jessi dan Abel yang saling mengirimkan sinyal untuk saling membunuh. “Tunggu apa lagi?” Abel tersenyum meremehkan. “Katanya mau ngebunuh gue?” “Dijemput malaikat maut lo.” Detik selanjutnya lounge kembali menjadi tempat yang menyeramkan untuk dimasuki.   *   “Mencari gaun untuk nanti malam, Wife?” Suara itu membuat Jessi kaget sehingga ia membalikkan badannya dengan kesal. “Aku tidak terkejut melihat kau juga di sini.” “Benarkah?” Brian bertanya dengan senang, “Kau sudah menduga kita akan bertemu, ya?” “Menduga kepalamu,” salak Jessi. “Gimana mungkin aku menduga disaat kau sengaja mengikutiku, Sialan.” “Aku?” Brian menunjuk batang hidunganya sendiri, “Mengikutimu?” Brian menahan kedutan di sudut bibirnya agar tidak pecah menjadi tawa. “Kau terlalu percaya diri, Wife.” Jessi mendengus, menatap malas, kemudian dia kembali fokus memilih gaun pada deretan evening gown yang tersedia di salah satu butik milik perancang ternama tanah air. “Tapi kau benar.” Brian berkata di samping Jessi, “Aku memang mengikutimu. Dan karena kau mengetahuinya, kurasa kita satu pemikiran. Jangan-jangan kita memang berjodoh, Wife.” “Aku akan menangis darah jika saat itu tiba,” balas Jessi sarkas. Jessi mengambil sebuah long dress merah terang dengan tali sphageti dan bagian punggungnya terlalu terbuka. Jessi yakin, jika ia memakai gaun ini, punggun seksi hasil olahraganya setiap pagi akan terekspos sempurna. Memikirkan hal itu membuat senyum Jessi terukir lebar. “Lupakan gaun ini.” Brian mengambil gaun itu dari tangan Jessi, lalu meletakkannya lagi di tempat semula. “Cari yang lain.” “Kenapa kau mengaturnya untukku?” Jessi bertanya kesal. Tangannya kembali meraih gaun merah terang itu. “Aku tidak mau punggungmu menjadi tontonan pria mata keranjang sepanjang malam.” Brian kembali mengambil gaun itu dari tangan Jessi, kali ini ia tidak meletakkannya di gantungan, melainkan melemparnya ke sembarang arah. “Kau merusaknya,” jerit Jessi sambil menatap iba pada gaun yang sudah yang teronggok bagai kain lap itu. Brian mengabaikan Jessi, ia memilih untuk memanggil pramuniaga butik dan meminta untuk dibawakan sebuah gaun malam yang tidak terlalu terbuka, tapi tetap elegan. Pramuniaga itu mengangguk, setelah beberapa saat menghilang, ia kembali dengan sebuah A-Line Dress bewarna merah maron, terlihat simpel tetapi juga elegan. “Ini yang paling sesuai dengan yang anda minta.” “Terima kasih.” Brian menerima gaun itu dan memberikannya pada Jessi. “Bahumu tidak akan terbuka apa lagi punggungmu.” Jessi mendengus, tetapi dalam hati di sangat menyukai gaun ini. Sangat simpel, kecil di bagian atas dan semakin melebar di bagian bawahnya. Tidak terlalu seksi, tetapi mampu memberikan kesan jenjang pada kakinya. Namun, ketika ia melihat harga yang tertera, Jessi langsung menelan ludahnya tidak rela. Mau berapa dia harus berpuasa untuk makan makanan bergizi demi sebuah gaun. “Aku tidak menyukainya.” “Aku mau ini.” Brian mengabaikan Jessi dan menyerahkan gaun tersebut keada pramuniaga yang masih melihat mereka. “Kirim tagihannya kepadaku.” “Baik, Pak.” “Berikan ini kepadanya, aku mau ini.” Jessi menyerahkan sebuah gaun yang ia tarik sembarangan dari tempat gantungannya. Kemudian dia melangkah lebar-lebar ke kasir, menghindar sejauh mungkin supaya dia tidak berubah pikiran dan khilaf menerima gaun pemberian Brian. “Ini bagaimana, Pak?” Pramuniaga butik bertanya pada Brian. “Tetap saya ambil, sekalian dengan yang dia mau. Semuanya masukkan ke tagihan saya.”   *  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD