bab 3

1442 Words
David melingkarkan tangan di pinggang Vina, memperhatikan dengan cermat wajah wanita yang dia nikahi enam tahun lalu. Menikmati garis dan lekuk sempurna di sana, wajah manis yang memikat hati sejak pandangan pertama. Kemiripan sifat membuat David memantapkan tekad untuk meminang gadis pujaan hanya tiga bulan setelah menjalin hubungan. Latar belakang kehidupan yang sama, membuat David ingin selalu melindungi wanita itu. Menuruti semua permintaan dan melaksanakan ide-ide gilanya, seperti saat ini. "Kenapa, Sayang?" Pertanyaan istrinya membuyarkan lamunan David. "Ngga," jawab David sembari tersenyum, "kamu, cantik." Vina mencibir, mencubit lengan pria itu. "Ada apa? Ngga biasanya romantis." "Sekali-sekali ngga apa-apa, kan?" "Maunya sering." Istrinya merajuk. David tersenyum mendengar permintaan itu. Pria itu sadar, dia memang lebih sering bersikap dingin, sedikit kesulitan mengekspresikan apa yang dirasakan. Untunglah istrinya bisa mengerti dan memahami, salah satu nilai lebih yang membuat David mencintai wanita itu. "Kamu tahu, aku ingin," bisik David lirih, "tapi tidak bisa ...." Wanita itu meraih dan mengecup bibir David lagi. "Aku tahu ... Hanya saja, kadang aku ingin lebih sering dimanja," ucapnya jujur. "Aku akan terus berusaha ...." "Nah, aku rasa kamu bisa mulai dengan berusaha memindahkan tubuh itu." Istrinya menggedikkan bahu ke arah ranjang. "Ah, sampai lupa," ucap David, "Selalu terpesona pada kecantikanmu," ujarnya lagi seraya melepaskan tangan dari pinggang sang istri, meletakkan jari telunjuk dan jari tengah di leher wanita yang tertelungkup di atas kasur, merasakan denyut nadinya. "Sayang ... Sepertinya kamu harus terus melatih pukulanmu," kata David saat merasakan masih ada denyutan lemah dari jantung yang berusaha untuk terus memompa, berjuang agar pemiliknya tetap hidup. "Kalau tidak, aku harus selalu menyelesaikan pekerjaanmu," ujar David lagi seraya membalikkan tubuh itu. "Benarkah?" tanya Vina, melangkah mendekat, "ah ... aku sedikit meleset," gumamnya saat melihat pupil si wanita bergerak-gerak liar, melebar dan menyempit. Sorot kengerian terpancar jelas dari wajah di bawah sana saat melihat tangan David mendekat ke leher jenjangnya. Bibir yang dipoles merah menyala bergerak terbata tanpa suara, memohon belas kasihan untuk nyawa yang seakan tak berharga, sementara darah masih terus merembes dari belakang kepala. Bulir bening mulai menetes dari sudut wajah wanita berparas ayu saat tangan kokoh David menekan pangkal tenggorokan, memutus pasokan oksigen. Tubuhnya menggeliat, meronta, berusaha melawan. Sia-sia. Tangan dan kaki wanita bernasib naas itu mengejang, mengentak beberapa kali, sebelum luruh meregang nyawa dengan lidah terjulur keluar dari mulut yang mengeluarkan desahan panas beberapa waktu lalu. "Aah ... Malang sekali," desis istrinya lirih, "tapi perlakuan seperti inilah yang pantas diterima oleh wanita-wanita menjijikkan seperti mereka," lanjutnya lagi, kali ini dengan tatapan yang penuh kebencian, "seperti ibuku." "Juga ibuku," sahut David, menatap sinis tubuh yang baru saja dia ambil nyawanya secara paksa. "Ku harap mereka juga mengalami nasib yang mengenaskan seperti ini," rutuknya. Jangan salahkan, jika akhirnya kami seperti ini. Desis David dalam hati. Pria itu meletakkan kedua tangan di bawah ketiak wanita yang meninggal dengan mata terbuka dan leher mulai membiru, lalu menarik jasad dari atas tempat tidur dan mulai menyeretnya menuju basemen, meninggalkan jejak darah di lantai kamar dan sepanjang lorong menuju tangga. David tidak merasa cemas, istrinya selalu mahir membersihkan hasil perbuatan mereka tanpa bekas. *** Damian, pria berusia 37 tahun, menatap pantulan bayangan dalam cermin besar yang melingkupi seluruh basemen. Matanya terpaku pada sosok seorang pria yang sedang menyeret jasad wanita menuju meja bedah, David. Pria itu tampak berfokus pada tubuh di bawahnya, entah jasad ke berapa yang dia bawa ke tempat ini. Yang jelas, Damian sangat bersemangat. Apalagi saat David mulai memutar lagu dari dalam layar ponsel. Look If you had one shoot Or one opportunity To seize everything you ever wanted In one moment Would you capture it Or just let it slip? Dentum musik yang sangat dia suka mulai mengalun keras. Damian menyeringai, tak sabar untuk menggantikan posisi David. Pria itu terlalu pengecut untuk mengerjakan hal-hal kotor dan sadis, sehingga Damian harus selalu mengambil alih dan menyelesaikan untuknya. Masih teringat jelas dalam memori Damian, bagaimana David kecil yang dulu bertubuh ceking itu gemetaran dan terkencing-kencing di celana saat dirundung preman, menjerit ketakutan setengah mati meminta pertolongan. Tanpa berpikir dua kali, Damian meraih batu bata dan menghantam kepala b*****h itu, membuatnya menggelepar meregang nyawa di lorong gelap. Jasadnya baru ditemukan seminggu kemudian, membusuk, dimakan anjing liar. Bibir David bergerak pelan mendendangkan lagu. “ Yo ... His palm are sweaty, knees weak, arms are heavy ....” There’s vomit on his sweater already, mom’s spaghetti He’s nervous, but on surface he lokss calm and ready To drop bombs, but he keeps on forgettin’ What he wrotedown, the whole crowd goes so loud He opens his mouth, but the words won’t come out Aahh ... Kini saatnya, giliranku .... Damian mendesis puas, sepasang manik kelam milik David kini berubah dingin. Damian menatap wajah mayat yang mendongak ke atas, tidak berniat untuk membetulkan ekspresi yang terlihat menyeramkan di bawah sana. Ada kepuasan tersendiri baginya saat melihat wanita-w************n itu meregang nyawa dengan cara yang mengenaskan. Mereka memang pantas. Sedikit kepayahan, Damian mengangkat mayat yang masih terasa sedikit hangat ke atas meja bedah, menikmati ekspresi ketakutan yang masih terpancar dengan jelas di sana. Darah di belakang kepala sudah mulai mengental dan menghitam saat dia mengucurkan air membasahi rambut yang hitam dan tebal, warna merah yang pekat luruh ke lantai. Pria itu menuang shampoo beraroma strawberry ke telapak tangan, menggosoknya sampai berbusa, lalu mengoleskan merata di rambut indah itu. Membilas lagi dengan air sampai bersih, kemudian mengeringkannya dengan handuk. Dengan penuh perasaan, Damian menyisir helaian itu agar tidak kusut. Bibirnya masih tetap mendendangkan nada seirama lagu yang terus menyentak, sesekali ditimpali siulan nyaring. Dia sangat menyukai bagian ini, sungguh menikmatinya. Pria itu meraih gunting di dalam laci, mengambil segenggam rambut dan memotong dari pangkalnya. Dihirupnya aroma shampoo yang menguar, wangi yang menyenangkan, kemudian mengikat ujung potongan rambut itu dengan karet lalu memasukkannya dalam sebuah botol kaca kecil. “Kinan ....” Damian mengguman lirih. Nama wanita itu ditulisnya pada kertas yang menempel di botol, lalu disimpan dalam lemari kaca. Berjejer dengan ratusan botol lain. “Seandainya kau memutuskan untuk tetap duduk manis di rumah, tidak tergoda bujuk rayu David, mungkin sekarang kamu masih hidup ...,” desis pria itu lirih di telinga mayat yang terbujur kaku. Dia memotong habis sisa rambut yang masih ada, lalu melemparkannya ke dalam tempat sampah. You better lose yourself in the music, the moment you own it You better never let it go You only get one shot, do not miss your chance to blow This opportunity comes once in a lifetime You better... Kepala Damian menghentak mengikuti alunan musik, meraih pisau daging di bawah ranjang besi, mengayunkan tangan sekuat tenaga ke leher Kinan yang malang. Kepala itu terlepas, menggelinding ke tembok. Pria itu menyeringai puas, David tidak akan mungkin bisa melakukan hal ini. Masih terekam dengan jelas dalam ingatan Damian bagaimana pria pecundang itu muntah sangat hebat saat berusaha mengeksekusi korban pertamanya. David akhirnya menyerah dan meminta pertolongan Damian, seperti yang selalu dilakukannya. Damian menghampiri dan memungut kepala itu, lalu memasukannya dalam salah satu lemari pendingin dengan tulisan “BONE”. Dia memotong sisa tubuh itu menjadi beberapa bagian kecil, lalu mulai menguliti jasad itu dengan pisau bedah. “Indah sekali ....” Damian mendesis penuh hasrat, saat melihat daging berwarna merah yang tampak begitu segar menggoda. Dia melanjutkan dengan mengiris jaringan otot itu sampai ke lapisan tulang dan menariknya agar tak lagi menempel di sana, kemudian memotongnya kecil-kecil untuk dicampur dengan daging sapi yang asli, menyimpannya dalam lemari pendingin dengan tulisan “MEAT”. Pria itu tidak merasa takut atau khawatir, tidak akan ada yang tahu. Ia sudah melakukan hal ini sejak bertahun lalu. Peluh mulai menetes, bercampur dengan bercak darah dari tangan saat menyeka keringat. Aroma ini adalah candu, Damian menarik napas dalam-dalam. Anyir, amis darah; perpaduan bau besi dari hemoglobin yang terpapar udara. Bunyi gemeretak tulang yang beradu dengan pisau daging menyulut gairah Damian, semakin bersemangat memotong dan mencincang. Memutuskan rangka tubuh tanpa daging itu menjadi potongan yang lebih kecil. Lalu menyimpannya dalam lemari bertuliskan “RAW BONE.” Pria itu memunguti serpihan daging dan tulang yang berserakan di lantai, memasukannya dalam wadah plasti untuk digabungankan dengan raw bone. Setelah itu, ia membersihkan noda yang menempel di ranjang dan lantai, perlahan membasuh dengan kain basah, mengganti air dalam ember beberapa kali sampai warnanya tak semerah darah lagi. “Terima kasih, kau selalu datang dan membantu di saat aku sangat membutuhkan pertolongan,” ujar David, menatap lurus ke manik mata Damian saat semua pekerjaan telah selesai dikerjakan oleh pria itu dengan rapi. Damian, sosok pria berusia 37 tahun yang tangguh, tersenyum puas penuh kesombongan kepada David, pria yang dia anggap lemah. Tidak ada yang tak bisa Damian lakukan untuk David. Oleh sebab itulah, David selalu memandanginya dengan tatapan memuja seperti saat ini. “Terima kasih,” ujar David sekali lagi seraya menganggukan kepala ke arah Damian, bayangannya sendiri yang terpantul dari dalam cermin. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD