bab 2

982 Words
Vina menatap cermin sembari memoleskan bedak tipis ke wajah ovalnya, kemudian membubuhkan pemerah berwarna nude di bibir. Rambut hitam yang tebal itu diikat ekor kuda, terlihat natural saat beberapa surai jatuh di kening dan tengkuk. Kaos biru dongker dan celana skiny jeans begitu pas di tubuh moleknya. Sempurna. Wanita berusia 28 tahun itu berjalan keluar dari kamar, menghampiri pria tampan yang sedang duduk di atas sofa hitam. "Sayang, aku berangkat," pamit Vina. Pria bertubuh atletis yang dibalut kaos putih polos dan celana pendek bercorak tengkorak itu sedang asik mengamati foto profil beberapa wanita di akun f*******:. Pose wanita-wanita itu begitu menggoda, dan mengundang. "Hmm ...." Hanya gumaman itu yang terdengar sebagai jawaban. Mata teduh suaminya tetap terpaku pada layar ponsel. Vina tidak ingin menanyakan, siapa atau dari mana wanita-wanita itu berasal. Bukan urusannya. Lagipula, Vina sudah terbiasa melihat suaminya melakukan hal ini, hampir setiap hari. "Makanan sudah aku siapkan di meja makan," ujar Vina sebelum tangannya meraih gagang pintu, "aku mencintaimu." Tanpa menunggu jawaban dari suaminya, wanita itu membuka pintu dan keluar. Dia tahu, suaminya tidak akan membalas ucapannya tadi. Wanita itu menuju mobil sport berwarna metalik keluaran terbaru yang diparkir di halaman rumah, menyalakan benda itu dan memacunya menuju toko daging miliknya. Sebenarnya sudah 5 tahun Vina dan suami merintis usaha ini, namun baru satu tahun belakangan usaha mereka berkembang pesat. Sejak saat itu pula, suaminya lebih memilih untuk tinggal di rumah. Pria itu makin intens berselancar di dunia maya, mengamati foto gadis-gadis muda nakal, atau wanita bersuami yang tampak kesepian. Kadang, ia pergi entah ke mana, kemudian pulang dengan wanita yang berbeda.Vina tidak peduli, toko daging yang lebih penting baginya. "Pagi, Bu," sapa salah seorang karyawan. Total ada 5 orang pekerja di toko daging milik Vina. Mereka semua masuk pukul 09.00 pagi dan pulang setelah pukul 19.00. "Pagi," balas Vina, berjalan menuju kantornya. "Permisi, Bu." Salah seorang pegawai masuk ke dalam ruangan berukuran 2x2 meter itu. "Stok daging untuk semur sama rawon udah habis." "Oke, besok saya kirim." Pegawai wanita itu mengangguk mengerti dan menutup pintu. Vina tersenyum. Banyak orang sangat berminat terhadap kualitas daging yang ia jual, sehingga pelanggannya makin bertambah dari hari ke hari. Tok. Tok. Tok. Terdengar lagi ketukan di pintu. "Masuk." "Bu, ada request 50 kilo raw bone untuk tempat penampungan anjing. Mereka tanya, kira-kira kapan bisa dimbil?" "Besok." Pegawai wanitanya sedikit membungkukkan tubuh sebelum berlalu. Vina menyandarkan tubuh ke kursi, benar-benar merasa puas dengan kemajuan usahanya ini. Omzet yang dihasilkan pun cukup fantastis. Dari keuntungan toko inilah, bulan lalu Vina dapat membeli tanah seluas 500 meter dan mengurus pembangunan pabrik gelatin di sana. Meski sudah berkembang pesat, Vina memilih untuk tetap turun tangan mengawasi toko, dan berinteraksi langsung dengan pembeli. "Gimana, Bu? Ada keluhan?" tanya Vina pada seorang wanita bertubuh gempal yang sedang sibuk memilih potongan daging dalam wadah styrofoam. "Ngga, Mba. Enak, kok. Rasa dagingnya beda sama yang biasa saya beli di pasar," jawab wanita dengan rambut disasak tinggi itu antusias, "lebih segar, rasanya juga lebih manis dan lembut. Tulang untuk kaldunya juga mantap, kuahnya lebih kental dan gurih. Pokoknya enak banget, deh. Saya sampe promosiin ke temen-temen yang lain." "Wah, syukurlah kalau Ibu suka," balas Vina, "makasih banyak loh, Bu, udah dibantu promosi." Vina tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya yang putih dan rapi. "Sama-sama, Mba." Wanita itu memasukkan beberapa kotak styrofoam berisi daging ke dalam keranjang belanjaan. "Maaf, kalo boleh tau, supplier daging Mba ini dari mana?" "Dari luar kota, Bu. Kalo kehabisan stok, kadang ambil dari online juga," jawab Vina. "Oh ya, ngomong-ngomong nanti Ibu minta bonus di kasir, ya, karena Ibu udah bantu promosi. Bilang aja Ibu Vina yang suruh." "Ya ampun ... Makasih banyak loh, Mba ...," ucap wanita itu, melangkah menuju kasir dengan penuh semangat. Vina bersedekap, senang. Kepuasan pelanggan adalah nomor satu baginya. Vina tetap berdiri di depan bersama pekerjanya, menyambut dan melayani tamu yang datang. Toko daging ini berada di dekat salah satu perumahan elit di Ibu Kota, tempat tinggal khusus pejabat-pejabat dan artis. Sudah tentu yang membeli dagangannya ini pun berasal dari kalangan atas. Maka dari itu, berapapun stok daging yang masuk, selalu habis tak bersisa. Harga bukanlah masalah bagi orang-orang dengan harta melimpah itu. Wanita itu sedikit terkejut melihat langit yang mulai gelap dari balik kaca toko, tersentak mengingat ada yang dia tunggu. Vina segera masuk ke dalam kantor dan mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja, mengusap layarnya dan membaca pesan yang tertulis di sana dengan wajah datar. Pesan itu berisi informasi yang sudah ditunggunya sejak tadi. Segera ia meraih tas dan kunci mobil. "Nanti kalau udah selesai, jangan lupa pintu dikunci," pesan Vina pada karyawan yang lewat di depan kantor, "bawa aja dulu kuncinya, seperti biasa. Saya buru- buru." "Baik, Bu.” Tergesa, wanita itu melangkah menuju mobilnya dan secepat mungkin mengemudikan kendaraan itu membelah langit senja menuju rumah. Mata Vina memicing saat melihat sepasang sandal wanita berada di depan pintu. Perlahan, Vina melepas sepatu dan masuk ke dalam. Tangannya meraih pemukul kasti di samping lemari yang sudah dia disiapkan dari kemarin, berjingkat menuju kamar tidur. Pintu itu sedikit terbuka, membuat suara desahan terdengar jelas dari sana. Berusaha sepelan mungkin, Vina mendorong pintu itu dengan siku kiri. Kedua tangan wanita itu memegang tongkat pemukul erat-erat dan mengayunkan benda itu sekuat tenaga menghantam kepala wanita yang sedang membelakanginya. Wanita itu tumbang dan menggelepar di atas tubuh suaminya, membuat pria itu menatap Vina tajam. "Kenapa lama sekali?" tanya suaminya seraya mendorong tubuh yang barusan berada di atasnya dengan kasar. "Mau disimpan dulu?" Pria itu melirik tubuh seksi tanpa busana di atas ranjang. "Maaf, tadi ada pelanggan," jawab Vina, mengambil tissue untuk membersihkan wajah suaminya dari percikan darah wanita tadi, lalu meraih tengkuknya dan menciumi wajah pria itu. "Tidak perlu, ada banyak pesanan untuk besok. Malam ini kita lembur," jawab Vina, "untuk sementara, sisa tulang yang kemarin disimpan saja dulu. Nanti kalau pabrik sudah jadi, baru kita keluarkan." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD