Bagian 4

2950 Words
“Terkadang… diam bukan berarti tak peduli. Karena dibalik itu semua, selalu ada rasa ingin memiliki namun tak ingin menyakiti. Yang mungkin bisa menimbulkan luka dan berbekas dihati.” ~ litaps ~ Di taman kampus, Lydia tengah terduduk di kursi taman seorang diri. Matanya bengkak dan hidungnya merah layaknya orang yang habis menangis. “Ya Allah... kenapa rasanya begitu sakit? Apa ini teguran dari-Mu karena hamba sudah terlalu berharap kepada manusia, dan bukannya pada-Mu? Ampuni hamba ya Rab...” lirihnya dengan pelan. Karena tidak ingin ada orang yang mendengarnya. Namun tiba-tiba seorang pria datang mnghampirinya. “Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh.” Si pria mengucap salam dengan suara lantang. Dan tentunya membuat Lydia terkejut. “Wa'alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh,” jawab Lydia sembari menengok ke asal suara. Dan dia sudah tau pasti pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Fakhri, manusia yang suka mengusik ketenangannya. Pria bernama lengkap Fakhri Hamzah Kamil ini, memanglah teman yang paling senang bila sudah membuat Lydia merasa kesal. “Lydia, ngapain kamu di sini? Dan kenapa tadi gak hadir di rapat organisasi? kamu tahu gak sih, bang Azhar sampai nyariin kamu? Rapat tadi itu lumayan penting loh Li. Untuk bahas acara ulang tahun kampus kita. Dan agenda acaranya kan ada di kamu.” “Eh, maaf Ri. Aku tadi ada keperluan. Tapi kan Melani punya salinannya?” Fakhri pun mendudukkan dirinya di bangku yang masih kosong yang posisinya berhadapan dengan Lydia, “Terus, kenapa handphone kamu dari tadi di hubungin gak bisa? Handphone mu rusak?” “Enggak kok. Handphone ku baik-baik aja. Aku dari tadi belum buka handphone. Tapi rapatnya lancar kan?” “Oh, begitu... Alhamdulillah rapatnya lancar. Eh tunggu, kamu habis nangis Li?! Uluh-uluh kenapa dek? Pengin balon? Nanti a'a beliin ya. Cup cup cup cup.” “Apaan sih Ri? Siapa yang habis nangis?! Aku NGGAK nangis ya! Aku cuma lagi flu!” “Dihh alasan! Kelihatan kali kalau habis nangis!” “Terserah! Udah ah, aku mau ke Masjid aja mau sholat dhuha. Males aku ngeladenin orang kayak kamu. Assalamu'alaikum!” “Wa'alaikumussalam. Sewot amat mbak. Lagi pms ya!” “Kalau aku pms, ngapain aku sholat?!” Fakhri pun hanya mengangkat jari tengah dan jari telunjuknya. Sebagai pertanda damai, beserta cengiran yang terukir di wajahnya yang tampan. “Entah kenapa, hanya dengan melihat sikapmu yang seperti ini malah semakin membuatku ingin cepat-cepat menjadi Imam-mu Li. Tapi aku senang, kamu sudah tidak bersedih lagi. Meskipun aku tidak tahu apa penyebab kesedihanmu. Tapi aku tak ingin melihat kamu bersedih. Maafkan aku juga yang selalu membuatmu kesal.” Fakhri bergumam sambil menatap kepergian Lydia. Wanita yang ia kagumi dalam diam, karena belum ada keberanian dalam dirinya untuk mengungkapkan apa yang selama ini ia rasakan. --- Sesampainya di Masjid kampus, Lydia melaksanakan sholat dhuha. Bersama beberapa mahasiswi lain yang juga menunaikan sholat sunnah yang mendatangkan banyak kebaikkan bagi siapapun yang melaksanakannya. Setelah selesai menunaikan sholat dhuha. Lydia membaca Al-Qur'an kecil yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi -kecuali toilet-. Ia melanjutkan bacaan Al-Qur'an nya, dengan suara pelan karena takut mengganggu jama'ah yang lain bila suaranya terlalu keras. Setelah usai membaca Al-Qur'an. Lydia bergegas untuk masuk kelas berikutnya. Tapi langkahnya terhenti, saat mendengar lantunan ayat suci Al-Qur'an yang dibacakan oleh seorang pria. Karena tempat sholat pria dan wanita dipisahkan oleh hijab, Lydia tidak bisa melihat siapa yang sedang membaca kalam Allah se merdu itu. Tapi sungguh, pria itu begitu tartil dalam membaca firman-firman Allah. Biasanya, ia mendengar lantunan ayat suci Al-Qur’an yang di baca tartil oleh kak Azhar ketika peembukaan jika ada pertemuan organisasi. Namun suara ini berbeda dengan suara kak Azhar. “Siapa pemilik suara indah ini?” batin Lydia. Lydia pun masih terus mengahyati suara itu. Dan hampir saja ia lupa bahwa ada kelas yang harus ia hadiri sebentar lagi. --- Tak terasa waktu begitu cepat berlalu... Membuktikan bahwa tiada yang abadi di dunia ini, karena semua hanyalah titipan sang Maha kuasa. Kesenangan dan kesedihan, semua akan datang dan pergi silih berganti atas kehendak sang illahi rabbi. Tadi malam, Lydia di telepon oleh Indah. Dan dalam percakapannya itu, Indah mengatakan kalau ia sudah menerima lamaran dari kak Azhar. Indah pun bilang, kalau bulan depan dia dan kak Azhar akan melangsungkan pernikahan, tepat sepekan setelah kak Azhar menuntaskan sumpah dokternya. Karena bulan depan kak Azhar akan akan menjadi dokter yang sesungguhnya, bukan lagi sebagai koas ataupun mahasiswa tingkat akhir di Fakultas Kedokteran Dari cara bicara Indah di telepon, Lydia tahu pasti jika sahabatnya itu sedang merasa sangat bahagia. Dan mulai saat itu, Lydia telah bertekad pada dirinya sendiri. Bahwa ia akan meingkhlaskan Azhar, bukan lagi sekedar melupakan perasaannya pada Azhar. Dan Lydia pun berharap agar Allah senantiasa menguatkan iman nya, agar ia tak mudah lagi berharap pada seseorang yang belum halal bagi nya. Karena ia percaya, ketika Allah mengambil sesuatu darinya. Pasti akan Allah gantikan lagi sesuatu itu dengan hal yang bahkan lebih indah dari sesuatu yang pernah ia harapkan dulu. Karena Allah lebih mengetahui segala isi hati. Dan senantiasa memberi apa yang kita butuhkan, bukan hanya sekadar yang kita inginkan. --- Di taman kampus, Lydia tengah berbincang dengan Indah. Karena Indah telah memintanya untuk mendengarkan curahan hatinya, yang sedang berbahagia tentunya. “Li... kok aku deg-deg an ya? Aku gak nyangka bakal menikah muda. Padahal kan dulu kamu yang sering nunjukin aku kisah tentang nikah muda. Eh malah aku yang nikah muda.” Lydia hanya tersenyum mendengar perkataan Indah. “Kok kamu cuma diam sih Li dari tadi? Komentar dong… kan biasanya kamu cerewet. Kamu lagi ada masalah Li? Cerita dong sama aku. Aku akan bantu kamu kok.” “Ehmm- gak papa kok Ndah... eh, iya. Sebentar lagi aku ada rapat organisasi nih. Kalau kamu mau cerita besok aja ya. Sekarang aku lagi sibuk. Maaf ya Ndah…” “Okay, tapi janji ya... besok kamu harus jadi pendengar curhatan aku!” Lydia hanya membalasnya dengan anggukan, disertai senyum manis yang terukir dari bibir tipisnya. “Oh iya Li! Besok temani aku beli pakaian muslimah ya... aku mau belajar menutup aurat dengan benar mulai sekarang.” Perkataan Indah barusan, membuat mata Lydia berbinar penuh bahagia. “In Sya Allah Ndah, pasti aku temani. Tapi ini benar kemauan kamu kan Ndah? Gak ada paksaan dari siapapun kan?” “Gak kok Li, ini kemauan aku sendiri. Aku sekarang mau mencoba memperbaiki diri, dan In Sya Allah dimulai dengan membenarkan cara berpakaianku sesuai dengan yang telah Allah perintahkan. Karena sebentar lagi kan, aku akan menjadi seorang istri.” “Alhamdulillah... aku senang dengarnya. Ya sudah, sekarang aku mau rapat dulu ya. Assalamu'alaikum Ndah....” “Wa'alaikumussalam. Eh, tunggu dulu Li. Boleh aku tanya sesuatu? Aku janji gak akan lama.” “Apa yang mau kamu tanyakan?” “Ehmm, sebenarnya menjawab salam itu wa'alaikumssalam atau wa'alaikumussalam sih Li? Aku masih bingung. Soalnya biasanya aku ngikutin kamu pakai wa’alaikumussalam, hehe…” Lydia pun kembali ke tempatnya duduk tadi. Dan mulai menjawab pertanyaan yang barusan Indah ajukan. “Bismillah... Gini ya Ndah, sebenarnya ada beberapa pendapat mengenai hal ini. Ada juga ustadz/ustadzah yang mengatakan jika kedua nya benar. Tapi menurut pendapat guruku, yang lebih afdhal itu menjawab dengan yang wa'alaikumussalam. Karena apa? Karena, jika kita memakai wa'alaikumssalam otomatis alif-lam nya lenyap. Sedangkan kalau kita memakai wa'alaikumussalam itu yang lebih baik. Jika orang berkata, Assalamu'alaikum itu menggunakan alif-lam. Dan kita pun menjawabnya menggunakan alif-lam. Yaitu wa'alaikumussalam bukan wa'alaikumssalam. Karena kata wa'alaikumussalam jika di urai menjadi wa'alaikumu assalam. Ketika huruf mim bertemu dengan alif-lam, maka kata tersebut digabung dalam pengucapannya. Begitu Ndah setahu aku, wallahu’alam…” “Oh, begitu ya Li… Alhamdulillah, Sekarang aku paham.” “Ya sudah Ndah, aku pamit dulu ya. Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh Indah.” “Wa'alaikumussalam warohmatullohi wabarokatuh.” --- “Eh, anak kecil baru datang rupanya! Cepat sana masuk, yang lain sudah pada di dalam tuh!” sambut Fakhri atas kedatangan Lydia. “Ishhh… Kebiasaan deh panggil aku anak kecil! Mentang-mentang badan mu lebih besar! Awas aja ya, sekarang kamu ngeledek aku kecil. Nanti istri kamu lebih kecil dari aku! Atau anak kamu juga nanti lebih kecil dari aku! Lihat aja!” balas Lydia. “Eh Li. Jangan ngomong gitu, gimana kalau nanti istrinya Fakhri itu kamu?!” ujar Melani teman satu organisasi Lydia, yang baru datang dan melihat keributan yang dilakukan oleh Lydia dan Fakhri. “Ih AMIT-AMIT!!! Naudzubillah... jangan sampai ya Allah... kamu kalau ngomong ishh Melani!!!” “Hehe... aku kan cuma bilang ‘kalau’ Li... santai aja kali. Lagian kalian! Setiap ketemu pasti ribut!” “Ya habisnya, dia tuh ngeselin! Ngajak ribut terus!” gerutu Lydia. “Udah ah, aku mau masuk. Kamu mau masuk gak Mel?! Atau mau di sini nemenin si tiang listrik?!!” “Idih!! Sirik aja nih si kecil. Sok bilang tiang listrik segala. Emang yang sirik mah gitu ya! Padahal kan badan dia aja yang kecil. Badanku mah normal-normal aja.” “Udah-udah! malah ribut lagi! Ayo Li masuk!” ajak Melani pada Lydia, sekaligus menjadi penengah antara Lydia dan Fakhri. Lydia dan Melani pun memasuki ruangan yang biasanya dipakai rapat oleh para anggota organisasi Remaja Masjid. Meskipun Fakhri sering menggangu Lydia. Tapi hal itu ia lakukan untuk menutupi rasa gugupnya pada Lydia. Jujur, ia measa gerogi jika dekat dengan Lydia. Maka dari itu ia selalu mengganggu Lyida, bahkan sampai gadis itu kesal padanya. Dan itu malah semakin membuatnya tertarik pada gadis itu. Tapi dia belum mampu untuk menikah muda. Ia masih belum memiliki pekerjaan, bahkan lulus kuliah saja belum. Orang tua Fakhri sebenarnya sudah tau mengenai Fakhri yang menyukai Lydia. Dan mereka pun mengizinkan bila Fakhri hendak menikah di usianya yang masih muda. Untuk masalah pekerjaan, Fakhri bisa bekerja di perusahaan milik ayahnya.  Tapi Fakhri tidak ingin terburu-buru. Lagipula, kakaknya pun belum menikah. Ia berniat tidak akan melangkahi kakaknya. Dan rencananya setelah kakaknya menikah, ia akan segera melamar Lydia. Untuk menjadikannya pendamping hidup, karena sebentar lagi kakaknya akan melangsungkan pernikahan. Dan lagi, Fakhri pun tidak mau, jika seandainya nanti ia menikah muda namun masih belum mampu sepenuhnya. Ia takut bukannya malah membahagiakan keluarganya, malah justru menambah beban bagi keluarga mereka. --- Di dalam ruangan, sudah ada Azhar selaku ketua organisasi. Dan lagi, rapat ini memang di adakan sekaligus dengan acara sertijab. Karena sebentar lagi Azhar akan menjalani sumpah dokter dan akan menjadi Dokter. Bukan lagi mahasiswa Kedokteran. Lydia agak ragu untuk memasuki ruangan. Tapi, ia sudah berjanji dan bertekad pada dirinya sendiri. Ia akan melupakan perasaannya pada Azhar. Dengan mengucap Bismillah dalam hati. Lydia melangkah masuk ke ruangan rapat… Akhirnya, setelah semuanya dirasa sudah sesuai dengan keputusan bersama, rapat hari ini pun ditutup… “Lydia,” panggil Azhar, ketika ia akan meninggalkan ruangan. “Iya kak?” “Bisa kita bicara sebentar?” pinta Azhar. “Bicara apa ya kak? Apa ada hubungannya dengan organisasi?”  “Bukan. Ini sedikit pribadi. Bagaimana? Kamu bisa?” “In Sya Allah bisa kak. Mau bicara dimana ya kak?” tanya Lydia memastikan. Sampailah Lydia dan Azhar di taman kampus. Azhar sengaja memilih tempat itu, karena tempatnya cukup ramai dan supaya tidak timbul fitnah diantara mereka. “Ehm... Lydia. Saya mengajak kamu bicara di sini, karena saya ingin meminta bantuan pada kamu,” ungkap Azhar memulai pembicaraan. “Bantu apa ya kak? In Sya Allah kalau Lydia mampu. Akan Lydia usahakan.” “Syukurlah kalau begitu… ehmm, kamu shabatnya Indah kan? Pasti kamu pun tahu kalau sebentar lagi kami akan menikah?” JLEB. Jika tahu Azhar akan membahas perihal ini, lebih baik Lydia tidak menerima permintaan Azhar untuk meminta bantuannya. “Iya kak.” “Maka dari itu, saya mau meminta bantuan kamu untuk membimbing dia menjadi wanita yang lebih baik daripada dirinya yang sekarang. Ya setidaknya, bimbinglah dia menjadi lebih baik sebelum dia menjadi istri saya. Saya ingin kamu membimbing dia, terutama dalam cara berpakaian. Kamu tahu sendiri kan, bagaimana cara Indah berpakaian selama ini? Saat ini dia masih suka lepas pasang jilbab. Karena kamu sahabatnya, saya yakin kamu akan lebih mudah untuk menasihatinya. Saya sungguh serius untuk menjadikannya pelengkap iman saya. Dari sejak awal kami bertemu.” “Ya Allah andai wanita yang kak Azhar pilih itu hamba... Astaghfirullah. kuatkan hamba Ya Rabb”  batin Lydia. “Tapi, kedua orang tua saya ingin memiliki menantu yang berjilbab. Dan, saya sudah pernah meminta pada Indah secara langsung agar dia menutup auratnya dengan sempurna. Jawabannya pun masihsama, dia bilang masih belum siap. Maka dari itu saya meminta bantuanmu, karena kamu pasti bisa memberinya pengertian. Dan keadaanya sekarang, memang belum saatnya saya membimbing Indah secara langsung. Karena belum ada ikatan yang sah antara kami berdua.” “Apa karena ini Indah memutuskan untuk berjilbab? Tapi tak apa, mungkin kak Azhar adalah perantara bagi Indah agar menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya,” monolog Lydia di dalam hati. “In Sya Allah Lydia akan bantu kak. Kakak tidak perlu khawatir lagi. Soalnya, tadi Indah pun sudah meminta Lydia untuk menemaninya membeli pakaian muslimah. Dan sepertinya Indah pun juga mulai ingin berubah. Kakak hanya perlu sabar, karena sesuatu yang di paksakan itu gak baik kan kak?” “Benarkah Indah bilang seperti itu? Alhamdulillah... Saya bahagia mendengarnya Li... kalau begitu, saya mohon supaya kamu selalu membimbing dia ya Li. Karena saya tahu, kamu lah orang yang selama ini selalu bersama Indah.” “Iya kak, In Sya Allah pasti Lydia bantu. Tidak ada lagi yang mau dibicarakan kan kak? Kalau tidak, Lydia pamit, assalamu’alaikum.” pamit Lydia, lalu berlalu meninggalkan Azhar di taman kampus. Karena takut jika terlalu lama berbincang berdua dengan kak Azhar, malah akan membuatnya kembali mengharapkan pria itu. Lydia Ikhlas membantu Indah berubah menjadi lebih baik. Karena bagaimanapun juga, Indah adalah sahabatnya. Dan sahabat yang baik itu adalah ia yang sama-sama saling mengingatkan dalam hal kebaikan. Dan Lydia pun ingin persahabatannya dengan Indah tidak hanya di dunia, tapi sampai ke Jannah-Nya. In Sya Allah. Aamiin… “Wa'alaikumussalam,” jawab Azhar. “Andai kamu tau Li… aku sebenarnya lebih suka kamu yang menjadi istriku, menjadi pendamping hidupku. Tapi sayang, ada orang yang lebih mencintaimu dibandingkan aku. dan aku yakin, orang itu akan bisa lebih membahagiakanmu dibandingkan aku. Maafkan aku yang sudah menyerah untuk memperjuangkanmu,” gumam Azhar, sambil memandang punggung Lydia yang kian menjauh. Tanpa Azhar sadari, ternyata ada orang yang mendengar gumam-an Azhar barusan. “Jadi selama ini abang pun menyukai Lydia?!” tanya orang yang tiba-tiba menghampiri Azhar. Dan dia adalah Fakhri… “Fakhri?! Sejak kapan kamu di situ? Kamu menguping pembicaraan abang Ri?” “Iya! Aku ada disini sejak pertama kali kalian memulai pembicaraan. Fakhri dengar semua yang kalian berdua bicarakan, bahkan ucapan abang barusan pun dapat Fakhri dengar dengan jelas bang!” “Fakhri…” Sambil memalingkan wajah Fakhri meluapkan emosinya, “Fakhri gak nyangka abang bisa se-munafik ini! Kalau misalnya abang bilang dari awal bahwa abang pun menyukai Lydia, Wallahi Fakhri ikhlas bang, Fakhri ridho. Dan lihat apa yang malah abang perbuat? Abang malah mau menikah dengan wanita lain! Sadar gak sih bang? Abang itu sudah menyakit hati dua wanita sekaligus!” lanjutnya dengan emosi yang kian memuncak. “Fakhri. Kamu harus dengarkan penjelasan abang dulu Ri, abang melakukan ini semua supaya kamu bisa bersama dengan Lydia... abang tahu kalau kamu mencintainya. Dan kamu pun pernah bilang, kalau kamu tidak akan melangkahi abang untuk menikah lebih dulu. Maka dari itu, abang memutuskan untuk segera menikah. Supaya kamu bisa lebih cepat menghalalkan Lydia. Niat baik harus segera dilakukan Ri,” jelas Azhar. “Tapi, apa harus dengan cara seperti ini bang?! Sadar gak sih bang? Kalau abang sudah menyakiti hati mereka? Yang pertama, abang sudah menyakiti calon istri abang dengan mencintai wanita lain. Dan yang kedua, abang sebenarnya sudah tau kan? Kalau sebenarnya Lydia pun menyukai abang? Tapi, abang malah mau menikah dengan sahabatnya. Abang juga sudah membohongi diri abang sendiri! Abang itu munafik! Munafik! Bang!” cerca Fakhri yang masih tersulut emosi. “Dan asal abang tahu, salah satu alasan awal Fakhri menyukai Lydia adalah karena Fakhri pikir, abang gak suka sama dia. Fakhri pikir, cinta Lydia bertepuk sebelah tangan bang...” lanjut Fakhri. “Maaf Ri... tapi abang ingin melihat kamu bahagia. Dan abang juga melakukan ini demi membalas budi kedua orangtua kita, yang telah banyak membantu abang. Meskipun sebebarnya abang ini bukan anak kandung mereka,” Jelas Azhar. “Maksud abang apa?! Meskipun kita ini gak ada ikatan darah. Tapi Fakhri, abi, sama umi gak pernah meminta abang untuk membalas apa yang sudah kami berikan pada abang. Kami Ikhlas bang, karena abang itu bagian dari kami juga. Dan satu hal lagi, jangan pernah mengorbankan diri abang sendiri demi membuat orang lain bahagia. Fakhri gak suka bang, apalagi abang berkorban demi melihat Fakhri bahagia. Itu salah bang,” ungkap Fakhri sambil menatap Azhar. “Sekarang, apa yang mau abang lakukan? Abang masih akan melanjutkan pernikahan abang dengan Indah, meskipun abang mencintai perempuan lain? Atau abang lebih milih perempuan yang abang cintai dan membatalkan pernikahan kalian yang tinggal beberapa pekan lagi?”  “Ri... kamu dengar ya. Abang ikhlas melepas Lydia. Abang ridho asal kamu bahagia, dan abang yakin, abang pasti bisa mencintai Indah setelah kami menikah nanti. In Sya Allah... karena abang tahu cinta itu butuh proses.” “Apa abang mau menjadikan Indah sebagai pelampiasan?” “Wallahi Fakhri. Abang tidak pernah ada niatan untuk menjadikan Indah sebagai pelampiasan, abang memilih Indah In Sya Allah karena Allah. Abang memutuskan untuk menikah dengan Indah pun setelah abang melakukan sholat Istikharah. Dan In Sya Allah, pilihan abang sudah benar Ri. Untuk alasan kenapa abang memilih Indah, biarlah hanya abang dan Allah yang tau. Karena itu abang mohon, jika kamu memang berjodoh dengan Lydia, bahagiakan lah dia. Wallahi abang ikhlas, karena abang percaya pada kamu.” Fakhri tak menjawab ucapan Azhar. Ia justru dengan spontan merengkuh tubuh Azhar dan mendekapnya erat-erat. Ia seperti bocah yang baru saja dinakali oleh temannya, dan langsung dibela oleh sang kakak. Sambil sedikit terisak, Fakhri berkata, “Terimakasih bang... abang sudah merelakan orang yang abang cintai demi Fakhri. Fakhri gak tau harus bagaimana membalas pengorbanan abang…” “Kamu tidak perlu berterimakasih Ri. Ini semua sudah menjadi kewajiban abang, abang melakukan ini semua karena abang sudah bertekad pada diri abang sendiri. Bahwa abang akan berusaha semampu abang untuk bisa membahagiakan keluarga kita. Keluarga yang sudah secara tulus menyayangi abang, tanpa rasa pamrih sedikitpun. Harusnya abang yang berterimakasih. Karena jika tanpa abi dan umi, mungkin abang tidak akan menjadi seperti sekarang ini. Mungkin, abang sudah menjadi gelandangan dan menjadi manusia yang tidak bermoral. Dan juga terimakasih, kamu sudah menganggap abang sebagai abang kandungmu sendiri. Meskipun kamu sudah tahu kalau abang ini hanyalah anak hasil adopsi abi dan umi. Terimakasih Ri.” Fakhri pun membalas perkataan sang kakak, sambil menyeka air mata yang sempat membasahi pipinya, “Iya bang.” “Ya sudah kalau begitu, sekarang kita ke Masjid ya. Sebentar lagi dzuhur,” ajak Azhar. Fakhri hanya menganggukan kepalanya sebagai jawaban. Setelahnya, mereka pun bergegas untuk melaksanakan sholat dzuhur berjama'ah. Mereka berdua memang sejak kecil sudah di didik untuk selalu sholat berjama'ah di Masjid. Karena hukumnya wajib bagi laki-laki. Dan meskipun mereka bukan saudara kandung, mereka selalu di perlakukan adil oleh kedua orangtuanya. Orangtua mereka tidak pernah membeda-bedakan keduanya. Meskipun Azhar hanyalah anak yang di adopsi oleh orangtua kandung Fakhri, sejak usianya lima tahun. Karena kedua orang tua Azhar telah berpulang ke pangkuan ilahi, akibat kecelakaan tunggal. Dan dengan baik hati-nya, kedua orangtua Fakhri mengangkat Azhar sebagai putra mereka. Serta memberikan kasih sayang yang sama, seperti yang mereka berikan pada putra kandungnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD