Bagian 12

2497 Words
“Percayalah... Setiap yang Allah takdirkan untukmu, adalah memang yang Terbaik bagimu. Meskipun kau tak disandingkan dengan dia yang pernah kau nantikan dan kau harapkan selama ini. Karena sungguh, Allah lebih tahu mana yang Terbaik bagi hamba-Nya.” ~ litaps ~ Besok adalah hari paling bersejarah bagi Lydia dan Faris. Karena besok, mereka berdua akan melangsungkan pernikahan. Acara pernikahan yang mereka adakan memang tidaklah meriah dan megah, seperti pesta pernikahan pada umumnya. Karena, mereka hanya melangsungkan Akad nikah saja. Sementara resepsinya akan di adakan beberapa bulan kemudian, dikarenakan Faris sedang sibuk-sibuknya menjadi Dosen dan mengurus bisnis kafe dan restaurant yang salah satu cabangnya ada di kota Bandung. Tamu yang di undang pun hanya sanak saudara dan teman terdekat dari anggota keluarga Faris dan Lydia. Dan lagi, sebab ayah Faris dan Lydia adalah sahabat semasa sekolah menjadikan mereka untuk lebih cepat melangsungkan pernikahan. “Lili... kenapa belum tidur sayang? Besok kamu harus bangun pagi loh sayang. Kamu kan harus di rias,” jelas ibu Lydia yang melihat anaknya masih terjaga, padahal jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. “Lili belum bisa tidur bu.” “Harus tidur dulu sayang... ibu tahu kamu gugup, tapi kalau kamu kurang tidur, nanti matamu berkantung, dan kalau riasan nya jadi jelek bagaimana? Lili mau terihat cantik atau jelek dihadapan suami Lili nanti?” “Memangnya nanti Lydia akan di rias? Bukannya ini hanya akad nikah ya bu? Resepsinya kan masih beberapa bulan lagi?” “Sayang... meskipun hanya akad nikah, tapi kalian adalah pengantin. Dan sudah seharusnya di rias, kalau polos tanpa riasan. Nanti orang mengira Lydia tamu undangan bukannya pengantin.” “Hmm iya bu. Kalau gitu, Lydia pamit ke kamar ya,” pamit Lydia sambil beranjak menuju kamar. Tapi beberapa detik kemudian, ia kembali berbalik dan menatap dengan seksama apa yang tengah ibunya ini kerjakan. “Ibu juga kenapa belum tidur?” “Ibu kan sedang beres-beres sayang... sudah sana kamu tidur! Supaya besok gak kesiangan.” jawab ibu Lydia sambil membereskan barang yang belum rapi di bantu oleh sanak saudara Lydia yang memang menginap di rumah Lydia sejak kemarin. “Hmmm… iya Lydia ke kamar sekarang.” Hal itu pun membuat ibu Lydia geleng-geleng kepala, melihat tingkah anak gadisnya yang sebentar lagi akan menjadi istri orang. Sempat terlintas di pikirannya, apakah anak gadisnya ini sudah mampu menjadi seorang istri? Padahal sikap Lydia kadang belum sepenuhnya dewasa. Apalagi jika sudah bersama abangnya, pasti yang ada hanyalah pertengkaran kakak beradik yang berakhir dengan barang yang tergeletak bukan di tempatnya. Belum lagi dengan adiknya, kadang Lydia masih belum bisa mengalah pada sang adik. Padahal jarak usia mereka terpaut lumayan jauh. Tapi inilah takdir, sebentar lagi tanggung jawab Lydia akan berpindah tangan pada suaminya. Bukan lagi pada Tiara selaku ibunya, dan Salman Ayahnya. Tak terasa, buliran bening kini telah membasahi pipi Ibunda Lydia yang kini sudah mulai di hiasi kerutan halus karena usianya yang tak lagi muda. Hal itu, tak ayal membuat kakak ipar Tiara. Alias kakak kandung Salman membawa Tiara kedalam pelukannya. Karena bagaimanapun, dia sama-sama wanita jadi dia mengerti apa yang tengah dirasakan adik iparnya. “Sudah... jangan kamu tangisi anak gadismu itu. Ini memang sudah saatnya dia beralih tanggung jawab. Kamu tidak perlu khawatir, karena Lydia akan tetap menjadi putri-mu. Ia hanya akan berganti status menjadi seorang istri. Yang sepatutnya kamu lakukan adalah mendo'akan dia dan juga menasihatinya supaya kelak menjadi istri yang sholehah dan paham benar akan kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu dari calon anak-anaknya kelak. Kalau kamu menangis, apa Lydia akan senang jika di hari bahagianya melihat sang ibu yang malah menangis seperti ini? Tentu tidak kan?” Jelas Aminah, kakak perempuan Salman. “Iya mbak, maaf... tapi bagaimanapun juga ini rasanya seperti mimpi. Rasa-rasanya, seperti baru kemarin aku melahirkan Lydia. Tapi besok dia sudah resmi menjadi istri orang. Waktu begitu cepat berlalu. Semoga Lydia dapat menjadi istri sholehah dan juga ibu yang baik bagi anak-anaknya kelak.” “Aamiin, ya sudah. Sekarang kamu lebih baik ambil wudhu. Terus kamu istirahat, kamu kelihatannya sudah kelelahan. Karena dari tadi pagi kamu belum istirahat kan? Sana cepat ke kamarmu!”  Ibu mana yang tidak senang putrinya akan menikah? Itu juga yang Tiara lakukan untuk putri sulungnya, Lydia. Ia akan menyiapkan kebutuhan apapun dengan lengkap, agar acara bersejarah bagi putrinya itu bisa di selenggarakan dengan sebaik mungkin. Karena memang sudah merasa lelah, Tiara pun menuruti titah kakak iparnya. Dan memasuki kamar untuk beristirahat. --- Di dalam kamar, Lydia hendak memberitahu Indah soal kabar pernikahannya besok. Tapi sudah beberapa hari ini ponsel Indah sulit dihubungi. Dan Lydia yakin, pasti ini ada hubungannya tentang bulan madu yang pengantin baru itu lakukan. Karena, beberapa hari yang lalu. Indah sempat bilang, bahwa ia akan berlibur bersama suaminya selama beberapa hari. Dan untuk tempatnya, masih dirahasiakan oleh sang suami. Biar menjadi kejutan katanya. Itulah pesan terakhir yang Indah sampaikan sebelum keberangkatannya berlibur bersama sang suami. Dan hari ini pun, Indah masih belum bisa di hubungi. Mungkin liburan mereka belum berakhir. Maka dari itu, Lydia hanya akan melangsungkan akad nikah tanpa adanya Indah yang biasanya selalu bersamanya jika ada kegiatan atau hal-hal yang begitu penting bagi keduanya. Tapi bagaimana lagi, Indah sekarang bukan lagi anak gadis yang bebas bermain bersama siapa saja. Kini dia telah bersuami, dan apapun yang dia lakukan haruslah seizin suaminya. Dan Lydia paham akan hal itu. Biarlah Indah menikmati bulan madunya bersama Azhar. Dan Lydia pun tidak sendiri, ia masih punya ibu yang senantiasa menemaninya saat prosesi akad nikah nanti. --- Pagi hari pukul 04:00 WIB… Tuk tuk tuk!!! “Lydia sudah bangun belum nak? Ini sudah jam 4 subuh. Lydia sudah harus siap-siap!” titah ibu Lydia sembari menggedor kamar Lydia dari luar. “Hoammm... astaghfirullah, aku hampir kesiangan sholat tahajjud.” “Li… sudah bangun kan?” ucap ibu Lydia, sambil kembali mengetuk pintu kamarnya. “Iya bu… Lili sudah bangun! Ini Lili mau ambil wudhu dan sholat tahajud!” timpal Lydia dari dalam kamar. “Ya sudah, habis itu kamu cepat mandi! Sebentar lagi tukang riasnya datang!” “Iya bu…” --- “Ibu...” panggil Lydia, yang mencari sang ibu di ruang tengah. Setelah selesai melaksanakan shalat subuh di dalam kamar. “Iya sayang, ada apa?” tanya sang ibu, yang baru muncul dari arah dapur. “ibu… Lili lapar.” “Ya sudah kamu makan dulu! Tukang rias nya datang setengah jam lagi. Sehabis makan, kamu jangan lupa gosok gigi ya! Takutnya ada sisa makanan yang keselip nanti, waktu kamu ketawa,” goda ibu Lydia yang langsung membuat Lydia memajukan birbirnya percis seperti bebek. “Loh! Kok malah dimaju-majuin gitu bibirnya? Masa pengantin bibirnya kayak bebek?!” “Ishhh ibu! Godain Lydia terus ahhh! Udah ah, Lili lapar mau makan,” ucap Lydia, sambil berjalan ke arah meja makan. Dan, seperti yang ibunya katakan. Setengah jam setelah Lydia seleasai makan, tukang rias yang akan me-make over Lydia datang dengan membawa serangkaian alat make up yang akan di aplikasikan pada wajah Lydia. “Mbaknya alisnya di cukur dikit ya... biar agak rapi,” pinta si tukang rias pada Lydia. “Eh! Mohon maaf mbak. Tapi gak mau mencukur alis saya.” “Rasulullah salallahu'alaihi wassalam melaknat perempuan-perempuan yang mencukur alisnya atau minta dicukurkan alisnya.” (HR. Abu Daud sanad hasan, dalam Fathul Baari). “Oh, baiklah kalau begitu. Tapi kalau pakai bulu mata palsu boleh kan mbak?” “Hmmm, boleh. Asalkan bulu mata yang mbak pakaikan di mata saya, jangan bulu mata yang terbuat dari rambut asli ya mbak? Pakai yang terbuat dari bahan sintetis saja.” “Baik mbak, saya bawa semua jenis bulu mata palsu, jadi mbaknya tidak usah khawatir lagi.” Setelah beberapa menit berkutat dengan alat mek up dan gaun pengantin sederhana. Akhirnya Lydia sudah tampil cantik, dengan balutan make up sederhana dan gaun kebaya putih beserta hijab syar'i yang membalut kepalanya. “Ma Sya Allah... anak ibu cantik sekali hari ini,” ungkap ibu Lydia setelah memasuki kamar Lydia bersamaan dengan adik Lydia. “Wahhh ini kakak bu? Gak seperti biasanya ya bu, kakak kan biasanya gak pernah dandan?” ungkap adik Lydia yang pangling melihat kakaknya yang kini telah berbalut make up dan gaun pengantin. “Ishhh kalian ya! Lili memang sudah cantik kok dari dulu, kalian saja yang gak peka,” alibi Lydia menutupi rasa gugupnya. Karena tak dapat di pungkiri, perasaan Lydia kini tak karuan. Antara bahagia karena sebentar lagi akan menjadi seorang istri. Dan sedih karena harus meninggalkan rumah dan orang-orang yang ia sayangi. “Sayang, sekarang kamu keluar dulu ya sama abang. Ibu mau temani kakak sampai nanti mas Faris datang kemari,” titah ibu Lydia pada Erina putri bungsunya. “Gak mau! Eerina mau disini juga sama kakak sama ibu!” tolak Erina. “Ya sudah, tapi Erina jangan nakal! Jangan ganggu kakak oke?!” “Siap!” Kini, Faris beserta rombongan keluarganya telah sampai di kediaman Lydia. Hal itu pun semakin membuat jantung Lydia berdetak tak karuan, bahkan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya karena gugup. Ibu Lydia yang melihat kegugupan terpancar dari raut wajah dan gerak-gerik Lydia, mencoba menenangkan putrinya dengan memberi beberapa petuah tentang bagaimana nanti dia akan menjadi seorang istri. “Tidaklah orang mukmin mendapat keberuntungan sesudah taqwa kepada Allah azza wa jalla, yang lebih baik dari pada wanita yang shalihah. Ialah wanita apabila disuruh ia taat, apabila dipandang ia menyenangkan, apabila diberi bagian menyambut baik dan apabila suaminya tidak ada dia menjaga dirinya dan harta suaminya.” (HR. Ibnu Majjah). “Sayang, setelah menikah nanti. Kamu harus bebakti pada suami mu ya nak… karena ridho Allah untuk mu, kini terletak pada ridho suamimu.” “In Sya Allah bu. Lydia minta do'a nya ya bu, supaya bisa menjadi istri yang shalihah untuk suami Lydia,” ungkap Lydia sambil menggenggam erat tangan ibunya. “Aamiin... do'a ibu selalu menyertaimu nak...” lirih sang ibu sambil mngelus pucuk kepala puteri sulungnya yang berbalut jilbab berwarna putih yang menambah kadar kecantikan Lydia. Selang beberapa menit, terdengar lantunan surat Ar-Rahman yang dibacakan dengan suara yang begitu merdu dan tartil. Dan orang yang membacanya tentunya adalah Faris, calon mempelai pria. Ia membacakan surat Ar-Rahman, sesuai dengan permintaan Lydia beberapa hari yang lalu ketika ia ditanyai mengenai syarat dan mahar pernikahan. Setelah Faris selesai membacakan surat Ar-rahman, ijab qobul pun di mulai. Faris menggenggam tangan Salman, ayah Lydia. Diringi dengan degub jantungnya yang semakin kencang. Ini bukan hanya ijab qobul nya di hadapan para saksi, namun juga janji yang ia ikrarkan atas nama Allah. Ketika ia mengucap qobul atas nama Lydia, Arsy bergetar mendengar kesaksiannya. Dan saat ijab qobul terucap, tanggung jawab Lydia seluruhnya akan menjadi tanggungan Faris. Faris harus siap menerima segala risikonya apabila ia gagal menuntun Lydia menuju Rahmat Allah. Ijab qobul pun dimulai dengan ayah Lydia membacakan Basmallah, istighfar 3× dan syahadat beserta do'a yang artinya tiada daya selain pertolongan Allah. “Saudara Faris Hasan Sa'id Bin Ismail Al-Hasan. Saya Nikahkan dan saya Kawinkan Engkau, dengan Putri kandung saya. Yang bernama, Lydia Puspa Maharani Binti Salman. Dengan Maskawin, seperangkat alat sholat dan emas sepuluh gram. TUNAI.” “Saya terima Nikahnya dan Kawinnya. Lydia Puspa Maharani Binti Salman, dengan maskawinnya tersebut TUNAI.” “Sah?” “Sah!” “Alhamdulillah...” Do'a pernikahan pun dilantunkan oleh penghulu dan di aamiin kan oleh Faris dan para saksi yang menghadiri pernikahan Faris dan Lydia. ---- Setelahnya, dikamar Lydia... “Selamat ya sayang... kamu sekarang sudah menjadi seorang istri. Jadi istri yang sholehah ya nak,” lirih ibu Lydia sambil mendekap tubuh putri sulungnya. “Ibu tinggal dulu ya... sebentar lagi suami mu akan kemari. Ayo Erina! Kita keluar dari kamar kakak,” pamit ibu Lydia sambil mengajak putri bungsunya keluar dari kamar Lydia. Beberapa detik setelah ibu dan adik Lydia keluar dari kamarnya. Pintu kamar Lydia di ketuk dari luar. Lydia menduga, itu pasti Faris. Pria yang kini telah resmi menjadi suaminya. Dan benar saja, setelah Lydia membukakan pintu kamarnya. Faris tengah berdiri dengan gagahnya di depan pintu kamar Lydia. Faris terlihat bertambah kadar ketampanannya, dengan pakaian yang ia kenakan. Ia mengenakan jas berwarna hitam dan kopiah yang senada dengan warna jas nya. Tak lupa ia pun mengenakan kemeja putih yang terbalut oleh jas yang ia kenakan. Meskipun pakaian yang ia kenakan sangatlah sederhana, tapi tak mengurangi ketampanan yang ia miliki. Karena terlalu lama saling diam, Faris akhirnya mgeulurkan tangan kanannya pada Lydia. “Tidak mau kah kamu mencium tangan suami mu?” “Ahh, iya pak,” ucap Lydia sembari menyalimi tangan Faris dengan menempelkannya di kening, bukannya mencium tangan Faris. “Cium tangan, sayang...” decak Faris, karena merasa lucu melihat tingkah gugup istrinya yang malah menyaliminya layaknya pada seorang guru. Padahal seharusnya Lydia mencium tangan Faris. “Eh, i- iya pak,” balas Lydia sembari mengulang prosesi salimnya pada Faris. Tapi kali ini dengan mencium tangan Faris. Saat Lydia mencium tangan Faris, tangan sebelah kirinya mendarat di kepala Lydia --tepatnya di ubun-ubun Lydia-- sembari mulutnya merapalkan do'a untuk kebaikan pernikahannya bersama Lydia. “ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَمِنْ شَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ Allaahumma innii as-aluka khayraha wa khayra maa jabaltahaa 'alaihi wa a'uudzu bika min syarrihaa wa min syarri maa jabaltahaa 'alaihi Ya Allah sesungguhnya aku memohon kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan pada dirinya. Dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan apa yang Engkau ciptakan pada dirinya.” Lydia meng aamiin kan setiap do'a yang dipanjatkan oleh suaminya, Faris. Kemudian, Faris memejamkan mata sembari mengecup lembut kening Lydia. Lydia bahkan sampai meneteskan air mata haru atas perlakuan Faris padanya. Setelah acara selesai. Sekitar pukul dua siang, para sanak saudara dari kedua mempelai berkumpul di ruang tamu milik keluarga Lydia. Karena acara pernikahan Faris dan Lydia hanya akad nikah saja, maka tamu yang di undang hanya berkisar 50 orang. Itupun hanya sanak saudara dan para tetangga yang memang hadir untuk menjadi saksi pernikahan mereka berdua. Saat semua anggota keluarga sedang berkumpul dan saling bercengkrama, datanglah seorang gadis remaja. Gadis remaja itu berusia sekitar 17 atau 18 tahun. “Mas Faris!” ucapnya, seraya berhambur memeluk tubuh tegap Faris yang tengah duduk berdampibgan dengan Lydia. “Ma Sya Allah Hana! Kenapa kamu baru datang sih dek?! Kamu gak suka ya lihat mas-mu ini berbahagia?!” tanya Faris, sembari melonggarkan pelukannya berasama gadis remaja yang ternyata adik kandung Faris. Lydia yang belum tahu siapa gerangan gadis remaja yang dengan lancangnya memeluk suaminya itu, hanya mampu diam menyaksikan pemandangan yang membuat hatinya tak karuan itu. Tapi setelah Faris memanggil gadis itu dengan sebutan dek. Lydia menduga pasti itu adalah adik Faris. “Hana kurang semangat, jadi Hana agak terlambat datang kemari. Belum lagi, Hana ijinnya mendadak. Jadi telat datang kesini, sebenarnya, Hana bisa saja mengambil ijin dari beberapa hari lalu... tapi, itu berlaku kalau mas Faris menikah dengan mbak Zi-” “Apa maksud kamu Hana?! Jangan pernah lagi kamu sebut nama dia dihadapan mas atau istri mas lagi! Dia sudah bahagia bersama orang lain, dan mas pun sudah bahagia bersama istri mas sekarang. Kamu lebih baik istirahat dulu dan makanlah makanan yang tersedia di sini, kamu pasti lapar kan?” ucap Faris sambil memelankan suaranya. Karena takut Lydia akan mendengarkan percakapan antara kakak beradik itu. “Mas gak tau yang sebenarnya... mas hanya tau sedikit tentang mbak-” “Hana! Kamu belum berkenalan kan dengan kakak iparmu? Sekarang lebih baik kamu berkenalan dulu dengan dia. Selisih usia kalian tidak berbeda jauh. Kalian pasti akan lebih cepat akrab,” ucap Faris memotong kalimat yang akan diucapkan Hana. Dan mengalihkan pembicaraan. Hana pun, mau tak mau menuruti titah sang kakak dan mulai bercengkrama dengan Lydia. Yang kini telah menjadi kakak iparnya. “Salam kenal kak, namaku Hana Humaira Zahra. Kakak bisa panggil aku Hana, selamat ya atas pernikahannya. Kakak memang cantik, tapi tetap saja masih ada yang lebih cantik dari kakak. Dan akupun lebih setuju dia yang bersanding dengan kakak ku dibandingkan kamu,” ucap gadis bernama Hana itu, sambil berlalu pergi dari hadapan Lydia. Bagai tersambar petir di siang bolong. Hati Lydia yang mulanya bahagia atas pernikahannya dengan Faris dan keramahan keluarga Faris, kini rasanya seperti ada yang menyayat hati itu hingga berlumuran darah. Inikah yang dinamakan sakit tapi tak berdarah? Sungguh berbagai pertanyaan kini berputar di kepala Lydia. Dan pertanyaan utama yang ingin ia tanyakan adalah... siapa yang Hana maksud lebih pantas bersanding dengan Faris dibanding dirinya? Apakah masa lalu Faris? Entahlah. Hanya Allah yang tahu pasti jawabannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD