Bagian 8

1813 Words
“Setiap orang yang memiliki saudara kandung, pasti tak pernah lepas dari yang namanya pertengkaran. Tapi seiring berjalannya waktu, kita akan sadar bahwa saudara kandung adalah 'hadiah terbaik' yang orangtua berikan pada kita. Karena akan tiba masanya, dimana kita akan begitu merindukan kebersamaan ketika masih bersama dengannya.” ~ litaps ~ “Calon suami?” tanya Lydia memastikan, dan dibalas anggukkan oleh penjaga kassir. “Momen yang pas untuk tahu siapa nama pria itu” batin Lydia. “Ehmm, memangnya siapa namanya?” “Maaf mbak, kami dilarang memberitahu nama nya. Beliau hanya berpesan kalau dia adalah calon suaminya Lydia.” Hal itu pun, membuat Indah menahan tawa. Karena dia sudah tau, pasti Lydia memanfaatkan keadaan ini untuk mengetahui siapa pria yang telah melamarnya kemarin. Benar-benar misterius, pikir Indah. “Tapi kan mbak-” “Ya ampun Li... aku lupa hari ini itu aku harus fitting baju sama umi-nya kak Azhar dan mama. Dan, astaghfirullah… rupanya mama daritadi telponin aku. Tapi aku gak sadar.” “Terus gimana?” tanya Lydia. “Kita pulang sekarang yuk! Semuanya sudah dibayar sama calon suami mu si mister ius itu kan?” “Tapi aku kan-” “Ishhh ayok… aku udah telat Li.” --- Sesampainya di rumah… “Assalamu'alaikum,” salam Lydia sambil memasuki rumah. “Wa'alaikumussalam,” jawab ibu Lydia dari ruang tengah yang sedang mengajari adiknya mengerjakan tugas. “Sudah pulang Li... tumben sebentar, biasanya kan kamu kalau pergi suka lupa waktu,” celetuk seorang pria yang tengah duduk santai si sofa sambil memasukan cemilan ke dalam mulutnya. “Apaan sih?!” balas Lydia jengah, pasalnya kalau ia meladeni abangnya yang satu ini. Pasti akan ada keributan nantinya, dan Lydia sedang malas untuk beradu argumen dengan sang kakak. “Iya nih, kak Lili biasanya lama kalau main. Kok udah pulang aja sih?” timpal gadis kecil berusia sekitar 9 tahun an. Siapa lagi kalo bukan adik Lydia yang selalu berpihak pada abangnya. Dan selalu menuruti perkataan sang abang, tapi selalu melawan jika di beri tahu oleh Lydia. “Dasar anak kecil! Ikut-ikutan aja sih?!” “Sudah-sudah. Kalian ini, kalau ngumpul semua di rumah pasti saja ribut. Tapi kalau yang satu gak ada, pasti di cariin. Kamu juga dek, kerjain tugasnya. Bukannya malah ganggu kakak kamu.” Lerai ibu Lydia yang sudah pusing dengan kelakuan putra-putri mereka yang selalu ribut ketika sedang kumpul seperti ini. “Mereka duluan tuh bu, bukan Lili. Udah ah Lydia mau ke kamar aja.” “Hmm, jadi gini ya, kalau mau merried. Lebih sering menyendiri di kamar!” sang abang kembali menggoda Lydia. “Idih! Abang iri ya… makanya kalau udah suka sama perempuan tuh langsung temuin orangtua nya. Terus halalin deh! Ingat sama umur…” “Dasar! bukannya merayu abangnya gitu, mau ngelangkahin? Ini malah ngeledek.” “Suka-suka aku dong… Bye!” ucap Lydia sambil beranjak menuju kamarnya. “Abang, kalau bicara ya... makanya abang juga cari calonnya, biar cepat nyusul Lili. Umur abang juga kan sudah lumayan cukup untuk berkeluarga. Pekerjaan pun sudah punya.” “Ibu ini, memangnya gampang apa cari calon?” balas sang putra sambil beranjak menuju kamarnya. “Tuh kan, gimana mau dapat jodoh kalau selalu mengurung diri di kamar? Kalau pun keluar, pas mau berangkat kerja,” ucap sang Ibu sambil geleng-geleng kepala. “Ibu, yang ini gimana caranya?” “Ataghfirullah, maaf ya ibu lupa kalau lagi ngajarin adek ngerjain tugas. Mana sini dek, ibu lihat?”  --- Tak terasa Lydia sudah tidur selama tiga jam lamanya. Dan sekarang waktu ashar sudah terlewat. Ini pasti karena ia sedang tidak ada jadwal kuliah, jadi ia seharian di rumah. Dan kerjaan rumah pun sudah ia kerjakan sejak sehabis subuh tadi. Setelah selesai menunaikan sholat, pintu kamar diketuk. Lydia pun mempersilakan orang itu masuk, dan muncullah seorang pria yang kelihatannya tengah membutuhkan sesuatu. “Apaan?!” tanya Lydia sambil merapikan alat sholat. “Buat makanan sana! Ibu, ayah sama Erina lagi ke rumah budhe. Makanan tadi siang juga habis,” titah orang itu, yang tak lain dan tak bukan adalah Rafli abang kandung Lydia. “Punya tangan kan?! Buat sendiri aja sana aku mau istirahat!” “Istirahat?! Masih kurang memangnya tidur berjam-jam?!” balas sang kakak sambil menjitak kepala Lydia. “Aww! Sakit tau?!! Mau makanan kan? Itu kan nasi masih banyak!” “Ya kan, lauk nya gak ada Li!” “Bodo amat! Sana ah keluar! Udah nyuruh pake ngejitak lagi!” usir Lydia sambil memukuli abangnya menggunakan guling. “Abang janji deh akan kasih tambahan uang jajan. Gimana?” "Boleh juga nih aku manfaatin, uang saku ku kan udah menipis," batin Lydia dalam hati. “Okay, tapi upahnya dua kali lipat dari biasanya. Karena udah jitak kepalaku!” “Tuh kan! Dasar adek mata duitan!” umpat si abang dalam hati. “Iya deh iya. Cepat sana buat mie rebus pakai telur tapi kamu campur sesuatu yang biasanya kamu masukin kalau masak mie ya!” “Memang semua mie itu di rebus abang! Mie goreng juga gak di goreng kok masaknya, tapi di rebus. Berarti tukang mie goreng itu udah bohong, soalnya gak ada mie instan yang cara buatnya di goreng!” “Maksudnya mie kuah, Lili!” “Nah gitu dong, yang jelas kalau ngomong!” “Cepat sana bikin! Gak tahu apa abang mu ini lagi kelaparan?!” titah sang kakak yang mulai emosi. “Iya iya…” Setelah beberapa menit berkutat di dapur, akhirnya Lydia pun menyelesaikan masakannya dan langsung di bawa ke ruang tengah untuk di santap bersama abang nya tersayang. “Ambil mangkuk nya dong abang!” “Kenapa gak sekalian sih?!” “Ya gak papa sih kalau gak mau,” ucap Lydia sambil menjauhkan mangkok berisi mie yang telah di racik dengan sedemikian rupa oleh Lydia dari sang kakak. Rafli pun mau tak mau akhirnya beranjak menuju dapur menuruti keinginan adiknya. “Kalau kamu nikah, nanti gak ada yang buatin abang nasi goreng, mie goreng, sama mie kuah lagi dong ya, kalau abang lapar dan gak ada apa-apa di meja makan?” “Abang apaan sih? Lagian kan lamarannya juga baru besok. Nikahnya juga mungkin beberapa bulan lagi, sedih ya... mau di tinggal sama adek tercintanya yang cuantik ini?” “Dasar adek gak peka!” “Dih ngambek?! Lagian kan adek abang gak cuman satu. Kan masih ada Erina yang bisa di suruh-suruh kalau misalnya abang butuh sesuatu.” “Erina masih kecil Li, belum bisa di suruh masak!” “Makanya cari istri! Biar bisa abang suruh masak setiap hari!” “Abang serius Liliput! Nanti gak akan ada yang berantem sambil lempar-lemparan bantal lagi sama abang. Nanti juga gak ada yang bisa abang ledek bareng sama Erina lagi.” “Oh, jadi sedih karena orang yang kalian bully gak ada gitu?! Dasar abang tidak berperi ke kakak-an!” “Memang,” jawab si abang santai, “Oh iya. Memangnya kamu sudah tahu siapa pria yang melamar kamu? Kata ayah, kamu gak tau apa-apa tentang orang yang melamar mu itu?”  “Ya... belum sih, tapi kan besok pasti tahu.” “Abang harap siapapun yang akan menjadi suami kamu. Semoga dia itu memang yang terbaik untuk kamu, dan bisa menggantikan posisi ayah dan abang untuk menjaga kamu. Juga selalu bisa buat kamu bahagia,” ungkap sang kakak tulus. Ingin rasanya Lydia tertawa terbahak-bahak. Karena, tak biasanya abangnya ini bersikap seperti tadi. Biasanya kalo mereka sedang berdua begini pasti akan ada keributan. Apa jangan-jangan, sedang ada yang tidak beres dengan abangnya ini? Lydia perlahan mendekat ke arah abangnya, setelah itu ia menempelkan tangannya di kening sang kakak, “Gak panas kok.” Merasa risih dengan tingkah adiknya, sang kakak pun menyingkirkan tangan Lydia dari keningnya, “Apaan sih liliput?!” “Abang gak lagi sakit kan? Atau, abang semalam pulang lewat mana? Takutnya ada yang ikut abang sampai ke rumah!” ucap Lydia panik, sambil mulutnya berkomat-kamit membacakan ayat kursi. Takut-takut abangnya itu terkena sawan. “Ya ampun! Kok ada ya? Yang mau sama cewek aneh kayak kamu gini? Cantik juga gak cantik-cantik amat, mana pendek, cerewet, kadang oon pula, Astaghfirullahaladzim. Bahkan kata ayah, calon suamimu itu orangnya sholeh, hafidz lagi. Kok mau ya sama kamu? Semoga saja yang jadi suami kamu bisa sabar ya menghadapi adek abang yang satu ini,” ucap sang kakak setelah melihat mulut adiknya yang komat-kamit. Setelah kata-kata itu keluar dari mulut abangnya. Lydia jadi yakin, kalau yang ada dihadapannya ini memang benar abangnya. Karena abangnya memang selalu menyakitkan kalau sudah bicara, apalagi pada Lydia. Setelah yakin kalau abangnya ini tidak sedang sakit atau terkena sawan, Lydia yang kesal melempari abangnya dengan bantal sofa dan pergi meninggalkan sang kakak yang tertawa puas setelah membuat adiknya itu kesal. Karena abangnya pikir, mereka tidak akan bertengkar lagi seperti dulu. Lydia akan menjadi milik orang lain, posisinya pun sebentar lagi akan digantikan oleh suami Lydia kelak. Begitulah abang Lydia. Ia sangat menyayangi adiknya, tapi tak pernah langsung mengungkapkan. Memang sifat lelaki seperti itu kan? --- Setelah sampai di kampus, Lydia yang memang kelasnya di mulai sekitar setengah jam lagi memilih untuk pergi ke perpustakaan. Karena dia sedang halangan, jadi dia tidak sholat dhuha terlebih dahulu. Seperti biasa, ia memakai earphone dan mendengarkan murottal surat kesukaannya, yaitu surat Ar-Rahman. Dan Lydia juga berharap kelak ia akan mendengarkan calon suaminya nanti membacakan surat Ar-Rahman, sebelum menggucap ijab qobul atas nama dirinya. Ketika ia sedang membaca buku yang akan dia pelajari saat nanti di kelas. Ia sedikit kurang fokus, karena hari ini pria yang melamar Lydia akan datang ke rumah bersama keluarganya. Untuk mengadakan acara lamaran. “Ataghfirullahaladzim...” ucap Lydia berkali-kali untuk menenangkan pikiran dan hatinya. “Kalau pikiran kamu sedang tidak fokus, lebih baik kamu pulang saja. Daripada nanti tidak fokus saat mata kuliah saya, sebentar lagi kamu masuk kelas saya kan?” ucap seorang pria secara tiba-tiba. Yang tak lain adalah Dosen baru Lydia, Faris. Untungnya Lydia tidak punya riwayat serangan jantung. Kalau punya, mungkin dia sudah jantungan saat dosennya itu datang dengan tiba-tiba. “Eh, bapak... Assalamu'alaikum pak,” sapa Lydia ramah. Karena ia sudah bertekad pada diri sendiri bahwa ia akan bersikap ramah pada semua dosennya. Terutama dosen yang satu ini. Takutnya ia akan mampir lagi ke rumah Lydia dan membuat Lydia di beri petuah oleh ayahnya. Meskipun ketika mereka sudah berbincang, ayahnya bilang kalau tidak ada yang perlu di khawatirkan. Tapi tetap saja ia merasa was-was. “Wa'alaikumussalam,” jawab Faris dingin dan masih memilah buku yang ada di rak. Lydia merasa canggung karena di perpustakaan hanya ada Lydia, Faris, penjaga perpustakaan dan beberapa mahasiswa lain dan itupun jaraknya lumayan jauh dari Lydia. Biasanya Indah yang akan menjadi teman ngobrol Lydia, tapi karena Indah sedang tidak masuk hari ini. Akhirnya dia hanya sendirian di sini. Karena sebentar lagi kelas dimulai, akhirnya Lydia hendak keluar dari perpustakaan untuk menuju ke kelas. Tapi langkahnya terhenti saat dosennya itu memanggil namanya. “Eh kamu! Mau ke kelas kan? Sekalian bawa buku-buku ini, bantu saya.” “Saya pak?” tanya Lydia polos. “Yang nanti akan masuk kelas saya siapa lagi disini? Apa mbak penjaga perpus itu?” “Aihhh kan cuman nanya!” gerutu Lydia dalam hati. “Buku yang mana pak?” “Tuh,” jawab Faris sambil menunjuk ke arah tumpukan buku yang bisa di bilang cukup banyak. “Sebanyak ini?!” tanya Lydia tak percaya. “Iya. Kita bawa nya bagi dua, kamu sebagian dan sisanya saya,” balas Faris enteng. “Tapi pak, kan sekarang sudah jamannya gadget tuh pak. Dan banyak juga kan website yang lebih mudah kita akses. Kenapa masih pakai buku untuk referensi pak?” “Yang jadi dosen, saya apa kamu?” balas Faris dingin. “Iya pak, saya bawa bukunya.” Di perjalanan menuju kelas. Mereka saling diam dengan pikiran masing-masing. Faris pun berbicara hanya untuk menjawab salam dari beberapa mahasiswa atau mahasiswi yang berpapasan dengannya. Karena, meskipun dia dosen baru. Faris sudah cukup di kenal oleh penghuni kampus, selain karena mereka sudah mengetahui bahwa Faris adalah orang yang beberapa hari ini mengumandangkan adzan yang bisa di bilang merdu. Ia juga memiliki paras yang cukup tampan, bahkan kini ia menjadi idola para kaum hawa yang sedang dalam proses hijrah. Tidak sedikit yang mengharapkan dosen muda itu sebagai calon imam-nya. Setelah kelas usai, Faris meminta Lydia kembali membawa tumpukan buku itu ke ruangannya. Lydia pun hanya bisa patuh pada perintah dosennya itu. Saat mereka sudah sampai di ambang pintu ruangan Faris, mereka berpapasan dengan Azhar di koridor.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD