Bagian 7

2586 Words
“Sahabat yang selalu mengingatkanmu atas kesalahan yang telah kau perbuat, jauh lebih baik daripada dia yang selalu membelamu meskipun tahu itu salah, dan membiarkanmu tenggelam dalam lembah kemaksiatan.” ~ litaps ~ Hari ini, Lydia memenuhi permintaan Indah yang meminta untuk menemaninya membeli pakaian muslimah di salah satu toko pakaian langganan Lydia.  Tidak seperti orang-orang kaya yang membeli pakaian di mall-mall mewah atau di butik elit. Lydia terbiasa membeli pakaian di toko biasa. Karena baginya, yang terpenting bukan harga dari pakaiannya. Tapi kualitas dan pakaian apa yang ia kenakan, dan sebaik-baik pakaian adalah pakaian takwa. “Beli nya di sini Li? Gak di mall aja gitu sekalian?” tanya Indah ketika Lydia membawanya ke toko biasa yang tidak ada kesan mewahnya sama sekali. “Iya. Kamu bilang minta antar buat beli pakaian muslimah kan? Di sini itu tempat khusus untuk beli pakaian muslimah. Kalau di mall, nanti kamu malah beli yang lain-lain. Terus, beli pakaian muslimnya malah gak jadi.” “Hehe... iya juga sih. Ya sudah, kamu yang pilih ya?” “Kamu pilih saja sendiri, nanti kalau aku yang pilih takutnya kamu gak cocok sama selera aku. Lagian kan kamu jagonya kalau di bidang fashion, apalagi pakaian.” Karena memang benar. Indah selalu berpakaian modis kemanapun ia pergi, apalagi wajah Indah yang cantik sangat mendukung penampilannya. Namun sayang, Indah sangat jarang sekali memakai jilbab. Bahkan jika pergi bersama Lydia, bisa dihitung jari Indah mengenakan jilbab. “Iya sih, tapi kan kalau pakaian muslimah kayak gini kamu yang udah ahli. Aku gak tahu apa-apa kalau masalah pakaian kayak gini…” Akhirnya Lydia pun memilihkan beberapa set gamis beserta jilbab, ciput, handshock, dan kaos kaki untuk Indah. “Ya ampun Li... ini satu set kan? Kok banyak banget gini? Kamu setiap hari pakai ini semua? Kamu gak gerah apa?!” “Tuh kan, baru juga segini udah protes.” “Ishh, aku bukan protes Lili! Aku cuman nanya!” “Iya deh. Ya udah kamu cobain sana di ruang ganti!” titah Lydia. “Semuanya aku pakai? Ini banyak banget tau gak?! Lihat nih, ada ciput, sarung tangan, dan what?!! Apa harus paka kaos kaki juga?” “Iya Indah, semuanya kamu pakai ya... Kalau kaos kaki gak apa-apa gak kamu coba, nanti aja sekalian. Kan ini cuman baru nyoba, dan kenapa harus pakai kaos kaki? Karena kaki juga aurat. Paham?” “Hmmm... gak usah pakai ciput ya? Nanti aja sekalian sama kaos kaki, ya... ya... ya?” “Iya, tapi nanti kalau udah beneran nutup aurat, harus pakai ciput. Karena gunanya ciput itu supaya rambut kita gak keluar ketika pakai jilbab…” “Okay!” balas Indah sambil menuju ke ruang ganti… Beberapa menit kemudian, Indah keluar dengan wajah yang agak di tekuk. “Kenapa Nhdah?” tanya Lydia heran. “Aku kelihatan kayak ibu-ibu Li... lihat nih, kayak pakai daster ibu hamil.”  “Terus kenapa memangnya? Kan kita gak selamanya jadi gadis, kita nanti bakalan jadi ibu-ibu kan? Apalagi kamu, kan sebentar lagi nikah, dan sebentar lagi juga akan jadi ibu-ibu.” “Iya juga sih, jadi deg-deg an deh Li kamu ngungkit-ngungkit tentang nikah,” ungkap Indah dengan wajah menunduk. Dan kembali teringat akan pernikahannya dengan Azhar, yang tinggal menghitung hari. “Idih... ini beneran Indah sahabatku? Kok semenjak mau nikah jadi pemalu gini sih?” goda Lydia pada sahabatnya itu. “Ishh, apaan sih Li?! Aku gak mau yang warna ini ah Li, pilih yang lain aja ya?” “Ya sudah terserah kamu, tapi kamu pilih sendiri. Awas ya kalau nyuruh aku milih lagi. Nanti ujungnya malah gak cocok, terus gak jadi beli, milih aja terus sampai tokonya tutup.” “Iya deh iya. Yang ikhlas dong Li, kalau bantu teman.” “Ini juga ikhlas. Ikhlas banget malah!” “Yang ini bagus gak Li?” tanya Indah sambil membawa satu set gamis berwarna baby pink dan menunjukannya pada Lydia. “Bagus,” jawab Lydia. “Okay! aku coba ya!” ucap Indah sambil berlalu ke ruang ganti. “Gak cocok ah Li, aku mau ganti.” “Ganti lagi ah.” “Gak suka warnanya.” “Ini kelihatan kayak emak-emak.” “Indah! Ini yang terakhir kamu ganti. Kalau masih gak ada yang cocok juga, aku tinggalin kamu di sini! Sudah hampir satu jam kita di sini hanya untuk cari pakaian yang pas buat kamu.” “Yaaah… jangan marah dong Li… iya deh iya ini yang terakhir aku coba bajunya.” “Beneran yang itu? Itu kan yang tadi sudah kamu coba, tapi kamu bilang gak cocok?” “Iya beneran.” “Ya sudah, sekarang tinggal bayar ke kassir.” “Habis ini, kita mau kemana lagi?” tanya Indah setelah mereka keluar dari toko. Lydia melirik arloji yang ia kenakan di tangan kirinya, “Sebentar lagi sudah masuk Dzuhur, kita ke masjid dulu. Dekat kok dari sini.” “Okay.” “Li, aku mau tanya deh…” ujar Indah, ketika mereka sedang di perjalanan. “Tanya apa? Kalau aku bisa jawab ya aku jawab. Kalo enggak ya... gak aku jawab.” “Ih dasar!” “Ya udah sih mau nanya apa” “Habisnya kamu! Kayak gak peduli gitu, kenapa lagi sih Li?! Lagi ada masalah ya? Kayaknya daritadi kamu gak se ceria bisanya?” “Setiap orang pasti punya masalah Indah…” “Terserah!” “Dih, ngambek! Ya udah deh nanti aku ceritain masalah aku ke kamu sehabis sholat. Terus tadi katanya kamu mau nanya, nanya apa hmmm?” “Beneran ya nanti cerita habis sholat? Awas aja kalau bohong! Kamu kan yang selalu bilang kalau bohong itu dosa?!” “Iya Indah.” “Okay. Janji itu hutang ya Li... hutang harus di bayar!” ucap Indah sambil menuju ke bangku yang ada di dekat trotoar, “Duduk sini sebentar ya Li. Dzuhur nya masih lama kan?” “Boleh. Adzannya setengah jam lagi,” balas Lydia sambil ikut duduk di samping Lydia. “Ehmm, jadi gini. Aku mau tanya Li, bedanya jilbab, kerudung sama hijab itu apa sih? Aku masih bingung.” Lydia membenarkan posisi duduknya menghadap Indah, “Bismillah... aku jawab berdasarkan yang aku tau ya Ndah. Kalau menurut buku yang pernah aku baca, Jilbab itu berasal dari bahasa Arab, artinya pakaian lapang, dapat menutup aurat wanita, kecuali muka dan telapak tangan. Kalau Kerudung, itu artinya tudung atau kerudung yang menutup kepala, leher, sampai d**a. Nah, kalau Hijab, dari bahasa Arab, artinya tabir atau dinding penutup,” jelas Lydia. “Oh. Terus kalau cadar? Dan kalau cadar itu memakai nya sunnah ya?” “Cadar itu, kain penutup muka atau sebagian wajah wanita, hingga mata saja yang nampak. Memakai jilbab atau mengenakan kerudung itu hukumnya wajib. Sedangkan hijab atau tabir itu hukumnya sunat bagi wanita mukminat. Adapun purdah maupun cadar serta sarung tangan, syari'at Islam tidak mewajibkan hal itu. Islam hanya mewajibkan pemakaian jilbab atau kerudung saja. Tapi dalam beberapa mahzab, cadar itu termasuk sunnah mu’akad. Atau sunnah yang di anjurkan. Karena di takutkan, karena kecantikan seorang wanita dapat menjadi sumber fitnah bagi para lelaki ajnabi. Hal ini pun berlaku juga kalau seandainya ada wanita yang mohon maaf, buruk rupanya. Dan dia malu jika nanti di perolok-olok oleh manusia, maka boleh juga mengenakan cadar, sebagai bentuk perlindungan dirinya.” “Ma Sya Allah, jadi begitu… terus purdah itu apa?” tanya Indah yang masih penasaran. “Purdah itu, seperti pakaian luar atau tirai yang berjahit,” jawab Lydia. “Kayak cadar gitu?” “Iya. Kurang lebih seperti itu.” “Li… aku mau nanya lagi nih,” ucap Indah agak ragu. “Tanya apa?” “Ehmmm, sebenarnya ini udah lama sih pengin aku tanyain sama kamu. Tapi aku ragu…” “Iya, apa Indah?” “Kenapa sih semenjak kamu tahu kalau memakai jilbab bagi wanita muslimah yang sudah baligh itu wajib hukumnya, kamu jadi jarang banget lepas jilbab kamu. Bahkan jilbab yang kamu pakai semakin lebar. Kamu gak mau apa tampil seperti wanita kebanyakan? Mereka kan pada bangga tuh memamerkan kecantikkan dan kelebihan yang mereka punya. Kamu gak mau seperti mereka?” “Gini ya Ndah… semenjak aku tahu kewajiban yang harus aku laksanakan, semakin aku paham bahwa Islam itu sangat memuliakan wanita. Wanita muslimah Allah perintahkan untuk menutup auratnya, karena Allah ingin menaikkan derajat wanita. Aku bisa saja memamerkan kecantikkan dan kelebihan yang aku punya, tapi untuk apa aku berperilaku seperti itu kalau akhirnya nanti hanya jadi bahan bakar api neraka? Makanya, kita itu sebagai wanita harus bisa menjaga izzah(2) dan iffah(3) kita. Biarlah kecantikkan dan kemolekkan tubuh kita hanya bisa dinikmati oleh orang yang memang memiliki hak sepenuhnya atas diri kita. Yakni suami kita.” “Ya Allah… aku bersyukur sekali Li, bisa dipertemukan dengan sahabat seperti kamu.” Indah merengkuh tubuh mungil Lydia ke dalam pelukannya. “Alhamdulillah… ya sudah, sekarang kita ke asjid yuk, sebentar lagi adzan dzuhur.” Mereka pun kembali ke tujuan utama mereka setelah keluar dari toko, yaitu menuju Rumah Allah. Dimana di dalam sana tidak memandang kasta, jabatan dan pangkat. Semua yang berada di sana derajatnya sama di mata Allah, hanya amal mereka lah yang membedakannya. “Li! Mana? katanya mau cerita?!” tagih Indah, setelah mereka selesai sholat. “Kalau habis sholat jangan langsung berdiri, dan merapikan mukena. Ada baiknya kita ber istighfar dulu tiga kali, baca tasbih, tahmid dan tahlil 33 kali. Lanjut baca ayat kursi. Karena dengan begitu, kita akan senantiasa mengingat Allah. Dan hati kita akan jadi lebih tenang.” Indah pun hanya mengembuskan napas pasrah. Dan merapikan kerudungnya yang sedikit berantakan setelah memakai mukena. “Sudah selesai kan? Ayo dong cerita!” “Cerita apaan coba?!” “Ishhh memang dasar nih orang, baru aja tadi aku bersyukur punya sahabat kayak kamu. Sekarang malah mau bikin aku menyesal udah kenal orang kayak kamu.” “Hehe... gak sabar banget ya sahabat ku yang satu ini....” ledek Lydia. “Au ah. Cepetan kenapa sih Li?! Daritadi kamu tuh selalu mengalihkan pembicaraan!” “Ya sudah, aku cerita. Jangan ngambek dong... kalau kamunya ngambek, aku gak jadi cerita aja deh!” “Ya udah cepetan ceritanya!” “Kamunya malah ngambek gini kok?!” “Tuh kan! Ya udah, kalau gak ikhlas cerita juga gak papa…” ucap Indah jengah. “Kamu sekarang beda Li, sekarang kamu selalu memendam semuanya sendiri. Biasanya kamu selalu cerita apa pun sama aku kalau kamu lagi ada masalah. Tapi sekarang kamu berubah. Apa kamu gak suka aku mau menikah dengan kak Azhar?” “Astaghfirullahal’adzim, Indah... kenapa kamu malah bicara begitu? aku tadi cuma bercanda kok. Aku janji bakalan cerita sama kamu… tapi jangan di sini ya, kita cari tempat lain. Ya?” bujuk Lydia. “Awas aja kalau gak jadi lagi,” sewot Indah sambil mendahului Lydia keluar Masjid. “Jadi kita mau kemana?” tanya Indah akhirnya setelah membisu beberapa saat. “Biasanya kan kamu yang tahu tempat yang enak untuk ngobrol? Jadi kamu yang tentuin aja ya Ndah?” Indah pun mulai berpikir dimana tempat yang nyaman untuk mereka ngobrol, “Ehmm, di salah satu kafe dekat sini aja gimana? Katanya sih ada kafe yang baru buka, dan katanya juga lagi hits belakangan ini. Gak terlalu jauhh kok.” “Okay lah!” Mereka pun menuju salah satu kafe yang lokasinya lumayan dekat dari tempat mereka saat ini. Dan sesampainya di sana, sesuai dengan permintaan Indah. Lydia pun menceritakan apa yang sedang dia pikirkan saat ini. Yakni tentang lamaran dari seorang pria kemarin. Dan yang membuat Lydia bingung salah satunya adalah karena dia sendiri belum diberi tahu oleh kedua orangtuanya tentang siapa pemuda yang telah melamarnya kemarin. “Oh seperti itu... ku kira, cuma aku yang dilamar mendadak. Eh ternyata sahabatku juga sama ya? Di lamar mendadak. Tapi masih mending aku sih, aku kan udah tahu siapa yang melamar. Sementara kamu? Belum tahu siapa yang melamar.” “Ishh, kalau tahu respon kamu gini, lebih baik aku gak usah cerita! Bukannya ngasih solusi malah ngeledek!” ucap Lydia kesal. “Ya udah maaf… sensi banget sih kamu.” “Gimana dong Ndah? Aku bingung, kata ayah dia itu pria yang baik dan sholeh. Ayah juga berharap aku menerima lamaran dia. Tapi waktu aku tanya orang itu siapa, ayah malah bilang 'besok lusa kamu akan tau siapa pria itu'. Huh...” jelas Lydia, yang di akhiri embusan napas pasrah di akhir kalimatnya. “Ya, seperti yang kamu bilang ke aku waktu aku curhat tentang lamaran kak Azhar yang mendadak ke aku, 'ini semua takdir' yang sudah Allah rencanakan untuk kamu.” “Jadi, aku terima aja lamaran dia gitu? Aku kan belum kenal sama dia…” “Memangnya yang sudah kenal lama sudah pasti jodoh? Terus yang baru bertemu mustahil untuk berjodoh? Gak, kan Li?! Kamu sendiri kan yang bilang sama aku waktu itu, waktu aku putus dari pacar aku yang udah pacaran hampir 3 tahun. Kamu bilang gini, 'itu tandanya dia bukan jodoh kamu Ndah, dan dia bukan yang terbaik untukmu. Makanya, aku bilang juga apa? Gak usah pacar-pacaran segala. Kalau memang berjodoh, sama orang yang belum pernah kita kenal sebelumnya terus mendadak ketemu juga bisa. Kalaupun bukan jodoh, meskipun sudah kenal, dan pacaran sampai bertahun-tahun pasti ujungnya pisah. Karena itu yang namanya takdir. Kita gak tahu pasti, kita hanya bisa menjalani sekenario yang sudah Allah buat untuk kita'. Aku masih ingat loh Li, semua yang kamu bilang waktu aku putus dari dia, gak usah di sebutin lagi deh namanya. Kemakan omongan sendiri kan kamu?!” JLEB benar apa yang dikatakan Indah, Lydia termakan omongannya sendiri saat dia memberi petuah pada Indah saat putus dengan mantan pacarnya. “Apa ini ya, yang namanya mulutmu harimau mu? Aku yang waktu itu bilang sama kamu kalau jodoh bisa saja debgan orang yang bahkan belum pernah kita kenal sebelumnya. Dan sekarang, aku yang di lamar sama orang yang belum aku ketahui.” “Ya sudah. Sekarang kamu lebih baik tenangin diri kamu dulu. Jangan mengambil keputusan saat hati kamu sedang gelisah. Nanti malah kamu mengambil keputusan yang salah. Dan ingat ya Li! Penyesalan akan datang di akhir, kalau di awal namanya pengenalan. Dan aku gak mau nanti sahabatku ini menyesal di akhir, setelah mengambil keputusan yang akan sangat berpengaruh dalam hidupnya.” “Indah…” rengek Lydia yang langsung mendekap tubuh Indah, dan menangis dalam pelukan Indah. “Hey, kok malah nangis sih?! Dasar cengeng! Mana nih Lydia yang selalu ngasih aku semangat hmm?!” “Makasih Indah udah kasih aku solusi, meskipun masih belum buat aku tenang sih...” “Iya deh iya. Masih mending aku kasih solusi, meskipun kamu belum puas sama solusi aku. Tapi setidaknya aku sudah kasih kamu saran,” balas Indah, “udah dong ah pelukannya, kamu gak malu apa di lihat banyak orang? Nanti mereka berpikiran yang enggak-enggak lagi!” Lydia pun melepaskan pelukan mereka dan kembali duduk di kursinya. “Pesanan kita kok belum datang-datang ya Ndah?” “Tuh kan, suka lupa sama ucapan sendiri. Siapa ya yang suka mengingatkan kalau hidup itu harus sabar? Eh malah yang bilang sendiri yang gak sabaran.” “Hehe maaf deh. Kan namanya juga manusia, tempatnya hilap dan salah.” “Khilaf Li, bukan hilap. Hilap mah poho nyaho(4) ?” “Nah itu tahu… Indah, makasih ya kamu selalu ada saat aku butuh kamu, semoga persahabatan kita gak hanya di dunia ya Ndah. Aku harap persahabatan kita bisa sampai ke syurganya Allah.” “Aamiin, harusnya aku yang mengucapkan banyak terimakasih sama kamu. Kamu yang selalu mengingatkan aku kalau aku salah, kamu itu sudah seperti penasihat pribadi aku Li. Ya... meskipun setelah kamu menasihati orang lain, kamu sering lupa sama ucapan kamu sendiri. Tapi aku bahagia punya sahabat seperti kamu Li.” “Memang itu tugasnya sahabat kan? Harus saling mengingatkan. Aku juga beruntung punya sahabat seperti kamu Ndah, setiap aku lupa dengan ucapanku sendiri saat memberi nasihat pada orang lain, kamu yang selalu mengingatkan aku. Terimakasih…” “Tapi Ndah, kenapa tadi kamu tiba-tiba merasa aku gak senang dengan pernikahanmu? Apa ada sesuatu yang buat kamu berpikiran seperti itu sama aku?” tanya Lydia yang kembali teringat kejadian di Masjid tadi. “Eh itu… maaf Li, aku tadi keceplosan dan asal ngomong karena kesel sama kamu yang selalu ngalihin pembicaraan. Gak usah kamu masukin hati ya… maafin aku…” “Iya Indah, gak papa. Aku juga minta maaf ya sudah buat kamu kesal tadi?” Tanpa mereka sadari, sedari tadi saat mereka tengah berbincang. Di sudut kafe ada seseorang yang tengah memperhatikan mereka berdua. “Ini pak kopi nya,” ucap salah satu pelayan cafe pada orang itu. “Terimakasih, tunggu! Kamu lihat dua wanita itu kan?”  “Yang duduk di meja paling ujung pak?” “Hmm, salah satu dari mereka itu calon istri saya. Jadi, kalau misalnya mereka hendak membayar. Kamu bilang saja, sudah di bayarkan oleh calon suami dari Lydia.” “Baik pak,” ucap si pelayan, sambil berlalu meninggalkan atasannya. “Eh tunggu dulu!” cegah orang itu. “Iya pak?” “Kalau misalnya mereka bertanya siapa nama saya. Bilang saja calon suaminya Lydia.” “Kenapa memangnya pak?” “Kamu masih mau bekerja di sini?” “Baik pak.” Akhirnya, pelayan itu menuruti permintaan atasannya. Karena dari nada bicaranya, sudah terlihat jelas akan menjurus kemana kata-kata atasannya itu. Setelah selesai menyantap hidangan di kafe, Lydia dan Indah memutuskan untuk pulang. Tapi sebelumnya, mereka pergi ke kassir untuk membayar pesanan mereka. “Mbak, jadi semuanya berapa ya?” tanya Indah, pada penjaga kassir. Setelah memberikan struk total pesanan yang mereka makan. “Oh, semuanya gratis mbak. Karena sudah di bayarkan oleh calon suaminya Lydia.” Sontak Lydia pun membelalakkan matanya. “Calon suami?!” tanya Lydia memastikan, dan dibalas anggukkan oleh penjaga kassir. (2) izzah = kehormatan wanita sebagai seorang muslimah. (3) iffah = bagaimana dia menjaga kesucian dirinya dengan menjadikan rasa malu sebagai pakaiannya. (4) Hilap mah poho nyaho = hilap itu lupa, tau?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD