Bagian 6

2102 Words
“Rencana Allah tiada yang tahu. Kita mungkin bisa menduga-duga, tapi hanya Allah-lah yang tahu pasti. Ikuti saja alurnya dan nikmati prosesnya, karena Allah adalah Dzat yang Maha mengetahui. Dan sekenario terbaik itu hanyalah sekenario yang Allah buat untuk para makhluk-Nya.” ~ litaps ~ Kini, Faris dan Lydia telah sampai di rumah yang bisa dibilang sederhana. Dengan nuansa abu yang menjadi warna dasarnya. Lydia memang bukan dari kalangan orang kaya, ayah dan ibunya hanyalah seorang pegawai kantor biasa. Kakaknya pun juga sama, hanya seorang pegawai kantor, dan belum memilik jabatan apa-apa di kantor tempatnya bekerja. Tapi Lydia selalu bersyukur bisa berada di tengah-tengah keluarganya ini. Keluarganya begitu harmonis, meskipun hidup dengan sederhana. Lydia selalu di ajarkan untuk tetap bersyukur atas segala apapun yang telah Allah berikan pada hamba-Nya. Setelah sampai di depan rumah Lydia. Dia menepikan motornya terlebih dahulu, lalu menuju ke mobil sang dosen yang sedari tadi mengikutinya dari belakang. Lydia mengetuk kaca mobil dosennya itu, hingga sang pemilik mobil pun membuka kaca jendelanya. “Ini rumah Lydia pak, sekarang udah tau kan?” “Bagaimana saya mau percaya itu rumah kamu, kamu saja parkir motornya di luar. Bisa saja kan kamu berbohong sama saya.” Nampaknya, Faris masih meragukan Lydia. “Oh. Bapak masih gak percaya?! Okay… lihat ya, Lydia masuk ke rumah Lydia. Lydia gak suka bohong loh ya…” “Oh. Jadi gak suka bohong ya? Terus, yang waktu di ruangan saya ngumpet dan suruh bilang ‘gak ada’ kalau ada yang nyari itu apa kalau bukan bohong?” ujar Faris, membawa-bawa peristiwa beberapa waktu lalu. “Ya, ya… ya-itu kan Lydia lagi kepepet. Ishh bapak, kenapa ngingetin kejadian waktu itu segala sih?! Kan itu udah lama!” geutu Lydia. Yang hanya ditanggapi oleh senyum manis oleh sang dosen. “Okay… Lydia mau membuktikan, kalau ini memang benar rumah orang tua Lydia. Karena Lydia kan masih numpang sama orang tua. Hehe…” “Hmmm… Ya sudah, kalau begitu buktikan!” tantang Faris, sembari tersenyum. “Okay!” balas Lydia sambil kembali menaiki motor dan memasuki halaman rumahnya.  Faris pun kembali masuk ke dalam mobilnya dan mengikuti Lydia memasuki rumah yang ada di hadapan mereka itu. Setelah Lydia turun dari motor, Faris pun keluar dari mobilnya. “Gimana? Bapak sekarang sudah percaya kalau ini memang rumah Lydia?” “Masih belum. Kalau kamu sudah masuk ke rumah dan memanggil kedua orangtua kamu. Baru saya percaya ini rumah kamu.” “Huh... untung dosen kan. Kalau bukan, udah aku apain kali ya nih orang!” gumam Lydia sambil melangkah masuk menuju rumahnya. “Saya dengar loh u*****n kamu barusan. Ingat, Dosen itu yang memberi kamu ilmu, jangan suka mengumpat sama Dosen, nanti ilmunya gak nyerep loh di otak kamu!” “Hehe... maaf deh pak. Bapak silakan masuk, Lydia panggilkan orangtua Lydia dulu,” ucap Lydia ramah, karena merasa malu sudah ketahuan mengumpat oleh dosennya ini. Faris pun memasuki rumah Lydia berasamaan dengan Lydia yang menuju ke dalam rumahnya untuk memanggil kedua orangtuanya, sesuai dengan permintaan Faris. Tapi, baru saja Lydia hendak menuju ruang tengah. Orangtuanya sudah lebih dulu menyambutnya. “Eh, anak ibu sudah pulang. Kayaknya kamu gak sendiri Li? Ada siapa di ruang tamu?” tanya Ibu Lydia. “Iya bu, Lydia gak sendiri. Itu di depan ada Dosen Lydia, katanya mau bicara sama ibu dan ayah,” ucap Lydia sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Karena takut Ayahnya akan menyangka kalau dia ada masalah di kampus. “Kenapa Dosen kamu sampai ke sini?! Apa kamu buat masalah di kampus? Iya?! Ingat Lydia! Kamu itu ke kampus untuk menuntut ilmu, bukan untuk cari masalah. Makanya, kalau niat kuliah jangan kebanyakan tingkah… Jadinya begini kan?! Sampai Dosennya datang ke rumah. Awas saja kalau masalahnya parah! Ayah gak akan mengizinkan kamu kuliah lagi. Lebih baik kamu di rumah saja. Daripada kuliah cuman untuk main-main!” Dan benar saja, sebelum tahu tujuan kedatangan Dosennya kemari. Ayahnya sudah lebih dulu memarahinya. “Ayah… jangan langsung mikir negative seperti itu… siapa tahu dosennya Lydia cuma mau silaturahmi kan?” “Semoga saja. Ayah mau temui dia dulu, ibu nanti susul ayah ke ruang tamu.” “Iya yah. Ya sudah, Lili buat minum sama bawain camilan buat Dosennya ya... ibu mau nyusul ayah dulu,” ucap sang Ibu, lalu berlalu ke ruang tamu bersama ayah Lydia. Lydia hanya mengangguk dan beranjak ke dapur untuk menyiapkan minuman dan camilan, seperti perintah ibunya tadi. --- “Lili... kok lama sih buatin minuman nya?” tiba- tiba Ibu Lydia sudah berada di dapur dan menanyakan camilan dan minuman yang harusnya sudah ia buat. “Eh ibu. Tadi Lydia ada panggilan alam dulu bu, daripada di tahan ya kan? Hehe…” Ibu Lydia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Melihat kelakuan anaknya yang satu ini. “Ya sudah. Mana sini minuman sama camilannya? Biar Ibu saja yang bawa ke ruang tamu.” Saat Ibunya hendak keluar dari dapur, Lydia mencegahnya “Eh, bu…”  “Iya Li? Ada apa?” “Ehm... pak Dosennya bicara apa aja, bu?” Sambil menghela napas, dan tersenyum, sang ibu menjawab, “Nanti juga Lili akan tahu sendiri. Ibu gak nyangka ya, anak ibu sekarang sudah besar.” Kening Lydia mengkerut, tak paham dengan ucapan sang Ibu. “Maksud ibu apa sih? Lili gak ngerti.” “Nanti Ibu jelaskan, setelah bawa camilan ini ke tamu. Takutnya nanti tamu nya keburu pulang.” Tapi beberapa detik setelahnya sang Ibu berbalik. “Kamu ganti baju saja sana, terus istirahat, ya…” “Tapi gak ada masalah kan bu?” tanya Lydia khawatir. “Enggak sayang… Kamu istirahat saja sana,” titah sang Ibu sambil berlalu menuju ruang tamu. “Huh... sebenarnya ada apa sih?! Bikin penasaran aja!” kesal Lydia, kemudian beranjak dari dapur dan menuju ke kamarnya. --- Sesampainya di kamar, Lydia masih tak bisa tenang. Ia terus saja mondar mandir di dalam kamarnya dan sesekali duduk, lalu berdiri lagi. Hingga akhirnya pintu kamarnya diketuk oleh seseorang, Lydia pun mempersilakannya masuk. CKLEK Setelah pintu kamar di buka, nampaklah sosok yang sangat Lydia sayangi. Sosok yang selalu menjadi idola Lydia, sosok yang tidak pernah menyakiti Lydia. Cinta pertama bagi putrinya, dia adalah Salman. Ayah Lydia. “Ayah masuk ya sayang,” ucap sang ayah, sebelum memasuki kamar anak gadisnya, lalu duduk di tepi ranjang Lydia. “Iya yah.” Lydia masih belum beranjak dari posisinya yang masih berdiri di dekat pintu. “Kok kamu malah berdiri di situ? Sini, ayah mau bicara,” ujar sang ayah, sambil menepuk pinggiran kasur. Dan mengisyaratkan agar Lydia duduk disitu. Lydia pun duduk di samping ayahnya, sambil masih merasa gugup. Apa lagi setelah tadi sang ayah sempat memarahinya. Tapi sekarang, nampaknya tidak ada aura kemarahan pada ayahnya ini. “Putri ayah sekarang sudah besar ya... ayah gak nyangka kalau kamu akan tumbuh secepat ini, rasanya baru tadi pagi kamu minta ayah gendong di bahu ayah. Tapi kenyataannya, putri ayah ini sebentar lagi akan menempuh kehidupan baru nya. Sebentar lagi, putri kecil ayah akan meninggalkan ayah.” Dan tak terasa, buliran bening itu kini sudah dengan lancangnya membasahi pipi sang ayah. “Ayah kok nangis? Lydia buat salah ya, yah? Maafin Lili yah kalau Lili ada salah... Lili gak akan pergi dari sini kok yah, Lili sayang sama ayah, ibu, adik sama abang. Kalau Lili buat masalah di kampus, Lili gak papa kok yah gak kuliah lagi. Tapi ayah jangan marah sama Lili…” Lydia pun terbawa suasana lalu menangis di pelukan sang ayah. “Sayang… kenapa malah nangis sih nduk? Ayah gak mau ya, lihat putri ayah ini sedih. Kalau putri ayah sedih, ayah gagal dong jadi ayah yang baik.” Lydia pun melepas pelukannya dari sang ayah. “Enggak. Ayah gak gagal jadi ayah yang baik. Lili yang sudah gagal jadi putri yang baik untuk ayah, Lili sudah buat ayah marah. Lili belum bisa membuat ayah bangga anak seperti Lili…” ungkap Lydia di sertai deraian air mata yang masih terus mengalir membasahi pipi lembutnya. “Sttt... sudah dong jangan nangis lagi. Maaf kalau tadi ayah sudah marah sama kamu, tanpa tahu penjelasan yang sebenarnya. Sudah ya jangan nangis lagi...” Lydia pun menangguk dan menyeka air mata yang membasahi pipinya. “Anak gadis ayah sekarang sudah dewasa. Sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk untuk dirinya. Sayang... kalau seandainya ada seorang pria yang baik agama serta akhlaknya ingin meminang kamu, apa kamu mau menerimanya sebagai imam yang akan membimbing mu sampai akhir hayat nanti?”  Pertanyaan ayahnya barusan, tentu saja membuat Lydia bingung. “Maksud ayah?” “Maksudnya… ada seseorang yang memintamu langsung pada ayah, untuk menjadikanmu pelengkap iman-nya. Dan ayah tidak bisa langsung mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya, karena yang akan menjalani semuanya adalah kamu. Maka dari itu, ayah ingin bertanya pada putri ayah ini. Apakah kamu sudah siap untuk menempuh hidup baru bersama pria yang In Sya Allah akan membimbing kamu menjadi istri yang sholehah?” “Tunggu… memintaku menjadi pelengkap iman? Apa maksud ayah, aku baru saja di lamar oleh seorang pria?” gumam Lydia dalam hati. “Apakah benar seseorang yang ayah bilang ingin menjadikan Lydia sebagai pelengkap iman-nya itu mencintai Lydia karena Allah? Bagaimana kalau dia hanya berbohong dihadapan Ayah?” tanya Lydia. “In Sya Allah. Dia pria yang baik, dan dia pun akan mencintai kamu karena Allah. Ayah sendiri yang menguji kejujurannya.” Ayah Lydia pun teringat kejadian ketika ada pemuda yang mengkhitbah putrinya langsung dihadapannya…. “Assalamu'alaikum pak bu. Maaf sebelumnya, kalau kedatangan saya kemari menganggu kalian,” ucap seorang pria, dengan sopan pada sepasang suami istri yang kini sudah tak lagi muda. “Wa'alaikumussalam…” jawab mereka, lalu mempersilakan tamunya itu duduk. “Ehmm, begini. Maksud dan tujuan kedatangan saya kemari ialah, saya ingin mengkhitbah putri kalian yang bernama Lydia. Saya ingin menjadikannya penyempurna agama saya, pelengkap iman saya. Dan Ibu bagi anak-anak kami kelak,” jelas pemuda itu. Nampaknya, sepasang suami istri yang merupakan orang tua Lydia itu masih bingung. Pasalnya, mereka belum mengenal pria yang kini dengan beraninya melamar putri mereka. Tapi satu yang pasti, pria ini tidak main-main dengan putrinya. Pria ini benar-benar serius pada putri mereka. Dia berani meminta putrinya langsung kepada kedua orangtuanya, tak seperti kebanyakan pemuda zaman sekarang. Yang hanya berani menjumpai putri orang diam-diam, tetapi jika di suruh untuk datang ke rumah si perempuan mereka akan berkata belum berani, takut, dan masih banyak lagi alasannya untuk tidak bertemu dengan orang tua si perempuan. “Bu, ayah mau berbicara berdua dengan pemuda ini. Ibu sebainya ke dapur dulu temui Lydia,” pinta ayah Lydia pada sang istri. Ibu Lydia pun mematuhi perintah suaminya dan beranjak pergi menuju dapur. “Begini nak, sebelumnya saya belum pernah mengenal kamu. Dan saya juga ingin tahu, kenapa kamu yakin ingin menjadikan putri saya sebagai pelengkap iman-mu. Padahal di luar sana masih banyak wanita yang jauh lebih cantik dari putri saya, yang jauh lebih sholehah dari putri saya pun banyak. Apa kamu benar-benar yakin, ingin meminang putri saya, Lydia?” tanya Salman, pada pemuda dihadapannya. “Bismillah… In Sya Allah, saya mencintai putri bapak karena Allah. Saya tidak melihat putri bapak dari parasnya, karena bagi saya kecantikan itu tidak hanya dilihat dari fisiknya saja tapi hatinya. Memang banyak wanita yang lebih sholehah di luar sana. Tapi saya memilih putri bapak, bukan hanya asal-asalan pak. Sebelumnya, maaf. Saya sudah lancang, saya selalu memikirkan putri bapak. Dia selalu hinggap dalam pikiran saya, meskipun kami ini belum kenal terlalu lama. Tapi setelah saya melaksanakan sholat Istikharah selama beberapa hari ini. Akhirnya kini saya meyakinkan diri saya untuk mengkhitbah putri bapak, setelah bapak menerima khitbah saya. In Sya Allah lusa, saya akan membawa serta keluarga saya. Untuk melamar Lydia secara resmi,” ungkap pemuda itu yakin.  “Baiklah, saya tunggu kedatanganmu besok lusa. Saya belum bisa menjawab khitbah darimu, karena putri saya lah yang akan menjalaninya. Jadi dia yang berhak menjawabnya. Tunjukanlah bahwa kamu memang tidak main-main dengan putri saya!” balas Salman, setelah menyimak apa yang telah di utarakan oleh pemuda yang hendak meminang putri-nya itu. “Baik pak, lusa saya akan kembali ke sini. Bersama keluarga saya!” “Saya percaya padamu. Tapi, sebelum kamu melamar putri saya secara resmi. Saya tidak akan memberitahukan perihal siapa kamu, dan permintaanmu untuk mengkhitbah Lydia. Apa kamu keberatan?” “Tidak pak. Tidak sama sekali, apa pun keputusan bapak dan Lydia In Sya Allah akan saya terima.” “Baiklah kalau begitu. Tunggu sebentar, saya panggilkan istri saya dulu.” “Silakan pak.” Datanglah Salman bersamaan dengan sang istri dari dalam dapur sembari membawa camilan bagi tamunya itu. “Di minum dulu nak.” “Terimakasih bu.” Kata pemua itu, sambil menikmati hidangan yang tersaji dihadapannya. Setelahnya, mereka sedikit berbincang, sebelum akhirnya si pemuda pamit dari rumah mereka. “Bu, pak, kalau begitu. Saya pamit pulang dulu... In Sya Allah, lusa saya akan kembali ke sini menepati janji saya,” pamit pemuda itu. “Baiklah nak, kami tunggu kedatanganmu.” “Baik kalau begitu, Assalamu'alaikum....” Salam si pria sambil beranjak dari duduknya menuju ke arah pintu. “Wa'alaikumussalam...” jawab sepasang suami istri itu bersamaan. “Ayah mohon, kamu pertimbangkan lamaran pemuda itu baik-baik ya nak. In Sya Allah, ayah ikhlas jika harus melepasmu untuk bersama dengannya. Kalaupun kamu masih ragu, sholat istikharah lah nak. Minta yang terbaik pada Allah. Tapi ayah lebih senang jika kamu mau menerima pinangan pemuda itu.” “Memangnya, siapa pria yang telah melamar Lydia yah? Apa Lydia kenal orang itu?” “Kamu lebih dulu mengenalnya sebelum kami sayang. Dan kalau kamu mau lebih tau lagi siapa yang telah melamar kamu, besok lusa ia akan kemari lagi bersama keluarganya. Kamu akan tahu orang itu besok sayang,” jelas sang ayah. “Apa gak boleh tahu sekarang yah? Lili penasaran…” rengek Lydia. “Kamu hanya perlu sabar sayang, tunggu lah hingga besok lusa,” ujar sang ayah menenangkan. Lalu beranjak dari duduknya dan keluar dari kamar Lydia. “Ayah tinggal ya. Ingat, minta petunjuk pada Allah, supaya apa yang kamu pilih memanglah yang terbaik untuk diri kamu, kaluarga kita, dan juga untuk kebaikan agama mu.” “Iya yah…”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD