Alena berdiri di depan cermin besar di kamarnya, menatap bayangannya sendiri yang terlihat rapuh namun juga mulai menunjukkan ketegasan. Rambut panjangnya tergerai, sebagian menutupi wajahnya yang tampak sedikit lelah. Malam ini, bintang-bintang mulai bermunculan di langit, namun pikirannya tidak bisa tenang.
Dia teringat percakapannya dengan Fay di tepi Danau Roa. Tentang dunia yang terasa besar dan membingungkan, tentang ketakutannya yang selama ini ia pendam. Tapi lebih dari itu, Alena mulai menyadari bahwa sebagian besar kebingungannya berasal dari sesuatu yang telah tertanam sejak lama — doktrin yang terus mengikatnya tanpa ia sadari.
Ketukan pelan di pintu menyadarkan Alena dari lamunannya. "Masuk," katanya tanpa menoleh.
Fay muncul dari balik pintu dengan senyum kecil di wajahnya. Dia mengenakan sweater abu-abu yang terlihat nyaman. "Aku tahu kau pasti belum tidur," katanya sambil berjalan mendekat.
Alena menghela napas, menatap bayangannya sendiri di cermin. “Bagaimana aku bisa tidur kalau pikiranku terus berputar seperti ini?”
Fay mendekat, berdiri di samping Alena, ikut menatap pantulan mereka di cermin. “Apa yang kau pikirkan?”
Alena terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Pernahkah kau merasa… seperti apa yang kau yakini selama ini ternyata salah? Seolah-olah hidupmu dibentuk oleh sesuatu yang bukan benar-benar keinginanmu sendiri?”
Fay menoleh, memperhatikan ekspresi Alena yang tampak serius. “Maksudmu?”
Alena berbalik, menatap Fay langsung. “Sejak kecil, aku selalu diajari untuk menjadi anak yang baik. Aku harus sopan, patuh, tidak boleh melawan. Aku harus mengikuti aturan, menuruti semua harapan yang diberikan padaku. Tapi… aku merasa seperti hidup dalam sangkar. Aku melakukan semua itu bukan karena aku ingin, tapi karena aku takut mengecewakan orang-orang di sekitarku.”
Fay menatap Alena dengan lembut. “Aku mengerti.”
Alena tersenyum pahit. “Aku pernah berpikir kalau hidup ini sudah ditentukan. Kalau aku melenceng sedikit saja dari jalur yang mereka tetapkan, aku akan dianggap gagal. Tapi sekarang aku mulai bertanya-tanya… apakah hidup memang harus selalu mengikuti jalur yang sudah dibuat orang lain?”
Fay duduk di tepi tempat tidur Alena, mengusap lipatan kain di bawahnya. “Terkadang kita memang tumbuh dengan doktrin yang tidak kita sadari. Orang tua kita, guru, lingkungan — semuanya membentuk cara kita berpikir dan bertindak. Tapi itu bukan berarti kita tidak punya hak untuk menentukan jalan kita sendiri.”
Alena duduk di samping Fay, menyandarkan kepalanya di bahunya. “Aku hanya takut… bagaimana kalau aku membuat keputusan yang salah?”
Fay tersenyum tipis, mengusap rambut Alena dengan lembut. “Setiap orang pasti pernah membuat kesalahan, Alena. Tapi kau tidak akan pernah tahu mana yang benar atau salah kalau kau tidak pernah mencoba.”
Alena terdiam. Kata-kata Fay menyusup ke dalam pikirannya, menyentuh bagian terdalam dari hatinya yang selama ini terikat oleh rasa takut dan ketidakpastian.
“Kau tahu,” Fay melanjutkan, “Kau tidak harus hidup untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Kau punya hak untuk membuat pilihanmu sendiri. Dan kalaupun nanti kau terjatuh, kau bisa bangkit lagi.”
Alena mengangkat kepalanya, menatap Fay dengan sorot mata yang lebih tegas. “Bagaimana kalau orang-orang tidak bisa menerima keputusanku?”
Fay tersenyum. “Kau tidak bisa menyenangkan semua orang, Alena. Tapi selama kau jujur pada dirimu sendiri, itu sudah cukup.”
Alena menatap lurus ke depan, merasakan beban yang selama ini menekan dadanya mulai berkurang. Dia tidak harus menjadi sempurna di mata orang lain. Dia tidak harus terus-menerus menjadi sosok yang sesuai dengan ekspektasi orang lain.
Dia bisa bebas.
“Jadi,” kata Fay sambil menatap Alena, “apa yang akan kau lakukan sekarang?”
Alena menghela napas, lalu tersenyum. “Aku rasa… aku harus mulai menjalani hidupku dengan caraku sendiri.”
Fay mengangguk puas. “Itu baru Alena yang kukenal.”
Malam itu, Alena memandang langit dari jendela kamarnya. Bintang-bintang berkelip lembut di kejauhan, menciptakan pemandangan yang tenang dan damai. Untuk pertama kalinya, Alena merasa tidak terikat oleh doktrin yang selama ini membelenggunya.
Dia tahu, ke depan mungkin akan ada tantangan baru, ketidakpastian yang menunggu. Tapi kali ini, dia siap menghadapinya. Dengan hatinya sendiri. Dengan jalannya sendiri.
Karena akhirnya, Alena menyadari bahwa hidup tidak selalu tentang memenuhi ekspektasi orang lain. Hidup adalah tentang menemukan kebebasan dalam diri sendiri — kebebasan untuk memilih, untuk jatuh, untuk bangkit, dan untuk terus berjalan meski tanpa peta yang jelas.
Dan Alena tahu, dia tidak sendirian. Fay akan selalu ada di sisinya, menjadi teman di setiap langkah yang ia ambil.
Dengan senyum tipis di bibirnya, Alena berbisik pelan pada dirinya sendiri, “Aku siap.”