Keesokan harinya, Alena duduk di tepi Danau Roa, tempat yang selalu menjadi pelariannya ketika pikirannya terasa penuh. Angin pagi yang sejuk menerpa wajahnya, menciptakan riak kecil di permukaan danau. Sinar matahari yang lembut memantul di atas air, menciptakan kilauan yang menenangkan.
Alena memejamkan mata, membiarkan pikirannya mengalir bebas. Tapi ketenangan itu tak bertahan lama.
“Ternyata kau di sini.”
Suara yang sudah dikenalnya membuat Alena membuka mata. Fay berdiri di belakangnya, tangan di saku jaketnya, menatapnya dengan senyum kecil.
“Apa kau mencariku?” tanya Alena, suaranya terdengar datar.
Fay berjalan mendekat, lalu duduk di samping Alena. “Aku khawatir kau akan menghilang.”
Alena tertawa kecil, meski tidak sepenuhnya terdengar ringan. “Aku memang ingin menghilang… tapi sepertinya itu tidak mungkin.”
Fay menatapnya, matanya menyelidik. “Apa yang kau pikirkan?”
Alena menarik napas dalam-dalam, menatap jauh ke arah danau. “Aku memutuskan sesuatu tadi malam.”
“Oh?”
“Aku akan berbicara dengan Ayah,” kata Alena, suaranya mantap. “Aku tidak bisa terus hidup seperti ini — terus-menerus memenuhi keinginannya tanpa pernah bertanya apa yang sebenarnya aku inginkan.”
Fay mengangkat alisnya. “Kau yakin?”
Alena mengangguk pelan. “Aku tahu ini mungkin akan menyakitkan… mungkin Ayah akan kecewa atau marah. Tapi aku tidak bisa terus berpura-pura.”
Fay tersenyum tipis. “Kau tahu, aku selalu percaya kalau kau lebih kuat daripada yang kau kira.”
Alena menoleh, menatap Fay dengan mata penuh ketidakpastian. “Tapi bagaimana kalau aku gagal?”
Fay menatapnya dalam-dalam. “Lalu kau bangkit lagi. Kau tidak sendirian, Alena. Aku akan selalu ada di sini.”
Alena terdiam, jantungnya berdebar pelan. Ia tahu Fay tidak pernah mengucapkan sesuatu yang tidak sungguh-sungguh. Di dalam ketidakpastian yang ia hadapi, kehadiran Fay adalah satu-satunya hal yang terasa nyata dan stabil.
Alena menarik napas panjang. “Baiklah. Aku akan melakukannya.”
Fay tersenyum, lalu berdiri dan mengulurkan tangannya ke arah Alena. “Kalau begitu, ayo kita pergi.”
“Ke mana?”
“Temui ayahmu.”
Alena menatap tangan Fay sejenak, lalu menyambutnya. Fay menariknya berdiri, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Alena merasa ringan.
---
Setengah jam kemudian, Alena berdiri di depan pintu ruang kerja ayahnya. Tangannya gemetar saat hendak mengetuk pintu. Fay berdiri di belakangnya, memberikan tatapan penuh dukungan.
“Kau bisa melakukannya,” bisik Fay.
Alena menarik napas dalam, lalu mengetuk pintu. Dari dalam terdengar suara berat ayahnya. “Masuk.”
Alena menelan ludah, lalu mendorong pintu dan masuk. Ayahnya duduk di belakang meja, mengenakan setelan rapi seperti biasa. Tatapan matanya tajam saat memandang Alena.
“Ada apa?”
Alena menutup pintu perlahan, lalu berdiri di tengah ruangan. Kakinya terasa lemas, tapi ia memaksakan dirinya untuk tetap tegak.
“Ayah…” Suaranya terdengar pelan, namun mantap. “Aku ingin bicara.”
Ayahnya meletakkan pena di atas meja, menatap Alena dengan pandangan serius. “Aku mendengarkan.”
Alena menelan ludah. Hatinya berdebar, tapi ia tahu ini saatnya. “Selama ini… aku selalu berusaha menjadi seperti yang Ayah inginkan. Menjadi anak yang patuh, sopan, mengikuti semua aturan Ayah tanpa pernah bertanya kenapa.”
Tatapan ayahnya mengeras, tapi Alena melanjutkan, “Tapi aku mulai sadar… bahwa aku hidup bukan untuk memenuhi harapan orang lain. Aku ingin membuat keputusan sendiri. Aku ingin menjalani hidup dengan caraku sendiri.”
Ayahnya terdiam, menatap Alena tanpa ekspresi. Alena merasa jantungnya hampir meledak karena ketegangan, tapi ia memaksa dirinya untuk tetap menatap lurus.
“Aku tahu mungkin Ayah akan kecewa,” lanjut Alena, suaranya mulai bergetar. “Tapi aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ekspektasi Ayah. Aku ingin menemukan jalanku sendiri, bahkan kalau itu berarti aku harus gagal.”
Ruangan itu terasa sunyi. Alena bisa mendengar detak jantungnya sendiri.
Setelah beberapa saat, ayahnya berdiri, berjalan mendekatinya. Alena menahan napas, bersiap menghadapi kemarahan atau kekecewaan.
Namun yang terjadi justru di luar dugaannya.
Ayahnya menghela napas panjang, lalu mengangkat tangan dan menyentuh bahu Alena dengan lembut. “Aku… tidak pernah bermaksud mengekangmu, Alena,” katanya pelan. “Aku hanya ingin kau memiliki kehidupan yang baik.”
Alena menatap ayahnya dengan mata melebar.
“Tapi kalau kau merasa ini bukan jalanmu,” lanjut ayahnya, “aku tidak akan menghalangimu.”
Alena nyaris tidak percaya dengan apa yang ia dengar. “Jadi… Ayah tidak marah?”
Ayahnya tersenyum tipis — senyum yang jarang sekali ia tunjukkan. “Aku bangga padamu karena berani berkata jujur. Itu tidak mudah.”
Alena merasakan sesuatu yang hangat mengalir di dadanya. Perlahan, ia tersenyum. “Terima kasih, Ayah.”
Saat keluar dari ruangan itu, Alena merasa beban di dadanya menghilang. Fay menunggunya di luar, dan saat Alena menghampirinya, Fay menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Bagaimana?” tanya Fay.
Alena tersenyum lega. “Aku berhasil.”
Fay tertawa pelan, lalu merangkul bahu Alena. “Aku tidak pernah meragukanmu.”
Alena menatap Fay, lalu menatap langit yang biru di kejauhan. Dia tahu hidupnya tidak akan selalu mudah, tapi kali ini, dia tidak takut lagi.
Karena kali ini, dia tahu jalannya sendiri.
Dan dia tidak sendirian.
Alena menatap langit senja yang mulai menggelap, bayangan cahaya oranye memudar di balik cakrawala. Pikirannya masih dipenuhi dengan percakapan terakhirnya dengan ayahnya — sebuah kejujuran yang akhirnya ia keluarkan setelah sekian lama. Namun, di balik rasa lega itu, muncul pertanyaan baru yang mulai menggumpal di benaknya. Jika selama ini hidupnya dibentuk oleh aturan dan harapan orang lain, maka siapa dirinya sebenarnya di luar semua itu? Apakah ia mampu berdiri sendiri tanpa bayang-bayang ekspektasi yang selama ini mengikatnya? Alena sadar, menemukan jalannya sendiri baru saja dimulai — dan untuk pertama kalinya, ia merasa penasaran tentang apa yang akan ia temui di depan sana.