Masyarakat dan kepribadiannya

1488 Words
Hari itu, Alena memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian di pusat kota. Langkah kakinya pelan, menyusuri trotoar yang ramai oleh lalu-lalang orang-orang yang sibuk dengan dunianya masing-masing. Suara kendaraan, obrolan para pejalan kaki, dan sesekali tawa anak-anak yang berlarian di taman menciptakan harmoni tersendiri yang terasa asing namun menenangkan bagi Alena. Sejak perbincangannya dengan ayahnya, Alena merasa ada beban yang terangkat dari dadanya. Tapi di saat yang sama, perasaan kosong mulai mengisi ruang yang kosong itu. Selama ini, hidupnya dipandu oleh harapan dan aturan dari orang lain — lalu sekarang, setelah ia memutuskan untuk menentukan jalannya sendiri, ia mulai bertanya-tanya: Apa sebenarnya artinya hidup sebagai dirinya sendiri? Alena berhenti di sebuah kafe kecil di tepi jalan. Ia memesan secangkir teh dan duduk di meja dekat jendela, memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang di luar sana. Ada sekelompok pelajar yang tertawa sambil memotret makanan mereka, seorang ibu muda yang sibuk menenangkan bayinya di kereta dorong, dan seorang pria tua yang duduk sendirian di bangku taman dengan tatapan kosong ke kejauhan. Mengapa mereka terlihat begitu mudah menjalani hidup? pikir Alena. Apakah mereka benar-benar tahu apa yang mereka inginkan, atau mereka juga hanya mengikuti arus seperti yang kulakukan selama ini? Pikirannya terhenti ketika seorang gadis berambut pendek duduk di meja di sebelahnya. Gadis itu tampak seumuran dengannya, mengenakan jaket jeans dan celana hitam. Dia menatap Alena sekilas sebelum tersenyum. “Sendirian?” tanya gadis itu. Alena mengangguk pelan. “Ya. Kau?” Gadis itu tertawa kecil. “Aku juga. Aku sering ke sini untuk mengamati orang-orang. Menarik melihat bagaimana mereka bertingkah.” Alena menatap gadis itu dengan rasa ingin tahu. “Maksudmu?” Gadis itu menyesap kopinya sebelum menjawab. “Lihat orang-orang di luar sana,” katanya sambil menunjuk ke arah trotoar yang ramai. “Masing-masing dari mereka punya alasan untuk bertindak seperti itu. Tapi kalau kau perhatikan lebih dalam, mereka tidak sepenuhnya bertindak atas keinginan mereka sendiri.” Alena menyipitkan mata. “Apa maksudmu?” Gadis itu tersenyum samar. “Sebagian besar perilaku kita adalah hasil dari pengaruh masyarakat. Kita berpakaian seperti ini karena tren. Kita tertawa, menangis, dan bereaksi dengan cara tertentu karena sejak kecil kita diajari bahwa itu adalah cara yang benar untuk berperilaku.” Alena terdiam, menyadari bahwa ucapan gadis itu memiliki kebenaran yang sulit dibantah. “Jadi… kau ingin mengatakan kalau kita sebenarnya tidak pernah benar-benar bebas?” Gadis itu mengangkat bahu. “Mungkin. Tapi bukan berarti kita tidak bisa mencoba menjadi diri kita sendiri. Masalahnya, kebanyakan orang bahkan tidak menyadari kalau mereka sedang terikat oleh norma dan ekspektasi masyarakat.” Alena menatap jendela, melihat seorang anak kecil yang sedang menangis karena balonnya terlepas ke udara. Sang ibu berusaha menenangkannya dengan janji bahwa mereka akan membeli balon yang baru. Alena bertanya-tanya, sejak kapan manusia mulai diajari untuk menerima kehilangan dengan cara seperti itu? “Jadi… bagaimana caranya kita bisa benar-benar menjadi diri sendiri?” tanya Alena pelan. Gadis itu tertawa kecil. “Itu pertanyaan sulit. Tapi mungkin jawabannya bukan tentang melawan masyarakat sepenuhnya, melainkan tentang memahami batasan mana yang pantas diikuti dan mana yang bisa kita tinggalkan.” Alena mengangguk pelan. Ia mulai menyadari bahwa hidup dalam masyarakat memang berarti mengikuti aturan yang telah ada — tapi itu tidak berarti ia tidak bisa memilih mana yang ingin diikuti dan mana yang ingin dilepaskan. Gadis itu berdiri, mengambil kopinya yang tinggal setengah. “Aku harus pergi,” katanya sambil tersenyum. “Ngomong-ngomong, namaku Lira.” “Alena,” jawab Alena sambil mengulurkan tangan. Lira menyambut jabat tangannya. “Senang bertemu denganmu, Alena. Semoga kau bisa menemukan caramu sendiri dalam menghadapi dunia ini.” Alena menatap Lira yang berjalan keluar dari kafe, menyisakan keheningan yang menenangkan. Tatapan Alena kembali tertuju pada orang-orang di luar jendela. Ia mulai menyadari bahwa setiap orang memiliki caranya sendiri dalam menavigasi kehidupan di tengah aturan dan harapan masyarakat. Dan mungkin, menemukan dirinya sendiri tidak berarti harus sepenuhnya melepaskan diri dari masyarakat — tetapi tentang bagaimana menemukan keseimbangan antara menjadi bagian dari dunia dan tetap jujur pada dirinya sendiri. Alena menyesap tehnya yang mulai dingin. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak terlalu terbebani oleh pertanyaan tentang siapa dirinya. Ia sadar, menemukan jati diri adalah proses yang panjang — dan ia tidak perlu terburu-buru. Karena perjalanan baru saja dimulai. Saat Alena menatap keluar jendela, matanya tertuju pada sosok seorang pemuda yang baru saja memasuki kafe. Rambut hitamnya sedikit berantakan, kaus putih yang ia kenakan tampak sederhana, dan ransel hitam tersampir di bahunya. Pemuda itu memesan sesuatu di kasir sebelum berbalik, matanya secara tidak sengaja bertemu dengan tatapan Alena. Alena buru-buru mengalihkan pandangan, merasa sedikit canggung. Namun, suara langkah kaki mendekat membuatnya mengangkat kepala lagi. Pemuda itu berdiri di samping mejanya, membawa secangkir kopi di tangannya. “Boleh duduk di sini?” tanya pemuda itu, suaranya terdengar ramah. Alena menatap kursi kosong di depannya, lalu mengangguk pelan. “Silakan.” Pemuda itu duduk, meletakkan kopinya di atas meja. Setelah beberapa saat hening, dia menatap Alena sambil tersenyum tipis. “Aku rasa kita belum pernah bertemu sebelumnya.” Alena mengangkat alis. “Sepertinya begitu.” Pemuda itu mengulurkan tangan. “Aku Zayn.” Alena ragu sejenak, lalu menyambut uluran tangannya. “Alena.” Tatapan Zayn terasa tenang dan terbuka, seolah ia adalah tipe orang yang mudah didekati. Setelah melepaskan jabat tangan, Zayn bersandar di kursi, matanya menatap ke arah jendela. “Kau sering datang ke sini?” tanya Zayn, memecah keheningan. Alena menggeleng pelan. “Tidak. Aku hanya… sedang mencari ketenangan.” Zayn tersenyum samar. “Aku juga. Tempat ini memang cukup nyaman.” Alena memperhatikan Zayn dengan rasa penasaran yang mulai tumbuh. Ada sesuatu dalam cara Zayn berbicara — santai tapi tulus — yang membuatnya merasa sedikit lebih rileks. “Kau seperti sedang memikirkan sesuatu,” kata Zayn, matanya menatap Alena dengan penuh perhatian. Alena terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku sedang mencoba memahami… bagaimana menjalani hidup dengan caraku sendiri.” Zayn menatapnya dalam-dalam. “Kedengarannya cukup rumit.” Alena tersenyum tipis. “Memang. Aku baru menyadari kalau selama ini aku hanya menjalani hidup sesuai harapan orang lain. Sekarang aku ingin mencoba menemukan jalanku sendiri, tapi aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana.” Zayn mengangguk pelan, seolah memahami perasaan itu dengan baik. “Aku rasa… kita semua pernah ada di posisi itu. Aku juga pernah merasa seperti itu.” Alena menatap Zayn dengan rasa ingin tahu. “Apa yang kau lakukan?” Zayn tersenyum kecil. “Aku mulai dengan melakukan hal-hal yang kusukai, meski orang-orang di sekitarku menganggap itu tidak masuk akal. Aku belajar bermain gitar, menulis puisi, dan melakukan perjalanan tanpa tujuan hanya untuk mencari inspirasi.” Alena menatap Zayn dengan kagum. “Apa kau tidak takut orang-orang akan menilaimu aneh?” Zayn tertawa pelan. “Tentu saja. Tapi aku sadar bahwa aku tidak bisa menyenangkan semua orang. Jadi daripada mencoba hidup demi orang lain, aku memilih untuk hidup demi diriku sendiri.” Alena terdiam, memproses kata-kata Zayn. Ada ketenangan dalam caranya berbicara — seolah Zayn sudah menemukan jawaban yang selama ini ia cari. “Dan kau?” tanya Zayn, menatap Alena dengan sorot mata lembut. “Apa hal yang paling ingin kau lakukan untuk dirimu sendiri?” Alena menatap ke luar jendela, memikirkan pertanyaan itu dengan serius. “Aku… ingin mencoba melukis lagi.” Zayn tersenyum, matanya berbinar. “Melukis? Itu menarik. Kau suka melukis?” Alena mengangguk pelan. “Dulu aku suka sekali melukis. Tapi setelah aku mulai sibuk dengan ekspektasi keluarga dan sekolah, aku berhenti. Aku merasa itu tidak akan pernah menjadi sesuatu yang berarti.” “Tapi itu membuatmu bahagia, kan?” tanya Zayn. Alena menatap Zayn, lalu tersenyum kecil. “Ya.” “Kalau begitu, mungkin kau harus mencobanya lagi,” kata Zayn, suaranya terdengar tulus. “Kadang kita menemukan diri kita sendiri di antara warna dan goresan yang kita buat.” Alena tersenyum tipis. Ada sesuatu dalam kata-kata Zayn yang terasa benar. Mungkin selama ini ia terlalu takut untuk melakukan hal yang benar-benar ia sukai karena khawatir dianggap tidak cukup baik atau tidak berarti. Tapi sekarang, mungkin sudah saatnya mencoba — bukan untuk menyenangkan orang lain, tapi untuk dirinya sendiri. “Baiklah,” kata Alena pelan. “Mungkin aku akan mencobanya.” Zayn tersenyum lebar. “Kalau kau mau, aku bisa menemaninya.” Alena menatap Zayn dengan sorot penuh keterkejutan. “Kau melukis juga?” Zayn tertawa kecil. “Tidak. Tapi aku bisa jadi pengamat yang baik.” Alena tertawa pelan. “Baiklah, kita lihat saja nanti.” Ketika Zayn berdiri untuk pergi, ia menatap Alena sekali lagi. “Alena… kalau kau ingin menjalani hidupmu sendiri, mulailah dari sesuatu yang kau cintai. Tidak masalah jika orang lain tidak mengerti. Yang penting, kau tahu alasanmu sendiri.” Alena menatap Zayn yang berjalan keluar dari kafe. Di luar, Zayn berhenti sejenak, berbalik, dan melambaikan tangan dengan senyum di wajahnya. Alena membalas lambaiannya dengan perasaan yang aneh tapi menyenangkan. Untuk pertama kalinya, Alena merasa memiliki tujuan kecil yang ingin ia wujudkan — mulai melukis lagi. Dan mungkin, Zayn akan menjadi bagian dari proses itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD