Alena melangkah pelan di jalan setapak yang membelah taman kota. Udara sore terasa sejuk, semilir angin membawa aroma rumput dan bunga yang mulai bermekaran. Langit di atasnya dipenuhi semburat jingga dan ungu, menciptakan pemandangan senja yang memanjakan mata. Cahaya matahari yang mulai redup memantul di permukaan danau kecil di tengah taman, menciptakan riak-riak lembut di atas air.
Di tepi danau, ada sebuah bangku kayu tua yang menghadap langsung ke arah matahari terbenam. Alena berjalan ke arah bangku itu dan duduk perlahan, merasakan kehangatan kayu yang terserap cahaya matahari sepanjang hari. Suasana di taman terasa tenang meski beberapa orang tampak masih berlalu-lalang — sepasang kekasih yang berjalan bergandengan tangan, seorang anak kecil yang berlarian mengejar burung, dan seorang pria tua yang sedang membaca buku di bawah pohon besar.
Alena memejamkan mata sejenak, merasakan kedamaian yang perlahan menyusup ke dalam dirinya. Tapi pikirannya terus kembali ke pertemuannya dengan Zayn di kafe. Kata-kata Zayn tentang menemukan kebahagiaan dalam hal yang dicintai terus terngiang di kepalanya.
Saat Alena membuka matanya, suara langkah kaki pelan di belakangnya menarik perhatiannya. Ia menoleh dan melihat Zayn berdiri tidak jauh darinya, dengan senyum tipis di wajahnya.
“Kau mengikuti aku?” tanya Alena, setengah bercanda.
Zayn tertawa pelan, lalu berjalan mendekat. “Aku hanya kebetulan lewat. Boleh duduk?”
Alena tersenyum dan menepuk sisi kosong di sebelahnya. “Silakan.”
Zayn duduk di samping Alena, pandangannya mengarah ke danau di depan mereka. Cahaya matahari yang mulai memudar membuat bayangan Zayn terlihat samar di permukaan air.
“Tempat ini indah,” kata Zayn pelan.
Alena mengangguk. “Aku sering datang ke sini dulu, sebelum semuanya menjadi… rumit.”
Zayn menoleh ke arah Alena. “Kenapa berhenti?”
Alena menghela napas. “Karena aku merasa tidak punya waktu untuk hal-hal seperti ini. Aku selalu berpikir bahwa aku harus fokus pada hal yang dianggap penting oleh orang lain — belajar, mencapai prestasi, dan memenuhi harapan mereka.”
Zayn menatap Alena dengan sorot mata yang lembut. “Tapi sekarang kau ada di sini.”
Alena tersenyum kecil. “Mungkin karena aku mulai menyadari bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari memenuhi harapan orang lain.”
Zayn mengangguk pelan. “Kau tahu, aku sering ke tempat seperti ini saat aku merasa buntu. Ada sesuatu tentang ketenangan alam yang membuatku merasa lebih ringan.”
Alena menatap ke arah danau, memperhatikan riak kecil yang terbentuk di permukaan air. “Aku rasa aku tahu maksudmu.”
Hening sejenak di antara mereka. Angin sore berhembus lembut, membuat rambut Alena berayun pelan. Alena menundukkan kepala, merasakan bagaimana kehadiran Zayn membuatnya merasa lebih nyaman. Ia tidak pernah membayangkan bisa duduk bersama seseorang yang bisa memahami perasaannya tanpa banyak bicara.
“Kau pernah berpikir untuk melukis tempat seperti ini?” tanya Zayn tiba-tiba.
Alena menoleh, menatap Zayn yang tersenyum lembut.
“Mungkin,” jawab Alena pelan. “Tapi aku belum tahu apakah aku masih bisa melukis seperti dulu.”
Zayn tertawa kecil. “Kau tidak akan tahu kalau tidak mencobanya.”
Alena tersenyum tipis. “Aku mungkin butuh seseorang untuk menemaniku saat mencoba.”
Zayn menatap Alena dengan sorot mata penuh keyakinan. “Aku bisa jadi orang itu.”
Alena menatap Zayn untuk beberapa saat, lalu tersenyum. Ada sesuatu dalam kehadiran Zayn yang terasa seperti cahaya kecil di tengah kegelapan — tidak menyilaukan, tapi cukup untuk menuntunnya keluar dari ketidakpastian.
Saat langit mulai beralih dari jingga ke ungu tua, Zayn berdiri dan mengulurkan tangannya ke arah Alena.
“Ayo,” katanya. “Aku tahu tempat yang sempurna untuk mendapatkan inspirasi.”
Alena menatap tangan Zayn yang terulur, lalu meletakkan tangannya di sana. Ketika Zayn menariknya berdiri, Alena merasakan sentuhan kehangatan yang aneh namun menyenangkan.
Saat mereka berjalan meninggalkan taman, Alena menyadari bahwa mungkin inilah awal dari sesuatu yang baru — sebuah perjalanan untuk menemukan kebahagiaannya sendiri. Dan mungkin, Zayn adalah seseorang yang bisa menemani langkahnya di sepanjang perjalanan itu.
Dengan langkah pelan namun pasti, Alena mengikuti Zayn, meninggalkan taman di bawah langit senja yang mulai dipenuhi bintang pertama malam itu.