“Kamu itu mbok ya cari kerjaan lain sana. Tuh, kata Yu Siyem, ibunya Lastri, ada lowongan di toko tempat Lastri kerja di Yogya. Ibu kirimin ya lamaran kamu?”
Astari menghentikan kegiatannya menyiapkan materi dan menoleh pada ibunya. “Ijasah Astari kan guru, Bu. Lagipula siapa yang mau ngajar anak-anak kalau Astari pergi.”
“Lha yo itu salah kamu! Sekolah mahal-mahal bukannya ngelamar kerjaan di sekolah kota, malah pulang ke sini. Apa yang mau kamu harapkan? Gaji kamu ndak bakalan naik di sini. Kamu bakalan terus jadi honorer. Selamanya, hidup kita akan selalu kayak gini.”
“Itu karena ibu nggak bisa bersyukur, makanya selalu merasa kurang.”
Selama ini Astari selalu diam setiap ibunya mulai bicara tentang pekerjaannya, tetapi hari ini ia seakan kehabisan kesabaran. Ibu sudah keterlaluan. Mereka sekeluarga, ia, bapak, dan juga adiknya, hampir selalu berusaha menuruti apa yang ibu mau.
Membangun rumah besar dan berlantai keramik, sudah Bapak penuhi meskipun itu berarti bapak harus menggadaikan SK-nya di bank. Membeli sepeda motor, yang walaupun jarang bapak gunakan, juga sudah dituruti. Kuliah di jurusan yang diinginkan ibunya, juga sudah Surya, adiknya, lakukan.
Namun sekarang, saat ibunya menyinggung pekerjaannya lagi, Astari merasa ia harus melawan. Astari mencintai pekerjaannya di sekolah, dan apapun yang ibunya katakan, ia akan terus menjadi guru di sana walaupun dengan gaji kecil.
“Kamu itu ngerti apa soal bersyukur? Setiap hari masih numpang sama ibu. Makan ibu yang kasih, belanja nggak pernah. Ngerti apa kamu??”
“Ibu!!” hardik Bapak dengan keras. “Apa maksudnya bicara seperti itu? Pekerjaan Astari itu mulia. Jangan semuanya dinilai sama uang! Urusan ibu pengen punya apa-apa, bilang sama Bapak! Nanti Bapak yang penuhi! Jangan ganggu pekerjaan Astari!”
Darini mencibir. “Belain aja terus anak kesayanganmu. Emang mulia bisa bikin kaya? Ndak bakalan maju-maju hidup Astari kalau begini aja. Lihat aja omongan ibu!” omelnya sambil masuk ke kamar dan membanting pintu dengan keras.
Astari menghela napas lelah dan membereskan bukunya. Jika sudah seperti ini, ia tidak akan bisa bekerja dengan tenang. Sejak awal memang ibunya tidak pernah setuju jika ia menjadi guru di sini. Ibunya ingin ia melamar di sekolah yang ada di kota dengan gaji besar. Tadinya, Astari ingin tinggal di rumah lama mereka di kampung yang dekat dengan sekolahnya itu, tetapi Bapak melarangnya.
Dirinya memang selalu menjadi anak kesayangan bapaknya. Berbeda dengan ibu yang begitu mengelu-elukan Surya, adik lelakinya. Yah, bukankah memang begitu biasanya? Bapak selalu menjadi cinta pertama anak perempuannya, sementara ibu akan lebih dekat dengan anak lelakinya. Meskipun begitu, ia dan adiknya sangat jarang bertengkar. Mereka berdua saling menyayangi layaknya saudara.
“Nggak usah kamu pikirin omongan ibumu. Kita kan tahu sifat ibumu tuh kayak apa.”
Astari menatap Bapak yang duduk di hadapannya sambil meminum teh. Jika tidak karena Bapak, Astari mungkin lebih memilih untuk tinggal di rumah lama mereka yang kini kosong, hanya agar terbebas dari omelan ibu. Apa yang Astari lakukan akan selalu salah di mata ibunya selama ia masih menjadi guru honorer dengan gaji lima ratu ribu.
“Lama-lama kesel juga, Pak diomongin kayak gitu terus sama ibu. Kayak kerjaan Astari ini hina banget hanya karena gajinya kecil. Coba aja ibu suruh gantiin ngajar sehari, bisa apa nggak.”
Bapak tersenyum. “Tapi kita kan tahu pekerjaan kamu bukan pekerjaan yang hina. Yakin saja, Nduk. Gusti Alloh itu ndak pernah sare. Perjuanganmu buat anak-anak desa ini akan dicatat sebagai tugas mulia. Ndak apa-apa kita miskin di dunia, asal jangan miskin di akhirat.” (Tuhan tidak pernah tidur)
“Bapak kok bisa sabar banget sama ibu sih?” tanya Astari yang masih belum bisa menghilangkan kekesalannya pada ibu.
Dirinya memang sering merasa dongkol pada ibu, tetapi biasanya itu hanya sebentar. Malam ini, entah mengapa Astari benar-benar kesal dan marah pada ibu. Apa uang akan selalu menjadi jaminan kebahagiaan hidup seseorang? Apa orang yang tidak memiliki banyak uang akan selalu menjadi orang yang paling merana?
Ada banyak hal di dunia ini yang tidak bisa dibeli dengan uang. Masih bisa bernapas dengan nyaman, masih bisa berjalan kaki tanpa merasa sakit, masih bisa bangun setiap pagi, adalah sedikit dari banyak hal yang tidak bisa dibeli dengan uang. Sayangnya, tidak banyak orang yang merasa bersyukur untuk hal tersebut. Termasuk ibunya sendiri.
Sejak dulu Astari tidak pernah mengerti bagaimana hubungan orang tuanya. Bapak dan Ibu adalah dua orang yang sangat bertolak belakang baik kepribadian maupun kehidupan asalnya.
Bapak adalah pria yang sangat sabar, sementara ibu selalu meledak-ledak dan sangat manja. Astari tahu, ibunya berasal dari keluarga berada. Orang tua ibu, atau kakek nenek Astari, adalah saudagar kain batik di kota Solo. Sedangkan Bapak hanya seorang PNS golongan tiga yang hidup di kampung dan berasal dari keluarga nelayan miskin di Gunungkidul.
“Dulu ibumu sangat manis dan naïf,” cerita Bapak sambil tersenyum. “Dia bilang ndak mau menikah kalau bukan sama Bapak.”
Sebagai anak perempuan satu-satunya, keinginan Darini selalu dipenuhi orang tuanya. Mungkin hal itu juga yang membuatnya kini menjadi perempuan yang semena-mena dan ketus dalam berkata-kata. Sifat ketus itu sedikit banyak menurun pada Astari. Beruntung, untuk yang lainnya, ia dan Surya lebih mirip Bapak.
“Ya, ibu kan sudah jadi istri Bapak puluhan tahun, harusnya ikhlas dengan apa yang di terima dan dimiliki. Toh, dulu ibu sendiri yang memilih untuk menikahi Bapak. Harusnya kan ibu udah tahu konsekuensi nikah sama PNS.”
Bapak tersenyum dan bangkit dari duduknya. “Wes kerjain tugasmu, Nduk. Keburu malem nanti ndak selesai. Bapak tidur duluan ya.”
Astari menatap punggung Bapak yang menjauh untuk memasuki kamar itu. Bapak selalu sabar. Itu yang membuat Astari bertahan dengan pekerjaannya. Nasihat-nasihat Bapak yang selalu membuatnya kuat. Astari yakin, hidupnya tidak akan hancur hanya karena ia tidak memiliki gaji besar. Dan selama ada Bapak, apapun yang Ibu katakan tidak akan membuat Astari goyah. Ia akan tegak berdiri karena Bapak akan selalu mendukungnya.
****
“Selamat pagi, anak-anak!” sapa Astari pada murid-muridnya di kelas satu.
Karena jumlah guru yang kurang, Astari memegang dua kelas di sekolah. Kelas satu dan kelas enam. Jadi, setiap hari ia harus pulang pergi dua kali ke sekolah. Teman-temannya yang lain tinggal jauh dari sini. Kasihan jika mereka harus bolak-balik. Akan boros di pengeluaran bahan bakar untuk kendaraan mereka.
“Pagi, Bu Guruuuuuu!!” jawab anak-anaknya dengan kompak.
Astari tersenyum menatap anak-anak itu. Tidak seperti sekolah di kota yang murid-muridnya sellau berbaju rapi dan bersepatu, kebanyakan anak di sekolah ini tidak berseragam. Jika ada yang memakai pun, seragam itu terlihat kusam dan beberapa kekecilan. Alas kaki mereka juga lebih banyak memakai sandal jepit.
Namun, kehadiran anak-anak itu selalu membuat Astari bahagia. Ada harapan di balik senyum anak-anak itu. Harapan untuk membuat hidup mereka lebih baik lagi di masa depan.
“Nah, bagaimana PR kalian? Sudah dikerjakan semua kan? Ayo coba dikumpulkan. Ibu mau kita koreksi bersama.”
Beberapa anak mulai menggerutu saat ketua kelas berkeliling untuk mengumpulkan buku PR. Ini yang selalu terjadi setiap pagi. Tidak semua anak mengerjakan PR-nya karena beberapa alasan. Lupa, tidak ada listrik, tidak punya buku penunjang di rumah, hingga tidak ada waktu karena harus membantu orang tuanya bekerja dari sore hingga menjelang malam.
“Lho, kok cuma segini? Yang lain tidak mengerjakan?” Tanya Astari saat hanya menerima empat buku tulis dari sembilan orang siswa yang ada di kelas.
Celetukan alasan yang sama terdengar dari murid yang tidak mengerjakan tugasnya. Astari hanya menghela napas dengan maklum. Ia memang tidak bisa memaksa anak-anak itu karena keadaan mereka yang terbatas.
Sebenarnya, ia bisa saja tidak memberi mereka pekerjaan rumah, tetapi itu akan membuat mereka mudah melupakan materi pelajaran yang sudah ia berikan. Lagipula, pekerjaan rumah adalah salah satu cara agar mereka juga belajar di rumah.
“Ya sudah, ayo kita bahas soalnya sama-sama ya.” Ia mulai membuka buku dan membahas soal yang dikerjakan anak-anak.
Sebenarnya, Astari sudah menawarkan diri untuk mengajar anak-anak di luar jam sekolah dengan gratis. Hari Minggu, ia sepenuhnya senggang, tetapi orang tua mereka tidak pernah setuju. Alasannya, kapan mereka akan membantu orang tua jika belajar terus. Dan Astari tidak bisa memaksakan dirinya. Ia sadar bagaimana pola pikir orang kampung ini. Hampir semua orang tua di sini, sama seperti ibunya. Berorientasi pada uang.
“Bu, besok ijin ndak masuk ya. Mau bantu Bapak cari ikan,” ucap muridnya ketika pelajaran hari itu selesai.
Astari memandang keempat orang muridnya yang semua laki-laki itu. Mereka masih terlalu kecil untuk membantu melaut, tetapi Astari tidak bisa berbuat apa-apa. Ia pernah mendatangi rumah-rumah mereka dan menyatakan keberatannya, tetapi mereka selalu berkata apa dirinya yang akan menghidupi mereka. Jika sudah masalah itu yang diutarakan, tentu saja ia tidak bisa berkata apa-apa lagi.
“Tapi malam ini jangan lupa belajar ya.” Hanya itu yang bisa Astari katakan walaupun ia tahu mereka tidak akan melaksanakan itu . Yang penting, ia sudah mengingatkan. Itu tugas utamanya selain membantu mereka belajar. Mengingatkan mereka untuk belajar.