Dante selesai memasukkan pakaian terakhirnya ke dalam koper dan menutup benda itu, kemudian menguncinya. Sesaat, ia hanya terdiam sambil menatap dua koper besar yang ada di lantai kamarnya itu.
Besok, ia akan meninggalkan rumah dan memulai hidupnya di sebuah tempat yang jauh dari tempatnya tinggal sekarang. Sebuah tempat, yang bahkan belum pernah Dante kunjungi sebelumnya. Atau pernah Dante bayangkan akan tinggal di sana untuk waktu yang lama. Mungkin satu tahun, dua, atau bisa lebih lama daripada itu.
Selama ini, Dante tinggal bersama orang tuanya di sebuah rumah yang mewah dan besar di Jakarta. Keluarganya adalah pemilik Darmawan Hospital yang merupakan salah satu rumah sakit swasta terbesar di ibukota. Kedua orang tuanya, juga kedua kakaknya, semua berprofesi sebagai dokter di rumah sakit tersebut. Begitu juga dengan dirinya. Ia adalah salah satu dokter umum di rumah sakit milik keluarganya itu.
Yah, jika kau dibesarkan di lingkungan yang sangat menjunjung tinggi profesi keluarga dan kedudukan mereka, kau tidak akan memiliki kesempatan untuk menjadi berbeda dari mereka. Dulu, impian Dante adalah menjadi seorang guru. Guru apa saja. Melihat seseorang yang dengan tulus membagi ilmunya kepada orang lain membuat Dante kecil sangat ingin menjadi seperti mereka.
Akan tetapi, ketika Dante mengungkapkan cita-citanya itu kepada sang ibu, wanita itu menolak dengan keras dan berkata jika tidak ada profesi lain yang bisa Dante pilih selain menjadi dokter seperti semua keluarga mereka. Dan sejak itu, ia dipaksa untuk belajar lebih giat dan lebih keras dari anak-anak seusianya hanya agar ia tidak gagal.
Pada awalnya, seperti anak-anak pada umumnya, Dante menolak dan melawan keinginan ibunya itu. Nilainya tidak pernah di atas rata-rata dan ia malas belajar. Sayangnya, tekad ibunya jauh lebih kuat daripada tekad Dante. Dengan segenap tenaga, ibunya terus memaksa Dante untuk belajar hingga paksaan itu berubah menjadi sebuah kewajiban yang memang harus Dante jalani. Pada akhirnya, Dante bisa menerima ‘takdirnya’ itu dan menjadi seperti yang orangtuanya inginkan.
Kemudian, pekerjaan itu berubah menjadi sesuatu yang Dante sukai. Memeriksa orang, lalu menyembuhkannya, bagi Dante sama seperti seorang guru yang membagi ilmu kepada muridnya. Dan Dante sangat menikmatinya.
Bukannya bertugas sebagai dokter yang merawat para pasien VIP di rumah sakit seperti orang tua dan kakaknya, ia lebih memilih untuk ditempatkan di ruang gawat darurat. Tempat itu hampir selalu sibuk dan itu membuatnya merasa lebih menjadi dokter sungguhan daripada hanya berdiam diri di ruangan staff untuk menunggu pasien kaya raya yang datang berobat.
Namun, meskipun sudah cukup sibuk sebagai dokter UGD, Dante merasa ada yang kurang dalam dirinya. Ia merasakan ada sesuatu dalam dirinya yang bertanya-tanya tentang apakah ia sudah menjadi dokter yang baik. Terutama setelah ia menghadapi situasi tidak terduga beberapa tahun silam.
Saat itu, ia yang sedang berkumpul dengan teman-temannya di sebuah kafe, dihadapkan pada peristiwa yang membuat mata hatinya terbuka. Ketika itu, Dante baru saja diangkat menjadi dokter tetap di rumah sakit dan ia berencana merayakan hal tersebut dengan teman-temannya.
Hari sudah cukup sore ketika Dante tiba di kafe tempat teman-temannya sudah menunggu. Di jalanan depan kafe, Dante bertemu dengan seorang bocah laki-laki yang berwajah pucat dan kotor. Usianya mungkin bahkan belum lebih dari dua belas tahun. Anak itu menarik sebuah gerobak yang berisi barang-barang rongsokan. Sang ayah yang sudah renta, mendorong gerobak dari belakang dengan terengah-engah.
Tidak disangkanya, bocah lelaki itu pingsan tidak jauh darinya. Dari ayah si anak, pria tua itu berkata jika sudah tiga hari anaknya mengalami panas dan demam tinggi. Bahkan, sang ayah juga batuk-batuk, dan tampak kesulitan untuk bernapas. Mereka tidak mampu ke dokter karena harus mencari uang untuk makan. Jangankan untuk pergi ke dokter, untuk membeli obat warung saja mereka tidak mampu.
Hati Dante merasa sakit mendengar kenyataan itu. Bahkan, meskipun ia sudah berusaha menolong dan membawa ayah beranak itu ke rumah sakit keluarganya, pada akhirnya sang anak tidak tertolong dan meninggal dunia beberapa hari kemudian. Sang ayah menyusul tidak lama setelah itu karena komplikasi paru yang dialaminya.
Kejadian itu mengusiknya. Dante dihantui mimpi buruk selama berbulan-bulan setelahnya. Setiap malam, ia selalu bermimpi dikelilingi wajah-wajah pucat dan tak berdaya yang mengharapkan pertolongannya. Sayangnya, apa yang bisa Dante lakukan dalam mimpinya hanyalah memandangi mereka tanpa daya untuk menolong.
Selama ini, rumah sakit keluarganya terkenal sebagai rumah sakit yang memiliki biaya perawatan yang mahal. Hal itu terjadi karena kualitas dokter yang bekerja di sana, fasilitas nomor satu yang mereka sediakan, juga obat-obatan terbaik yang mereka berikan kepada pasien. Tidak ada masyarakat ekonomi bawah yang berani memasuki rumah sakit itu karena hampir semua orang tahu bagaimana ‘kelas’ Darmawan Hospital.
Bukannya mereka menolak masyarakat miskin, hanya saja, pasien sudah tahu bagaimana kemampuan mereka. Bocah yang Dante bawa itu adalah warga miskin pertama, dan mungkin juga yang terakhir, yang memasuki rumah sakitnya. Itupun, ia harus mendapat omelan panjang lebar dari Mamanya karena berani membawa orang miskin ke rumah sakitnya.
Dante bahkan harus menerima sangsi dari rumah sakit berupa pemotongan gaji karena memakai fasilitas rumah sakit untuk seseorang yang jelas-jelas tidak mampu membayar biaya perawatan. Yeah, ‘sekejam’ itulah dunia yang selama ini ia tinggali.
Sejak saat itu, Dante lebih sering menghabiskan waktunya di luar jam kerja dengan berkeliling ke tempat-tempat kumuh di Jakarta. Diam-diam, ia mendatangi mereka, melihat jika ada warga yang sakit, memeriksanya, dan memberi mereka obat dengan cuma-Cuma, yang ia beli dengan gajinya. Hanya itu yang bisa Dante lakukan untuk menghentikan mimpi buruk yang kadang masih datang kepadanya.
Sayangnya, perbuatan itu diketahui oleh mamanya dan lagi-lagi ia kena marah. Ia bahkan diskors dari rumah sakit selama tiga bulan. Ia dilarang pergi ke rumah sakit dan menangani pasien karena dianggap telah menyalahgunakan profesinya di luar jam kerja rumah sakit. Alasan apapun yang dikemukannya sama sekali tidak membuat para dewan rumah sakit tergerak hingga tidak ada apapun yang bisa Dante lakukan selain menerimanya.
Pada saat diskors itulah, Dante melihat adanya lowongan pegawai negeri sipil dari Kementerian Kesehatan. Saat itu, dibuka posisi untuk lowongan dokter yang bersedia ditempatkan di seluruh Indonesia.
Dante menganggap itu sebagai peluang untuk lepas dari Mama dan juga nama besar keluarganya. Dengan menjadi dokter di daerah, ia bisa mengabdikan dirinya kepada masyarakat tanpa memandang harta dan kekayaan yang mereka miliki.
Dante melakukan semua itu dengan diam-diam tanpa sepengetahuan seluruh keluarganya. Semuanya berjalan lancar sampai ketika pengumuman itu muncul di situs web yang menyatakan ia diterima dan harus menyelesaikan berkas-berkas pelengkap miliknya.
Namun, sepandai-pandainya ia menyimpan rahasia, pada akhirnya salah satu anggota keluarganya tahu tentang hal itu. Dante bertemu papanya di kantor kementerian dan tidak ada yang bisa ia lakukan selain jujur kepada Papa.
Beruntung, Papa tidak melarang apa yang menjadi pilihannya tersebut. Sejak dulu, Papa memang lebih mendukung Dante. Sayangnya, Mama dan Papanya sering bertentangan karena itu dan biasanya pada akhirnya, Papa akan mengikuti apa yang Mama inginkan.
Hingga hari ini, hanya Papa yang mengetahui itu. Dante memang sengaja mengulur waktu selama mungkin untuk membicarakan itu dengan Mama dan kedua kakaknya. Akan tetapi, Dante juga tahu jika ia tidak bisa terus menerus diam. Terutama ketika ia harus berangkat ke Yogyakarta besok.
Jadi, menguatkan hatinya, Dante keluar dari kamar dan turun untuk makan malam bersama keluarganya. Kebetulan, malam ini, mereka semua ada di rumah. Yah, sebenarnya, hanya Dante yang jarang di rumah pada malam hari.
Sebagai dokter UGD, ia terbiasa bekerja secara shift. Berbeda dengan keluarganya yang memiliki jam kerja teratur dari pagi hingga sore. Mereka hanya akan datang ke rumah sakit di luar jam kerja jika ada pasien VIP yang butuh pertolongan dengan segera. Dan itu adalah sesuatu yang sangat jarang terjadi.
Dulu, Mamanya juga tidak sepenuhnya setuju ketika Dante berkata ingin bertugas di UGD. Namun, Dante mengancam akan bekerja di rumah sakit lain jika ia tidak diijinkan bertugas di sana. Jadi, mau tidak mau, Wulan, sang mama, menyetujui permintaan Dante walaupun dengan setengah hati.
“Dante, cepatlah! Makanan sudah hampir dingin,” kata Wulan begitu melihatnya memasuki ruang makan.
Ia memandang Papa yang juga menatapnya. Papa tahu jika besok Dante akan berangkat. Mungkin, beliau juga sudah menduga jika malam ini, Dante akan mengatakan semuanya pada Mama. Pria itu hanya menggangguk kecil, mencoba memberi kekuatan pada Dante lewat tatapan matanya yang teduh.
Seperti biasa, makan malam mereka berlangsung dengan hening. Sejak dulu, keluarga mereka memang bukan keluarga yang hangat dan akrab satu sama lain. Apa yang ada di rumah, juga apa yang harus dilakukan anak-anak, hampir semua ditentukan oleh Wulan.
Papa lebih sering diam dan menerima semua aturan Mama tanpa bantahan. Dante tidak menduga itu karena Papa terlalu mencintai Mama. Papa hanya ingin menghindari keributan. Cinta bukanlah sesuatu yang memenuhi rumah ini. Dante bahkan yakin jika orang tuanya tidak terlalu mencintai satu sama lain. Interaksi di antara mereka berdua hampir sama kakunya dengan interaksi bersama anak-anak mereka.
“Dante, kemarin Mama menelepon kenalan Mama di Amerika,” kata Mama ketika mereka semua hampir selesai menyantap makanan.
Dante berpaling dari piringnya dan menatap Mama. “Lalu?”
Mama tersenyum. Sebuah senyum yang membuat perut Dante bergolak. Ia tahu arti senyum itu. Dan jelas, itu bukan arti yang baik. Perutnya mulas saat ia bersiap mendengar apa yang hendak Mama katakan.
“Mama rasa, kamu harus kuliah lagi. Ambil spesialisasi di Amerika. Bedah umum atau bedah jantung. Pilih salah satu yang lebih kamu sukai. Itu sangat berguna di masa depan dan di rumah sakit kita.”
Dante meletakkan sendok yang dipegangnya dan meminum air putihnya hingga tandas. Nafsu makannya hilang seketika mendengar apa yang Mama katakan itu. Biasanya keputusan Mama adalah titah di rumah ini, tidak ada yang bisa menolak apapun yang Mama katakan, tetapi kali ini, Dante tidak akan diam saja.
“Teman Mama itu dosen tamu tetap di John Hopkins. Ia juga dokter di rumah sakit ternama di Amerika. Kamu bisa…”
“Dante nggak mau!” potong Dante tegas sebelum Mama menyelesaikan perkataannya.
Semua orang di meja itu memandangnya. Papa, Rasya –kakak sulungnya, Tasya –kakak perempuannya, dan terlebih Mama. Wanita itu melotot kesal pada Dante.
“Apa maksud kamu nggak mau? Kamu mau ke kampus yang lainnya? Sebutkan di mana, Mama punya banyak kenalan di Amerika.”
“Dante nggak mau kuliah lagi,” ucap Dante tegas sambil menatap mamanya.
Mama mengerutkan kening. “Nggak mau kuliah? Apa kamu selamanya cuma mau jadi dokter umum di UGD? Kamu pikir itu akan membuat karier kamu naik? Kamu cucu pemilik rumah sakit, dan suatu saat akan menjadi Dewan rumah sakit. Karier kamu harus tinggi seperti Mama atau Papa.”
Dante menarik napas panjang dan menatap wajah keluarganya satu persatu, kemudian berkata, “
Dante mau mengundurkan diri dari rumah sakit. Dante diterima jadi PNS.”
“Apa maksud kamu??” pekik Wulan sambil membanting sendoknya. “PNS?? Kapan kamu mendaftar jadi PNS??” Sekarang wajah mamanya memerah menahan amarah.
“Waktu Mama skors Dante dari rumah sakit,” jawab Dante tenang. “Dan Dante diterima. Besok Dante berangkat ke Yogyakarta untuk bertugas di sana selama dua tahun. Atau lebih.”
“Omong kosong apa ini, Dante??” Mama bangkit dan berdiri sambil berkacak pinggang. “Mama sekolahin kamu mahal-mahal bukan untuk membuat kamu jadi PNS! Kita punya rumah sakit sendiri! Untuk apa kamu jadi PNS, hah?? Kamu pikir berapa gaji yang diterima PNS??”
“Ma, Dante mau menolong orang-orang yang nggak mampu. Berapa banyak nyawa yang hilang karena mereka tidak mampu berobat? Berapa banyak anak-anak yang harus kehilangan ayahnya karena penyakit yang menggerogoti dan membuatnya tidak bisa berumur panjang?”
“Itu bukan urusan kamu!” kata Mama dengan emosi. “Mereka miskin karena nasib mereka sendiri, dan bukan tugas kamu untuk memikirkan itu.”
Egois, batin Dante dalam hati. Namun, ia tidak mengatakan itu secara langsung atau mama akan tambah murka. Mama adalah wanita yang keras hati dan setiap hal yang tidak sesuai dengan keinginannya, akan selalu membuat Mama marah.
“Maaf, Ma, keputusan Dante sudah bulat. Dante akan berangkat besok.” Ia bangkit dari duduknya, dan memandang Mama sesaat sebelum berbalik pergi.
“Kalau kamu nekat pergi, Mama akan coret kamu dari daftar warisan keluarga kita.”
“Mama!” kata Papa dengan terkejut. “Jangan bicara sembarangan!”
Dante berhenti melangkah tetapi tidak menoleh. Ia juga sudah tahu tentang kemungkinan itu. Mama tidak pernah suka jika ada hal yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya dan akan berusaha sekuat mungkin untuk membuat semua kembali seperti rencananya.
Namun, sekali ini Dante tidak akan diam karena ia sudah terlalu lama mengikuti semua yang mamanya katakan. Ia sudah dewasa dan berhak menjalani hidupnya sendiri meskipun tanpa warisan dan nama besar keluarganya.
Jadi, tanpa menghiraukan ancaman mamanya, ia berjalan keluar dari ruang makan dan naik ke kamarnya. Apapun yang terjadi, Dante tetap akan pergi. Tidak peduli jika ia dicoret dari daftar warisan dan tidak berhak lagi menyandang nama Darmawan di belakangnya. Ini hidupnya, dan Dante akan menjalaninya sendiri.