TERSEBAR LUAS

1902 Words
“Andini!” panggil Hilda pelan begitu Andini masuk ke dalam ruang kelas. Andini menatap Hilda dengan raut wajah bingung. “Kenapa?” tanya Andini. “Kamu tidak tau apa yang aku dengar dari kak Henny barusan?” “Kamu dengar apa memangnya sampai panik begitu?” “Kamu menyukai Nicholas Diego, kakak kelas kita!” “Apa?!” Nada suara Andini naik satu oktaf karena dirinya terlalu terkejut. Bagaimana Hilda bisa tau hal ini? Padahal Andini yakin dia hanya memberitahukan rahasia kecilnya itu kepada Teresa dan Christine hari rabu minggu lalu. Dengan tergesa-gesa Andini meletakkan tas ranselnya diatas bangku dan tas jinjingnya ditaruh digantungan kecil yang ada di samping kanan mejanya. Andini lalu duduk menyamping menghadap ke arah Hilda dan terbengong memikirkan perkataan Hilda. Rahasia kecil Andini tentang dirinya yang menyukai Nicholas tersebar luas. Andini yakin sekali dia hanya mengatakan rahasianya itu kepada Teresa dan Christine di kantin saat itu. Tetapi bagaimana mungkin sekarang rahasia kecil Andini menjadi konsumsi satu sekolah? “Itu tidak benar kan, Andini?” tanya Hilda lagi untuk memastikan. “Itu benar,” lirih Andini sambil menoleh menatap Hilda. Hilda terkejut. Ia menatap sekeliling ruang kelas. Untungnya belum banyak siswa kelas satu yang ada di kelas pagi ini. Hanya beberapa murid laki-laki yang berkumpul di depan kelas dekat papan tulis. “Lalu bagaimana itu bisa tersebar hingga ke telinga anak kelas dua? Kamu mengatakannya kepada kak Nicholas?” “Tentu saja tidak!” Andini segera menyangkalnya, “bagaimana mungkin aku memiliki keberanian untuk mengatakan hal itu langsung kepada kak Nicholas?” “Lalu bagaimana seluruh murid di kelas kak Henny tau? Kak Nicholas kan di kelas dua IPS, bagaimana mungkin kabar itu sampai terdengar ke kelas dua?” “Entahlah, Hilda. Aku tidak tau bagaimana itu bisa tersebar. Padahal aku hanya mengatakan hal itu kepada Teresa. Itu rahasia kecilku, Hilda! Aku tidak mungkin mengatakannya kepada sembarang orang. Teresa dan Christine juga sudah berjanji akan merahasiakannya kok! Tidak mungkin Teresa dan Christine yang membocorkan rahasiaku!” kata Andini dengan sungguh-sungguh. Andini sangat mempercayai Teresa karena Teresa adalah teman pertamanya di Sekolah Harapan Bunda ini. “Aku tidak tau, Andini. Yang jelas mungkin orang yang kamu beritahukan rahasia kamu itu yang menyebarkan rahasiamu kepada kakak kelas hingga jadi menyebar ke satu sekolah.” Andini menundukkan kepalanya setelah mendengar Hilda mengucapkan pendapatnya. Apa benar Teresa atau Christine begitu tega kepada Andini hingga mereka sampai hati menyebarkan rahasianya? Atau apa mungkin keduanya bersama-sama menceritakan rahasianya kepada seseorang yang lain sehingga rahasianya itu tersebar sampai seluruh sekolah? Kalau benar itu mereka, mereka jahat sekali kepada Andini. Padahal Andini sudah mempercayai keduanya, sampai-sampai Andini berani mengatakan rahasianya kepada Teresa dan Christine yang baru Andini kenal beberapa minggu saja. “Kamu tidak apa-apa, Andini?” tanya Hilda ketika Andini lama terdiam dengan posisi kepala menunduk. Andini menggelengkan kepalanya tanpa mendongak, lalu Andini berbalik menghadap papan tulis sambil tetap menundukkan kepala. Andini terisak pelan. Andini merasa sangat sedih karena kepercayaannya dirusak begitu saja. Andini sengaja tidak menunjukkan wajahnya kepada Hilda karena ia merasa malu. Andini tidak ingin Hilda melihatnya menangis. “Andini?” Suara Hilda yang terdengar kembali membuat Andini langsung mengusap kedua matanya dengan punggung tangannya. Setelah menarik napas lalu mengembuskannya sekali dengan cepat, Andini berbalik ke belakang dan menatap Hilda. “Kenapa?” tanya Andini. “Kamu tidak apa-apa?” Andini menjawabnya hanya dengan senyuman yang bahkan tidak sampai ke matanya. Andini tersenyum hanya untuk meyakinkan Hilda bahwa ia baik-baik saja. Walau jauh di dalam hatinya, Andini berpikir dia tidak baik-baik saja. Andini bahkan merasa kalau setelah ini ia tidak akan berani pergi keluar kelas kecuali untuk sesuatu yang benar-benar penting. Andini takut akan bertemu kakak kelas dan ditanya-tanyai oleh mereka. “Kalau kamu butuh sesuatu, katakan saja padaku,” Hilda berkata lagi. Hilda melihat Andini menganggukkan kepalanya. Hilda merasa cukup puas dengan tanggapan Andini, kemudian ia kembali sibuk menekuni buku pelajaran IPA. Melihat Hilda kembali belajar, Andini pun berbalik ke arah depan. Menatap papan tulis putih dengan pandangan kosong. Sekarang Andini nyaris sudah tidak bisa berpikir lagi. Hati Andini berdenyut nyeri kala mengingat saat Hilda mengucapkan pendapatnya tadi. Seseorang yang dipercayainya malah kemungkinan besar menjadi seseorang yang telah membocorkan rahasianya kepada seluruh murid SMP Harapan Bunda. Sekarang siapakah yang bisa Andini percayai lagi di sekolah barunya ini? *** Tepat sebelum Bu Hani masuk ke dalam kelas untuk mengajar, ketua kelas memberikan pemberitahuan dari Pak Andre, wali kelas mereka, bahwa murid-murid kelas satu harus merotasi tempat duduknya. Rotasi tempat duduk kali ini sudah ditentukan oleh Pak Andre, oleh karena itu mereka semua segera memasukkan kembali buku pelajaran dan alat tulis ke dalam tas dan berdiri di samping meja, bersiap untuk pindah ke tempat duduk baru. Pada rotasi tempat duduk kali ini, Andini tetap berada di barisan tengah dan ia duduk dibangku paling belakang dekat dengan pintu kelas. Andini pun mendapatkan Hilda sebagai teman sebangku. Di depan Andini, ada Nadia yang mendapatkan Christi sebagai teman sebangkunya. Di depannya lagi ada Rozie yang mendapatkan Elana sebagai teman sebangkunya. Dan terakhir, di depan Rozie, ada Teresa yang mendapatkan Christine Sanders sebagai teman sebangkunya. Pemindahan tempat duduk yang sangat mendadak ini, Andini jadi tidak bisa menanyakan tentang kabar yang baru saja ia dengar dari Hilda sebelu masuk kelas tadi kepada Teresa. Andini berusaha bersabar sembari menunggu jam istirahat tiba untuk menanyakan tentang hal yang menganggunya itu kepada Teresa dan Christine. Waktu berjalan dengan lambat. Masih ada waktu tiga puluh menit lagi sebelum bel istirahat berbunyi. Andini bahkan tidak bisa fokus memperhatikan Bu Chrissy yang sedang menjelaskan materi baru di papan tulis. Andini tidak terlalu peduli dengan hal itu. Yang menjadi prioritasnya sekarang adalah mendapatkan jawaban dari Teresa dan Christine. “Andini, apa yang aku dengar dari kakak kelas itu benar tidak?” tiba-tiba Mia-yang duduk di seberang tempat duduk Andini-bertanya. “Apa yang kamu dengar dari mereka, Mia? Kenapa kamu berbisik-bisik begitu?” Mia mengarahkan jari telunjuknya di depan bibir, “Supaya Bu Chrissy tidak mendengarkan kita mengobrol, makanya aku berbisik-bisik. Ngomong-ngomong, yang aku maksud adalah berita tentang kamu menyukai kak Nicholas dari kelas dua IPS. Itu benar atau tidak?” Andini menelan ludahnya keras. Astaga, bahkan teman sekelasnya sudah tau tentang itu sekarang. “Itu tidak benar!” jawab Andini berusaha menyangkalnya. Mia mengangguk. Di mata Andini, Mia terlihat percaya dengan jawaban Andini berikan. Andini mengucapkan syukur di dalam hatinya sekaligus meminta maaf karena berbohong. “Kamu dengar dari mana berita itu, Mia?” tanya Andini. “Aku mendengarnya dari kak Putri Madani kelas dua. Tega sekali ya yang menyebarkan berita bohong seperti itu.” Andini hanya tersenyum menanggapi perkataan Mia. Untunglah tak lama kemudian bel istirahat berbunyi. Bu Chrissy mempersilahkan murid kelas satu untuk menyantap makan siang sementara ia menetap di dalam kelas, memeriksa pekerjaan rumah yang tadi murid-murid kelas satu serahkan kepadanya setelah kelas di mulai. Teresa dan Christine terlihat keluar dari kelas. Sepertinya mereka menuju kantin. Tanpa mengajak Andini. Sikap mereka membuat Andini berpikir bahwa kemungkinan besar mereka berdua merasa bersalah dan takut karena sudah menyebarkan rahasia Andini. Andini mengambil dompet kecilnya dari dalam tas dan segera berlari keluar. Mengabaikan begitu saja kotak bekal berisi roti tawar selai kacang dan taburan cokelat meses buatan Maya tergeletak dalam tas jinjingnya. “Teresa! Christine!” panggil Andini sebelum Teresa dan Christine menuruni tangga belakang. “Andini? Kamu juga mau pergi ke kantin?” tanya Teresa. Teresa terlihat tidak nyaman di sapa oleh Andini, seperti ia dan Christine sengaja pergi terlebih dahulu tanpa mengajak Andini. “Iya, aku juga mau pergi ke kantin. Membeli snack untuk tambahan makan siangku,” sahut Andini seraya tersenyum kecil. “Kalau begitu, ayo ikut pergi bersama kami,” Christine menggesturkan ajakan ke arah kantin kepada Andini. Andini mengabaikan gestur tidak nyaman yang Teresa perlihatkan dan mengikuti keduanya menuju kantin di lantai bawah. Andini tetap diam sementara Teresa dan Christine mengobrol seru tentang teater, kegiatan ekstrakulikuler sekaligus kesukaan baru Teresa. Sesampainya di kantin sekolah, Andini membiarkan kedua memesan bakmi dari stand bakmi yang berada tidak jauh dari stand makanan utama di ujung kantin. Andini sendiri pergi ke stand utama dan membeli satu bungkus nasi goreng seharga tiga ribu lima ratus rupiah dan satu botol air mineral seharga seribu lima ratus rupiah. Andini menyerahkan selembar uang sepuluh ribu kepada ibu penjaga stand, lalu menerima uang kembalian sebesar lima ribu rupiah. Andini lalu pergi menghampiri Teresa dan Christine yang masih setia berdiri di samping stand bakmi, menunggu pesanan mereka jadi. “Kalian memesan apa?” tanya Andini berbasa-basi. “Mie ayam yamin,” jawab Teresa pelan. “Mie ayam pangsit rebus,” Christine ikut menyahut menjawab pertanyaan Andini. Andini menganggukkan kepalanya, “Kalau begitu, aku tunggu di sana ya. Nanti kita makan bersama.” Keduanya mengangguk mengiyakan. Andini tersenyum lalu berlari menuju tempat duduknya sebelum ada murid lain duduk di sana. Andini tidak mau harus pergi ke lantai bawah untuk mencari tempat untuk makan. Takutnya Teresa dan Christine malah berlari pergi darinya demi menghindari Andini yang ingin bertanya. Lima menit kemudian Teresa dan Christine tiba dengan tangan memegang mangkok mie ayam mengepul. Andini pun membiarkan keduanya makan dengan tenang. Andini memutuskan bahwa nanti setelah mereka semua selesai makan baru Andini akan menanyakan kepada mereka tentang rahasia yang tersebar luas hingga satu SMP Harapan Bunda ini tau. Selesai makan, Andini berjalan bersama Teresa dan Christine menuju kelas. Karena sebentar lagi hampir bel masuk. Tidak ingin kehilangan momen bertanya, Andini segera saja menembakkan satu pertanyaan kepada mereka. Pertanyaan yang benar-benar ingin Andini tanyakan sejak pagi tadi. “Tentu saja aku tidak mengatakan apa-apa tentang itu kepada siapa pun!” Christine segera menyahut dengan nada tinggi. Sepertinya Christine merasa tidak terima karena perkataan Andini terdengar menuduh. Andini beralih menatap Teresa. Tatapan matanya yang tajam berusaha membuat Teresa mengatakan yang sebenarnya. Meski Andini tidak yakin hal itu akan berhasil, tetapi dia tetap mencobanya. “Aku juga tidak mengatakannya kepada siapa pun!” kata Teresa dengan nada suara tinggi, terlihat tidak terima dengan tuduhan tak langsung yang diberikan oleh Andini. Sikap Teresa yang sama persis dengan Christine membuat Andini mendesah muram. Benarkah bukan mereka? Kalau begitu siapa pelakunya? “Baiklah, aku percaya. Maaf, soalnya aku hanya kaget saja kenapa rahasiaku sampai bisa tersebar ke satu sekolah,” kata Andini seraya menundukkan kepalanya sedikit. Andini memutuskan untuk tidak nekat tetap menuduh Teresa atau Christine sebagai pelaku yang menyebarkan rahasianya, meski memang hanya mereka berdua yang tau tentang rahasianya itu sejak awal. Ketiganya langsung menuju kelas setelah pembicaraan yang membuat suasana canggung itu. Dalam perjalanan menaiki tangga ke lantai tiga, Andini terus berpikir. Apakah perkataan Christine dan Teresa jujur? Tapi kalau pun mereka tidak jujur, memangnya apa yang akan aku lakukan? Sudah di konfrontasi begini pun mereka tetap tidak berkata jujur. Masa iya Andini harus memaksa mereka? Dengan cara apa Andini harus memaksa mereka berkata jujur kepadanya? “Andini, kamu baik-baik saja?” tanya Hilda begitu Andini duduk di sebelahnya. Andini menggelengkan kepalanya, “Teresa dan Christine berkata bukan mereka yang menyebarkan rahasiaku. Tapi bagaimana mungkin satu sekolah jadi tau kalau aku menyukai kak Nicholas?” suara Andini sangat lirih diakhir kalimatnya, karena ia tidak ingin ada yang mendengar Andini mengungkapkan perasaan sukanya ke Nicholas Diego kepada Hilda. “Mana mungkin maling mengaku,” dengus Hilda kesal, “aku dengar dari kak Henny, kak Putri tau dari Teresa kalau kamu menyukai kak Nicholas.” Mata Andini membulat. Tatapan tidak percaya dilayangkannya kepada Hilda yang baru saja mengucapkan hal yang paling tidak ingin Andini dengar. “Jadi benar Teresa yang membuat rahasiaku tersebar dengan mengatakannya kepada kakak senior di kelas dua?!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD