SEMAKIN AKRAB

2280 Words
Lagi-lagi tanpa terasa sudah hampir seminggu berlalu. Sekarang Andini sedang mengikuti pelajaran pertama di hari kamis yaitu pelajaran penjaskes alias pendidikan jasmani dan kesehatan. “Kali ini kita akan mempelajari olahraga basket. Buatlah regu berisikan dua orang lalu berlatih bersama cara menggiring bola basket, mengoper bola basket, menembakkan bola seperti yang akan bapak contohkan sebentar lagi. Nanti bapak akan bergiliran memperhatikan setiap kelompok berlatih.” “Baik, Pak Ben!” sahut murid-murid kelas satu serempak. “Perlu kalian ingat, dua minggu lagi akan ada ujian tengah semester. Barangkali bapak akan menguji ini nanti, jadi kalian perlu mempelajarinya baik-baik. Mengerti?” “Mengerti, Pak!” lagi-lagi murid-murid menyahut dengan serempak. Teresa berpasangan dengan Nadia sedangkan Andini berpasangan dengan Christine. Untungnya ada Christine, jadi Andini tidak harus berlatih sendiri atau menyusup ke kelompok lain. Berpasangan dengan Christine berlatih basket sangat menyenangkan. Christine banyak membantu Andini terutama ketika mempelajari cara menembakkan bola basket ke ring. Begitu Pak Ben menyatakan bahwa pelajaran penjaskes telah selesai, murid-murid langsung berlarian keluar lapangan. Sebagian dari mereka ada yang diam-diam menuju kantin untuk membeli camilan ringan untuk di makan sebelum pelajaran berikutnya di mulai, sebagian lagi naik ke lantai tiga untuk mengambil baju seragam yang sengaja mereka tinggalkan di kelas. Christine, Teresa, dan Andini bersama-sama berjalan menuju toilet lantai anak perempuan di lantai tiga setelah mengambil baju seragam mereka di kelas. “Bagaimana menurutmu latihan kita tadi?” tanya Christine. Karena toilet anak perempuan penuh, maka ketiganya harus menunggu dan mengantri di depan. Andini bersandar di tembok, menghadap ke tembok ruang kelas anak kelas tiga yang kebetulan tepat berhadapan dengan toilet anak perempuan. “Melelahkan!” jawab Andini lesu. Christine tertawa mendengar jawaban Andini. Tapi sepertinya itu memang benar. Christine memperhatikan wajah Andini dengan seksama dan menyimpulkan gadis manis berambut hitam legam sepunggung ini terlihat sangat lelah. “Kamu benar-benar sudah menyerah ya dengan basket.” “Semua olahraga memang melelahkan tapi entah kenapa basket terasa lebih melelahkan untukku.” “Kamu mengambek karena tidak berhasil menembakkan bola ke ring?” tanya Teresa. “Tidak!” sahut Andini mengelak. Memang sebagian kecil karena itu tetapi selebihnya karena Andini tidak menikmati olahraga basket. “Baiklah, aku percaya.” “Ah, ada toilet yang kosong. Aku duluan ya?” tanya Christine. “Silahkan saja!” jawab Andini dan Teresa bersamaan. Setelah berganti baju dengan seragam sekolah, murid-murid kelas satu bersiap untuk pelajaran bahasa Inggris. Buku pelajaran, buku catatan, buku latihan, buku pekerjaan rumah, dan alat tulis, Andini letakkan diatas meja. Andini pun duduk dengan sikap paling manis dan paling tenang menurut Andini. Tangan Andini berada diatas meja dan ia saling menautkan kedua tangannya. Bu Chrissy masuk ke dalam kelas tak lama setelah bel sekolah berdentang beberapa kali. Beliau langsung memerintahkan murid-murid untuk mengumpulkan pekerjaan rumah yang diberikannya hari senin lalu ke meja guru di depan kelas. Anak-anak diam, tak ada satu pun yang berani berbicara sementara Bu Chrissy memeriksa pekerjaan rumah mereka satu-persatu dengan cepat. Tidak butuh lama bagi Bu Chrissy untuk memeriksa pekerjaan rumah seluruh anak. Bu Chrissy kemudian langsung meminta kepada ketua kelas untuk membagikan kembali buku pekerjaan rumah mereka lalu langsung beralih menjelaskan bab berikutnya. Andini langsung membuka buku pelajaran bahasa Inggris di bab yang Bu Chrissy katakan. “Andini, buku PR kamu,” kata ketua kelas sambil menyerahkan buku pekerjaan rumah Andini. “Terima kasih!” sahut Andini pelan seraya menerima buku pekerjaan rumahnya. Kemudian Andini langsung menatap kembali ke arah papan tulis. Setelah selesai menuliskan beberapa hal penting yang dirangkum dengan apik di papan tulis, Bu Chrissy langsung menjelaskan teori yang dituliskannya itu kepada murid-murid kelas satu. Andini tidak terlalu kesulitan memahami pelajaran bahasa Inggris karena orangtuanya sudah memasukkannya ke les di sebuah lembaga pendidikan bahasa Inggris di dekat rumahnya. Maya mendaftarkan Andini ke sebuah lembaga pendidikan bahasa Inggris yang bernama ELON yang terletak tidak jauh dari rumah mereka. Maya dan Andini hanya perlu berkendara menggunakan motor selama lima menit hingga sepuluh menit, tergantung macet atau tidak, karena itu daerah di mana banyak terdapat restoran dan toko jadi macet merupakan hal yang cukup sering terlihat. Setelah mendaftar di ELON, Andini diharuskan mengikuti sebuah tes yang mana nantinya akan menentukan di mana dirinya akan ditempatkan. Jika hasil tes Andini buruk, maka Andini akan ditempatkan di kelas Beginner for Big Ages, di mana kelas tersebut berisikan anak-anak diatas usia minimal 7 tahun. Namun jika hasil tes Andini bagus, maka Andini bisa ditempatkan langsung di kelas Elementary di mana biasanya anak-anak seusianya banyak berada di level tersebut. Sayangnya hasil tes Andini tidak begitu baik, maka Andini harus masuk ke kelas Beginner for Big Ages selama delapan bulan sebelum kembali mengikuti tes untuk dapat naik ke kelas Elementary 1A. Tanpa terasa sudah waktunya istirahat. Teresa kali ini tidak makan siang bersama Nadia, Novia, dan Rozie karena ketiganya sedang sibuk mengikuti rapat OSIS sebagai perwakilan kelas mereka. Teresa langsung mengajak Andini dan Christine untuk pergi ke kantin karena dia tidak membawa bekal hari ini. Andini membawa bekalnya hari ini, tetapi dia mengikuti Teresa dan Christine menuju kantin. “Nadia dan yang lain mengikuti rapat OSIS?” tanya Andini. Teresa mengangguk. “Memangnya ada apa? Kok rasanya mereka sering sekali pergi rapat?” “Pemilihan ketua OSIS baru sepertinya akan diadakan sebentar lagi.” “Oh karena itu mereka jadi sering rapat ya. Bagaimana dengan makan siang mereka?” “Makan bekal yang di bawa dari rumah. Terkadang kalau tidak membawa bekal, mereka akan membeli makanan ringan yang dapat di makan sambil ikut rapat.” Andini mengangguk paham. “Kenapa kamu bertanya? Kamu mau ikut mendaftar untuk pemilihan ketua OSIS?” tanya Christine. Dengan cepat Andini menggelengkan kepalanya. Raut wajahnya berubah menjadi panik. “Enggak usah panik begitu,” kata Teresa seraya tertawa. “Iya kenapa kamu panik begitu? Aku kan hanya bertanya,” kata Christine. “Pertanyaan Teresa membuatku panik. Kamu tau sendiri aku demam panggung, masa aku disuruh mengikuti pemilihan OSIS,” Andini cemberut melihat kedua sahabatnya bersikap sangat santai seolah itu hanya pertanyaan biasa. Well, bagi mereka mungkin memang iya, tapi bagi Andini itu pertanyaan yang mengejutkan. “Benar juga sih, calon ketua OSIS katanya harus berpidato untuk menjelaskan visi dan misinya kepada seluruh murid saat upacara bendera, eh atau setelah upacara bendera ya? Aku lupa,” kata Teresa dengan raut wajah berpikir. “Tuh kan!” Andini mengerang. “Baiklah, aku paham. Tapi apa kamu tidak benar-benar ada minat untuk masuk OSIS?” Andini memikirkan dengan seksama pertanyaan Teresa. Kalau Andini mendaftarkan dirinya kepada calon ketua OSIS untuk dapat masuk sebagai anggota OSIS, itu dapat menambah nilai dirinya. Siapa tau saja saat mendaftar di universitas nanti itu akan menjadi nilai plus dan akan membantunya masuk ke dalam organisasi kemahasiswaan seperti yang sering dikatakan Leon kepada Andini. Masuk ke dalam organisasi sekolah dapat menjadi nilai tambah ketika mencari kerja nantinya. Tapi ada satu hal yang terus Andini pikirkan. Adakah kemungkinan dirinya menjadi anggota OSIS bersama dengan Nicholas? Astaga, dengan hanya memikirkan hal itu bahkan dapat membuat Andini gugup. Kemungkinan Nicholas juga mendaftar untuk dapat menjadi anggota OSIS juga kecil, bagaimana bisa Andini bahkan memikirkan menjadi anggota OSIS bersama Nicholas. “Andini?” “Hah?” sahut Andini bingung. “Kamu memikirkan apa sih? Serius banget,” kata Teresa dengan tatapan menyelidik khas dirinya. “Anggota OSIS,” sahut Andini. “Oh, apa kamu tertarik?” “Iya, aku sedikit tertarik.” “Baiklah, aku akan menanyakannya nanti kepada anak-anak kelas dua. Aku juga tertarik menjadi anggota OSIS. Nadia yang lain juga berminat soalnya.” “Perlu diseleksi ya?” “Sepertinya begitu.” Begitu antrian membeli makanan di kantin memendek, Teresa segera berlari menuju antrian terdekat untuk membeli makanan. Sementara itu Christine dan Andini kembali ke lantai bawah untuk mencarikan tempat duduk yang kosong. Untungnya tidak banyak anak murid SMP Harapan Bunda yang makan siang di kantin hari ini, jadi Andini dan Christine dapat langsung menemukan tempat duduk. Christine dan Andini segera membuka kotak bekal mereka dan mulai makan. Teresa datang sekitar lima menit kemudian, membawa sekotak nasi goreng, minuman teh dalam botol plastik, dan dua kotak camilan rumput laut. Andini memperhatikan Teresa yang makan hanya sedikit dan berpikir pantas saja gadis manis berkulit putih di hadapannya ini tubuhnya kurus. Andini sendiri walau banyak makan tapi tubuhnya juga kurus. Maya berusaha menghentikan kebiasaan Andini menambah satu piring nasi saat makan, katanya nanti jika Andini sudah lebih besar, kebiasaan makannya itu akan membuat tubuhnya berubah menjadi gemuk. Andini tidak mempercayai kata-kata Maya. Buktinya selama dua tahun ini Andini tidak berhasil walau sudah banyak berusaha untuk menjadikan tubuhnya lebih berisi seperti Yiren Aina, teman sekelasnya saat di sekolah dasar. “Ayo cepat kita selesaikan makan siang kita. Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan!” ucap Teresa setelah dia selesai mengunyah makanannya. *** Andini berbaring di tempat tidurnya sambil memikirkan kejadian tadi siang sehabis mereka pergi makan siang bersama. Andini sedikit terkejut ketika Teresa mengatakan tentang rahasianya bahwa dirinya menyukai seorang siswa dari kelas dua yang tidak lain adalah kakak laki-laki Nadia. Siapa murid kelas satu ini yang tidak mengetahui identitas dari kakak Nadia. Ivan Putra adalah siswa kelas dua IPA yang berprestasi. Saat kelas satu Ivan selalu menjadi juara pertama, karena itulah Ivan di kenal sebagai siswa yang berprestasi di kalangan murid-murid dan para guru. Setelah Teresa selesai bercerita dan keduanya selesai berkomentar soal Ivan, tiba-tiba Christine mengatakan sesuatu yang cukup mengejutkan mereka berdua. Alasan Christine pindah ke sekolah Harapan Bunda. Ternyata alasan Christine pindah ke sekolah Harapan Bunda bukan karena orangtuanya pindah bekerja ke daerah ini, tetapi karena di sekolahnya dahulu Christine pernah terlibat suatu kasus yang mengharuskan keluar dari sekolah. Christine di tuduh mencuri barang milik seorang anak di kelasnya. Tentu saja Christine tidak melakukan itu. Tapi sang anak bersikeras, karena mereka menemukan benda yang hilang tersebut berada di bangku kosong yang berada tepat di sebelah bangku tempat Christine duduk. Mengingat cerita Christine tadi siang, Andini merasa marah kembali. Bisa-bisa karena anak pejabat maka anak itu lebih dipercaya dibandingkan Christine yang benar-benar tidak melakukan tindakan yang di tuduhkan kepadanya itu. Akhirnya karena hal tersebut, Christine terpaksa pindah sekolah. Benar, terpaksa. Karena orangtua murid tersebut mengancam akan membawa kasus ini ke polisi jika Christine tidak pindah dari sekolah. Dari cerita Christine, Andini pun memahami sesuatu. Pasti anak itu sengaja memfitnah Christine dan meminta orangtuanya menyuruh Christine pindah sekolah, karena anak itu tidak menyukai keberadaan Christine di sekolah itu. Astaga, hanya karena itu sampai berbuat hal buruk dengan memfitnah orang lain. Ingin rasanya Andini menjambak kuat rambut anak itu. KRIINGG!! Bunyi ponselnya mengalihkan Andini dari pikirannya. Andini segera bangkit dari tempat tidurnya untuk mengambil ponsel berwarna biru tua dengan nomor seri tiga tiga lima kosong itu. Ponsel itu adalah ponsel bekas pakai pemberian Maya. Maya memakainya selama dua tahun sebelum membeli ponsel baru. Pada akhirnya, Maya memberikan ponsel berwarna biru tua itu untuk Andini pakai. Awalnya Andini kebingungan memakai ponsel tersebut, namun untungnya sepupu dari pihak ibunya juga mempunyai ponsel yang sama dengan miliknya. Jadi Andini belajar menggunakannya dari sepupunya itu. “Halo?” kata Andini begitu dia memencet tombol berwarna hijau yang bergambar telepon. “Andini? Ini aku, Marina.” “Aku tau itu kamu, Marina. Namamu muncul dilayar ponselku. Ada apa menelpon aku malam-malam begini?” “Hanya ingin mengobrol sebentar kok.” “Baiklah, aku akan temani kamu mengobrol sebentar. Aku juga belum terlalu mengantuk nih,” kata Andini sambil berjalan kembali ke tempat tidurnya untuk pergi berbaring. Andin pun menceritakan kepada mereka kalau siang tadi ia sudah menceritakan tentang perasaan sukanya ke Nicholas kepada Teresa dan Christine. Reaksi Marina yang terkejut merupakan reaksi yang sudah Andini duga. “Jadi kamu mengatakan rahasiamu tentang Nicholas kepada mereka ya?” “Iya.” “Apa itu tidak apa-apa?” tanya Marina sedikit cemas. “Aku yakin tidak apa-apa. Mereka berdua bisa dipercaya kok.” “Kalau kamu bilang begitu ya aku tidak bisa berkata apa-apa lagi,” lalu Marina pun menceritakan teman-teman barunya di sekolah SMP Raga Prawira dan kegiatan apa yang membuat mereka sibuk belakangan ini. Hal itu tidak lain adalah pemilihan ketua OSIS yang baru. “Memangnya murid kelas satu boleh mencalonkan diri sebagai ketua OSIS?” “Kalau di sekolah lain, aku tidak tau. Tapi di SMP Raga Prawira boleh kok. Mungkin karena siswa SMP kami sedikit, dan karena hal itu tidak banyak murid juga yang bersedia mencalonkan dirinya sebagai ketua OSIS. Makanya kepala sekolah dan para guru memperbolehkan murid kelas satu mencalonkan dirinya.” “Selain Syifa, apa ada anak lain dari kelas satu yang mencalonkan diri menjadi ketua OSIS?” “Hanya Syifa.” “Begitu rupanya,” Andini menganggukkan kepalanya meski tau Marina tidak dapat melihat anggukan kepalanya itu. “Dari kata-katamu tadi, jadi di sana sebentar lagi juga ada pemilihan ketua OSIS ya?” “Benar....” Andini pun menceritakan tentang pemilihan ketua OSIS di sekolah Harapan Bunda dan juga menceritakan tentang dirinya yang tertarik untuk mendaftarkan diri sebagai anggota OSIS. Marina sedikit terkejut, karena saat di sekolah dasar pun Andini terlihat tidak tertarik dengan hal-hal yang merepotkan seperti itu. Tetapi ketika mendengarkan alasan mengapa Andini ingin mencoba untuk menjadi anggota OSIS, Marina pun paham dan tidak berkata apa-apa lagi. “Sepertinya tidak terlalu enak berbincang di telepon,” kata Marina tiba-tiba. “Mau bagaimana lagi,” sahut Andini. “Bagaimana kalau kita bertemu hari sabtu ini?” “Kamu tidak sibuk?” “Tidak sibuk. Ujian tengah semester kan belum di mulai. Pemilihan OSIS juga masih ada waktu dua minggu lagi. Mau bertemu denganku tidak?” “Tentu saja mau! Aku main ke rumah kamu kalau begitu ya?” “Sangat oke! Setelah itu baru kita tentukan apakah kita mau pergi ke luar atau tidak.” “Baiklah, aku setuju!” “Kalau begitu sampai bertemu hari sabtu ya, Andini! “Sampai jumpa hari sabtu, Marina!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD