MURID PINDAHAN

1635 Words
Andini berjalan menuju kelasnya dengan riang. Sudah dua minggu berlalu dan sejauh ini pelajarannya di Harapan Bunda berjalan dengan lancar karena Andini bisa mengikuti pelajaran dengan cukup baik. Tentunya berkat bantuan Teresa, Nadia, Hilda, serta Christi si juara pertama yang pintar. Hanya satu hal yang sedikit disayangkan Andini yaitu Andini tidak bisa mengubah pilihan ekstrakulikulernya. Karena sudah menyerahkan formulirnya yang dibubuhkan tanda tangan Leon, maka Andini tidak dapat mengubah kembali pilihan ekstrakulikulernya. Andini terpaksa bertahan di basket selama satu tahun ajaran ini. Andini tidak akan berharap untuk masuk ke tim inti basket. Andini hanya bisa berdoa supaya untuk seterusnya selama satu tahun ini dirinya bisa benar-benar kuat menjalani latihan yang menyiksa dari Pelatih Nero. Langkah Andini sempat terhenti ketika dirinya sampai di depan ruang guru yang pintunya selalu terbuka lebar. Andini melihat Ibu Putri, kepala sekolah SMP Harapan Bunda, sedang berbicara dengan seorang siswi berkulit kecokelatan dan berambut pendek yang tampak asing dimatanya serta kedua orangtua siswi tersebut. Pak Andre tiba-tiba mengalihkan pandangannya dan menatap ke arah pintu, beliau sedikit terkejut melihat Andini sedang menatap mereka yang sedang berbicara dengan serius. Andini nyengir lalu segera berlari pergi menuju ruangan kelasnya demi menghindari dirinya yang mungkin saja malah dipanggil Pak Andre masuk ke dalam ruang guru. “Kenapa kamu berlari begitu?” tanya Teresa ketika Andini sedikit terengah ketika sampai di tempat duduknya. “Aku habis dari ruang guru.” “Lalu?” “Sepertinya ada murid baru, tetapi aku tidak tau dia di kelas berapa. Pak Andre melihat aku sedang melihat mereka berbicara jadinya aku langsung berlari ke kelas.” Teresa tertawa mendengarkan penuturan Andini. “Kenapa kamu mesti kabur, Pak Andre kan tidak galak.” Andini mengangkat kedua bahunya menanggapi perkataan Teresa. “Murid barunya perempuan?” “Benar. Anak perempuan dengan kulit berwarna kecokelatan dan rambutnya dipotong sangat pendek hampir seperti potongan rambut anak laki-laki.” “Wah, rambutnya lebih pendek dari kamu dong. Dan kalau kulitnya sampai berwarna kecokelatan begitu mungkin artinya dia suka bermain di tengah terik matahari.” “Olahraga mungkin?” tebak Andini. “Basket?” “Sepak bola?” Andini dan Teresa menebak olahraga yang mungkin dilakukan murid baru itu secara bersamaan. Andini dan Teresa kemudian tertawa karena berpikir lucu sekali mereka serentak begitu mengatakan tebakan mereka. “Ah, sudah bel,” kata Teresa ketika mendengar bel sekolah berdentang. “Kita harus bersiap untuk mata pelajaran IPA,” sahut Andini setuju sambil mengambil buku pelajaran IPA berserta dua buku tulis lainnya dari dalam tasnya. “Jangan lupakan alat tulismu, Andini!” *** “Hai, perkenalkan aku Christine Larasati. Pindahan dari SMP Citra Bunga. Salam kenal!” Christine berkata kepada Andini sambil mengulurkan tangannya. “Hai! Aku Andini Pradipta. Aku dari SD Raga Prawira. Salam kenal!” Andini membalas uluran tangannya lalu mereka berdua bersalaman. Sejujurnya Andini sedikit terkejut ketika tadi Teresa mengajak mengobrol murid baru itu. Nadia saja yang duduk di sebelahnya terlihat tidak terlalu memperdulikan Christine. Teresa malah tiba-tiba memanggil Christine dengan sok akrab setelah bel istirahat berbunyi. Kemudian Teresa dan Christine malah menjadi mengobrol dengan akrabnya seolah mereka sudah lama saling kenal dan baru bertemu lagi setelah sekian lama. Andini juga merasa agak cemburu melihat keakraban Teresa dan Christine. Tetapi lagi-lagi Andini tidak punya keberanian untuk ikut masuk ke dalam obrolan mereka berdua. Untungnya tadi Chrisitine mengajaknya berkenalan sehingga suasana hati Andini kembali menjadi lebih baik. “Sekarang masih pelajaran bahasa Inggris ya?” tanya Christine. “Benar,” jawab Teresa, “mengapa kamu bertanya?” “Aku belum punya jadwal pelajarannya.” “Ah, benar juga,” Teresa mengambil sesuatu dari tasnya lalu menyerahkannya kepada Christine, “kamu bisa salin jadwal pelajarannya. Aku selalu membawa ini setiap hari agar tidak lupa. Yang aslinya aku taruh di kamarku di rumah.” “Terima kasih, Teresa. Aku salin ini sebentar ya!” Lagi-lagi perasaan Andini menjadi tidak nyaman ketika melihat kedekatan Teresa dengan Christine. Entah mengapa Andini bisa merasa seperti itu. Padahal melihat Teresa akrab dengan ketiga temannya dari SD Harapan Bunda saja Andini tidak sampai merasa tidak enak seperti ini. Apa bedanya kali ini? Andini memejamkan matanya sejenak, berusaha menyingkirkan perasaan tidak sukaya melihat kedekatan Teresa dan Christine. Andini kembali membuka matanya. Setelah berpikir sejenak, Andini memindahkan tas yang tadinya dia jadikan sandaran ke pangkuannya. Andini membuka resleting tasnya dan mengeluarkan buku catatan berisi rangkuman pelajaran bahasa Inggris, buku pelajaran bahasa Inggris itu sendiri, serta tempat pensilnya yang berwarna biru muda, kemudian memindahkan keduanya ke atas meja. Andini berusaha menyibukkan dirinya dengan merangkum materi dari buku pelajaran bahasa Inggris. Bu Chrissy, guru bahasa Inggris untuk murid-murid SMP Harapan Bunda masuk ke dalam ruang kelas satu dan mulai memerintahkan anak-anak murid kelas satu membaca bab kedua dari buku pelajaran bahasa Inggris sementara Bu Chrissy terlihat sibuk dengan lembaran-lembaran kertas yang baru saja beliau keluarkan dari dalam map. Hati Andini langsung berdebar karena merasa cemas. Apa jangan-jangan Bu Chrissy ingin mengadakan ulangan mendadak? Andini mencolek lengan Teresa. “Kenapa?” “Lihat ke meja Bu Chrissy,” sahut Andini pelan. “Apa Bu Chrissy ingin mengadakan ulangan mendadak untuk kita?” tanya Teresa ngeri setelah melihat tumpukan kertas di atas meja guru di depan kelas. “Entahlah, mungkin saja.” “Aduh! Aku harus cepat membaca dan menghapal materi bab dua!” Melihat Teresa yang bersemangat untuk bisa menghapal materi bab dua dalam waktu singkat, Andini pun mengikuti jejak Teresa dengan membaca seluruh materi bab dua sambil berusaha menghapalnya. Benar saja dugaan Andini. Lima belas menit setelah Bu Chrissy memerintahkan mereka untuk memasukkan buku pelajaran bahasa Inggris ke dalam tas, beliau langsung meminta kepada ketua kelas untuk membagikan kertas-kertas tersebut kepada teman-teman sekelas. Ketika Andini menerima kertas tersebut, dua puluh pertanyaan pilihan berganda dan lima pertanyaan essay telah menanti untuk Andini jawab. Andini mengarahkan tatapannya kepada Teresa yang juga tengah menatapnya. Tangan kanan Andini terangkat sedikit, membentuk kepalan, lalu Andini berkata ‘semangat’ kepada Teresa, yang dijawab oleh teman sebangkunya itu dengan anggukkan kepala. *** Tidak terasa sudah beberapa hari berlalu sejak kejadian ulangan mendadak yang diadakan oleh Bu Chrissy. Sekarang sudah hari jumat kembali, itu sebabnya Andini sedikit merasa tidak bersemangat. Mengingat hari ini ada kegiatan ekstrakulikuler basket yang dibimbing oleh Pelatih Nero yang galak. Andini menaruh tasnya di atas bangku lalu duduk dibangku tersebut. Teresa dan ketiga temannya belum datang. Di dalam kelas hanya ada beberapa orang murid kelas satu, termasuk Andini dan Christine. Seperti biasa, Andini tersenyum menanggapi sapaan Christine kepadanya. “Kamu ikut ekstrakulikuler apa?” tiba-tiba Andini mendengar suara Christine. “Aku?” Christine menganggukkan kepalanya. “Aku ikut ekstrakulikuler basket.” “Oh, benarkah? Sama dong kalau begitu. Aku juga ikut ekstrakulikuler basket!” seru Christine bersemangat. “Tapi aku tidak pandai bermain basket,” kata Andini sembari menunduk malu. “Karena tidak pandai bermain basket makanya kamu mengikuti ekstrakulikuler basket kan? Tidak apa-apa, asal rajin berlatih kamu pasti bisa!” Andini menggelengkan kepalanya, “Aku tidak akan mengikuti ekstrakulikuler basket di kelas dua nanti.” “Basket ternyata tidak semenyenangkan yang aku kira.” “Bukan olahraga favoritmu ya? Apa boleh buat. Tetapi mengapa tidak mengajukan pindah ekstrakulikuler?” “Aku sudah mencoba bertanya kepada Pak Andre, katanya tidak bisa.” “Susah juga kalau begitu ya.” Andini mengangguk menyetujui perkataan Christine dengan muram. “Bagaimana kalau aku mengajarimu?” “Hah?” “Kenapa? Tidak mau?” tanya Christine. “Bukan begitu!” jawab Andini panik, “apa itu tidak merepotkan?" "Tidak merepotkan sama sekali kok." "Benarkah? Memangnya kita ada waktu berlatih basket diluar jam ekstrakulikuler?” “Soal waktu dan tempatnya sama sekali belum terpikirkan olehku sih,” Christine menggaruk kepalanya dengan raut wajah malu. “Terima kasih atas niat baikmu.” “Tapi aku serius tau, Andini!” “Aku tau,” sahut Andini tertawa, “kalau di jam penjaskes minggu depan kita melakukan olahraga basket, pasti aku akan menagih janjimu itu.” “Tentu saja harus itu!” Jika ada yang bertanya mengapa Andini malah sekarang bisa akrab dengan Christine, jawabannya mudah saja, Christine anak yang baik dan mudah bergaul. Christine persis seperti Teresa. Christine mau mengajak Andini bicara terlebih dahulu, seolah tau Andini terlalu malu untuk menyapanya. Christine juga sama sepertinya yang tidak menyukai belajar tetapi anak perempuan berambut pendek di depannya ini jelas sedikit lebih pintar darinya. Karena itu sesekali Christine yang membantu Andini mempelajari pelajaran yang menurut Andini sulit, terkadang bahkan Andini yang membantu Chrsitine belajar, atau bahkan kadang mereka diajari bersama-sama dengan Teresa sebagai guru mereka. “Ada apa ini? Kalian seru sekali mengobrolnya,” Teresa yang baru saja datang segera masuk ke dalam obrolan. “Membicarakan tentang ekstrakulikuler basket,” jawab Christine. “Ah, hari ini ya? Andini, kamu tidak apa-apa?” tanya Teresa cemas. “Aku? Memangnya aku kenapa?” Andini balik bertanya. “Bukankah kamu jadi tidak menyukai basket?” “Aku merasa itu hanya sulit saja,” Andini berkilah. Teresa menyipitkan matanya. Teresa tidak mempercayai perkataan yang barusan Andini katakan. Melihat Respon Teresa, Andini tersenyum lebar bagai kuda. “Meski aku jadi tidak menyukai sekali pun, itu tidak mengubah fakta kalau aku harus bertahan di ekstrakulikuler basket selama setahun ke depan. Kamu tau kan kalau aku tidak bisa pindah ekstrakulikuler.” “Benar juga perkataanmu.” “Sudahlah, kalian berdua jangan muram begitu. Aku bisa membantu Andini saat ekstrakulikuler nanti. Aku akan memberitahunya semua yang aku ketahui tentang basket,” kata Christine sembari mendekat ke arah mereka lalu menatap Teresa dan Andini dengan senyuman lebar. Melihat Christine yang menyemangati Andini seperti ini membuat Andini sedikit menyesali sikap buruknya ketika pertama kali Christine datang. Tidak seharusnya Andini sedikit cuek dengan gadis manis berkulit kecokelatan ini. Buktinya dalam waktu sesingkat ini, mereka berdua bisa akrab. Jelas sekali Christine adalah anak yang baik dan dapat dipercaya, sama seperti Teresa. Andini jadi berpikir mungkin nanti dirinya bisa mengatakan rahasia kecilnya kepada mereka berdua. Mereka berdua pasti bisa menjaga rahasiaku, batin Andini yakin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD