Andini dengan bersemangat memasukkan seragam olahraga sekolahnya, handuk kecil bersih, botol minum besar anti tumpah berwarna ungu tua yang dibelikan ibunya khusus untuknya, tissue basah, serta tissue kering ke dalam tas jinjing miliknya yang akan dibawanya hari ini ke sekolah. Hari ini adalah hari jumat, di mana Andini akan pertama kali mengikuti kegiatan ekstrakulikuler olahraga basket yang dipilihnya. Tentu saja bersama Hilda dan tiga orang murid kelas satu lainnya.
Andini menggendong tas ranselnya serta menenteng tas jinjingnya itu lalu keluar dari kamar. Andini melihat Maya menatapnya yang membawa banyak barang bawaan. Maya bertanya kepadanya apakah hari ini adalah hari ekstrakulikuker, Andini mengangguk mengiyakan menjawab pertanyaan Maya tersebut.
“Berikan pada mama tas jinjing kamu, mama akan rapikan sekalian memasukkan kotak bekal ke dalamnya,” ucap Maya sembari mengulurkan tangannya meminta tas jinjing tersebut dari genggaman Andini. Andini menyerahkan tas jinjingnya dan membiarkan Maya merapikannya lalu menaruh kotak bekalnya ke dalam tas tersebut.
“Berarti hari ini kamu akan pulang jam tiga sore, kak?” tanya Maya setelah dia selesai.
“Iya, mama. Tolong katakan kepada mbak Kinar agar menjemputku jam tiga sore ya.”
“Tentu.”
“Selamat pagi, Mama!” suara Xandra mengalihkan perhatian mereka. Andini melihat Xandra keluar dari kamar lalu ikut sarapan bersama dirinya setelah mencuci mukanya dan mencuci tangannya.
Maya sendiri tidak ikut sarapan bersama mereka karena Maya tidak terbiasa sarapan sepagi ini. Kalau bukan karena harus berangkat ke sekolah pagi-pagi, Andini juga tidak akan sarapan sepagi ini.
Sebenarnya makan di pagi hari bukan masalah buatnya, hanya saja Andini tidak terlalu menyukai minum s**u yang dibuatkan Maya untuknya. Belakangan ini Maya kembali mewajibkan Andini dan Xandra untuk meminum s**u di pagi hari. Entah apa alasannya, Andini tidak tau dan tidak mau tau. Tetapi demi Maya yang sudah bersusah payah menuangkan segelas s**u untuknya, mau tidak mau Andini meminum s**u tersebut hingga tidak tersisa setetes pun di gelasnya.
“Andini berangkat dulu ya!” pamit Andini dan berlari keluar mengikuti Leon yang sudah menunggunya sejak dua puluh menit lalu.
Sesampainya di sekolah Andini langsung berlari menuju kelasnya. Di dalam kelas, Teresa dan ketiga temannya sudah ada di sana. Mereka berempat sedang duduk berdekatan dan mengobrol. Andini tersenyum melihat itu. Sama sekali tidak masalah melihat kedeketan mereka. Hanya sedikit merasa sayang karena Andini tidak bisa seakrab itu dengan teman-teman Teresa itu.
Andini adalah tipe anak yang pemalu. Andini tidak pernah berani menyapa seseorang duluan, apalagi jika dirinya baru di tempat tersebut. Saat meminta tanda tangan anggota OSIS sendirian di hari pertama itu pun adalah rekor untuk Andini karena Andini bisa menyapa para seniornya lalu meminta tanda tangan mereka.
“Andini!” sapa Teresa setelah melihat Andini duduk dibangku.
Andini hanya tersenyum menanggapi sapaan Teresa yang diikuti sapaan ketiga teman Teresa. Lagi-lagi karena sifat pemalunya, Andini merasa segan untuk sekedar membahas sapaan mereka dengan kata-kata dan memilih tersenyum sebagai tanggapannya kepada mereka berempat.
“Apa yang kamu bawa itu?” tanya Teresa yang merasa penasaran melihat Andini membawa dua tas.
“Oh, itu perlengkapan untuk kegiatan ekstrakulikuler basket.”
“Ah, benar juga. Aku lupa kalau kamu memilih ekstrakulikuler basket. Semangat ya!”
“Terima kasih!” sahut Andini seraya mengangguk.
Teresa, Nadia, Novia, dan Rozie kembali mengobrol, meninggalkannya menatap kosong dibangkunya. Andini juga tidak berani untuk bertindak tidak tau malu dengan ikut menimbrung pembicaraan mereka berempat.
Untung saja tidak lama kemudian Christi dan Hilda datang bersamaan. Andini berbalik ke belakang dan menatap keduanya yang sibuk meletakkan barang bawaan mereka. Karena memilih kegiatan ekstrakulikuler olahraga, keduanya juga membawa dua buah tas sama seperti Andini.
“Sudah siap untuk berkeringat nanti sore?” tanya Hilda.
Andini nyengir sebagai tanggapan. Siap tidak siap, basket adalah kegiatan ekstrakulikuler yang Andini pilih. Jadi mau tidak mau Andini harus hadir dan kegiatan itu hingga selesai.
“Siapa saja sih yang ikut ekstrakulikuler basket selain kalian berdua dari kelas satu?” tanya Christi.
“Entahlah,” jawab Andini. “Kamu tau, Hilda?”
“Aku kemarin mendengar beberapa anak kelas satu membicarakannya, tapi aku tidak tau dengan pasti siapa yang mengikuti ekstrakulikuler basket.”
“Memangnya siapa saja yang membicarakan ekstrakulikuler basket?”
“Banyak.”
“Siapa contohnya?”
“Sandi Stevenson, Bobby Steven, David Sihombing, Evan Sanders, Elana Sanders, Deviana Lukito, Luki Sanjaya, Sekar Tanuwijaya.”
“Mereka berdelapan memang sering berkumpul bersama jadi tidak mungkin mereka semua akan mengikuti ekstrakulikuler basket. Bukankah hal yang wajar jika mereka membahas ekstrakulikuler apa yang akan dipilih?” Christi ikut bertanya setelah menyimak pembicaraan Andini dan Hilda.
“Benar, mungkin saja hanya satu dua orang dari antara mereka yang memilih ekstrakulikuker basket,” sahut Hilda setuju.
“Jadi murid kelas satu yang ikut basket hanya sedikit ya? Entah mengapa sedih juga rasanya,” komentar Andini.
“Kamu takut?” tanya Christi.
“Sedikit.”
“Kenapa kamu takut, Andini?”
“Entah mengapa rasanya enggak nyaman saja jika jumlah kita terlalu sedikit dibandingkan jumlah siswa dan siswi senior.”
“Enggak percaya diri ya?”
Andini meringis mendengar pertanyaan Christi. Christi menebaknya dengan tepat. Tetapi ada alasan lain juga sebenarnya. Alasan lainnya adalah pacar Nicholas, Yovita, katanya juga mengikuti ekstrakulikuler basket. Andini tau hal itu dari pembicaraan yang tidak sengaja didengarnya saat membeli snack di kantin kemarin saat istirahat.
Andini menduga kemungkinan Nicholas akan datang ke lapangan basket saat kegiatan ekstrakuliker mereka hampir selesai. Andini tidak ingin melihat kedekatan Nicholas dan pacarnya itu nantinya. Nicholas adalah anak laki-laki pertama yang membuat Andini salah tingkah dan tidak bisa menatapnya setelah Andini tau kalau Nicholas adalah anak laki-laki yang sama yang pernah dilihatnya waktu itu. Bisa dikatakan Andini menyukai Nicholas. Tetapi Andini tidak mungkin mengatakan perasaanya kepada Nicholas, tidak setelah Andini tau Nicholas berpacaran dengan Yovita. Lagipula Andini tidak mungkin juga punya keberanian untuk mengatakan perasaannya kepada Nicholas.
Bel sekolah yang berdentang menarik Andini dari lamunannya. Andini segera mengambil buku pelajaran Matematika dari dalam tasnya lalu bersiap menanti kedatangan pak Heru ke dalam ruangan kelas satu ini.
***
Kedatangan Pak Ramli membuat Andini tersadar bahwa waktu sudah cukup banyak berlalu. Pelajaran kerajinan tangan dan kesenian atau KTK adalah mata pelajaran terakhir di hari jumat sebelum murid-murid kelas satu memulai kegiatan ekstrakulikuler mereka.
Postur tubuh Pak Ramli yang mirip dengan pamannya yang tidak lain adalah ayah dari kakak sepupunya, kak Jeno, membuat Andini entah mengapa merasa sedikit santai. Meski tidak banyak bicara, ayah kak Jeno mampu memberikan perasaan sedikit nyaman saat berada di dekatnya. Itulah perasaan yang sama yang Andini rasakan saat melihat Pak Ramli, bahkan mungkin lebih. Karena raut wajah Pak Ramli terlihat lebih ramah dari ayah kak Jeno.
Pelajaran KTK pertama Andini adalah menggambar flora, fauna, dan alam benda. Andini menyukai menggambar tetapi bukan berarti Andini mahir menggambar. Walau pun begitu, Andini akan berusaha sebaik mungkin agar Pak Ramli tidak kecewa dengan hasilnya. Karena topiknya adalah menggambar flora, fauna, dan alam benda, Andini memutuskan mengambar sesuatu yang paling mudah untuknya. Andini menggambar pegunungan yang dilengkapi dengan beberapa gambar flora dan fauna yang sekira tidak terlalu sulit untuk digambar olehnya yang tidak pandai menggambar ini.
Bel sekolah kembali Andini, pertanda pelajaran kerajinan tangan dan kesenian pertamanya di sekolah menengah pertama ini telah berakhir. Andini pun bersiap dengan membereskan semua peralatan menggambarnya dan memasukkannya ke dalam tas ransel abu-abu miliknya.
Sebelum murid-murid kelas satu dibubarkan, Pak Ramli memberikan pekerjaan rumah kepada mereka semua. Pak Ramli menugaskan murid-murid kelas satu agar memindahkan gambar yang sekarang mereka gambar di buku gambar ke kanvas berukuran 20cm x 30cm dan harus diwarnai menggunakan cat air. Dalam hatinya Andini sedikit mengeluh karena untuk Andini menggambarkan dan mewarnai di kanvas jauh lebih sulit daripada menggambar dan mewarnai di buku gambar.
Begitu Pak Ramli keluar dari kelas, Andini pergi berganti baju ke toilet anak perempuan bersama-sama Hilda, Christi, Novia, dan Rozie. Anak perempuan lain yang mengikuti kegiatan ekstrakulikuler olahraga juga ikut mereka berlima pergi ke toilet untuk berganti baju.
Hanya Andini dan Hilda yang menggunakan seragam olahraga untuk mengikuti kegiatan ekstrakulikuler. Seragam yang mereka berdua kenakan mengundang komentar dari anak-anak perempuan kelas satu maupun kelas lainnya yang sedang menunggu giliran untuk berganti baju di toilet anak perempuan.
“Sudah selesai?” tanya Andini begitu Hilda keluar dari toilet.
Hilda mengangguk lalu mengajaknya segera kembali ke kelas mereka untuk mengambil barang bawaan mereka dan segera pergi ke lapangan basket. Setelah Andini menanyakan mengapa Hilda terlihat terburu-buru, Hilda menjawab kalau pelatih basket anak-anak perempuan tegas dan tidak mentolerir keterlambatan sedikit pun. Meski anak baru biasanya di maafkan kalau terlambat di hari pertama, tapi Hilda berkata lebih baik tidak membuat kesan buruk dengan pelatih di hari pertama. Andini mengangguk setuju dan mengikuti Hilda untuk segera bergegas menuju ke lapangan basket.
***********************
Andini menerima seragam basket berupa kaus tanpa lengan berwarna putih berlogo macan dengan tulisan nama sekolahnya yang diberikan oleh Pelatih Nero kepadanya dan empat orang murid kelas satu lainnya. Pelatih Nero berkata bahwa itu adalah salah satu dari dua seragam yang akan diberikan kepada murid-murid kelas satu. Seragam lainnya nanti akan diberikan satu bulan kemudian. Seragam lainnnya adalah seragam resmi tim basket putri Sekolah Harapan Bunda yang seperti seragam basket untuk pemain perempuan pada umumnya yaitu kaus lengan pendek dan celana pendek sedikit diatas lutut. Andini sedikit tidak sabar menantikan menerima seragam resminya.
“Nah, sekarang karena kelas satu telah menerima seragam mereka. Maka bukankah lebih baik kita melihat kemampuan anak-anak baru di tim kita ini?” tanya Pelatih Nero kepada siswa dan siswi kelas dua dan kelas tiga.
Andini menatap ngeri ke Pelatih Nero ketika beliau memerintahkan murid kelas satu untuk berlatih tanding. Andini mengikuti kegiatan ekstrakulikuler basket karena ingin mempelajari cara bermain olahraga basket dengan benar. Masa belum mempelajari apa-apa, Pelatih Nero malah melemparkan mereka ke pertandingan begitu saja. Meski ini bukan pertandingan sebenarnya melainkan hanya pertandingan latihan, tetap saja Andini merasa gemetar dibuatnya.
“Karena murid perempuan kelas satu hanya tiga orang saja, maka akan digabung dengan dua murid perempuan dari kelas dua. Lalu kalian berlima akan bertanding melawan murid perempuan dari kelas dua dan kelas tiga. Apa ada yang keberatan?” tanya Pelatih Nero kepada mereka semua.
Ingin rasanya Andini menjawab kalau dirinya keberatan. Namun tentu saja Andini tidak berani melakukannya. Hilda sepertinya mengetahui kalau Andini merasa gugup dan tidak siap mendadak disuruh bertanding seperti ini, dia menepuk pelan punggung Andini. “Bersemangatlah! Kakak perempuanku ada di tim kita. Kak Henny pasti bisa membantu kita anak kelas satu! Lagipula tidak harus menang bukan? Pelatih Nero selalu melakukan ini diawal tahun pelajaran, untuk melihat kemampuan anak-anak baru,” kata Hilda.
“Kamu tidak pernah mengatakan tentang ini,” protes Andini.
“Aku lupa, soalnya kak Henny baru memberitahukannya kepadaku tadi sebelum berganti baju seusai pelajaran KTK.”
Andini mendesah pasrah, “Maaf, aku bukan bermaksud protes kepadamu.”
“Tidak apa-apa kok, Andini. Ayo kita masuk ke lapangan!”
Dengan tidak bersemangat Andini melangkah masuk ke dalam lapangan pertandingan. Henny membantu murid-murid kelas satu menentukan posisi mereka seraya menjelaskan apa yang harus mereka lakukan dan apa yang harus mereka hindari secara singkat.
Pertandingan pun di mulai. Andini, Hilda, dan Elana yang merupakan murid kelas satu dengan kikuk mengikuti arahan Henny dan Noviana. Pertandingan berjalan dengan buruk untuk sisi mereka. Tim murid kelas satu hanya dua kali berhasil memasukkan bola ke dalam ring dan mencetak angka. Hasil akhirnya pun sudah bisa ditebak. Tim murid kelas dua IPS berhasil menang dengan skor dua puluh angka, sementara tim murid kelas satu hanya berhasil mencetak skor empat angka.
Andini kembali ke dalam kerumunan murid-murid perempuan di sisi kanan lapangan dengan muram. Dengan begini Pelatih Nero pasti akan tau kemampuan murid-murid kelas satu cukup buruk, terutama kemampuan Andini. Selama pertandingan latihan itu Andini hanya mengikuti berlari ke sana kemari dan melemparkan bola ke rekan satu tim beberapa kali saja.
“Baiklah, sekarang aku sudah mengetahui kemampuan murid perempuan kelas satu," kata Pelatih Nero sembari berjalan ke tengah lapangan basket. Dalam hatinya pasti Pelatih Nero berpikir kemampuan murid-murid perempuan kelas satu sangat mengecewakan, namun syukurlah beliau tidak menunjukkan kekecewaannya itu secara terang-terangan, "Selanjutnya aku ingin murid laki-laki kelas satu bergabung dan membentuk tim dengan tiga orang murid laki-laki dari kelas dua untuk melawan tim murid laki-laki dari kelas dua dan kelas tiga. Maju ke depan sekarang juga!” perintah Pelatih Nero.
Andini menyaksikan pertandingan murid laki-laki kelas satu sepertinya jauh lebih baik daripada saat dirinya tadi bersama kedua temannya bertanding. Masa depan murid laki-laki kelas satu jauh lebih cerah dibandingkan murid perempuan kelas satu. Dan kekejaman diawal pertemuan kegiatan ekstrakulikuler basket ini membuat Andini berpikir untuk segera pindah ke ekstrakulikuler lain jika memang bisa. Andini terpikirkan untuk memilih kegiatan ekstrakulikuler olahraga badminton. Olahraga badminton favoritnya jelas merupakan pilihan yang jauh lebih baik dibandingkan olahraga basket.