Andini mencatat di buku catatan sembari sekali-sekali melihat ke buku pelajaran IPA yang diletakkan di hadapannya. Sekarang Andini sedang mencoba metode belajar yang biasa Xandra lakukan. Biasanya Xandra akan merangkum materi yang ada dalam buku pelajaran ke dalam satu buku catatan menjadi satu buku catatan untuk satu buku pelajaran. Andini sengaja membeli sebuah buku catatan yang cukup tebal dari koperasi sekolah dengan menggunakan uang jajan yang diberikan Maya kepada Andini setiap minggunya.
Jam yang menggantung di dinding kamarnya menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh sore, berarti sudah tepat satu setengah jam sejak Andini mulai merangkum materi dari buku pelajaran IPA kelas satu miliknya. Meski baru setengah jam tapi Andini sudah mulai merasa bosan dan mengantuk. Untungnya Maya mengetuk pintu kamarnya dan mengajaknya keluar kamar untuk memakan camilan yang Maya buat tadi pagi yaitu puding cokelat dengan vla vanilla.
Pagi tadi setelah Andini dan Xandra berangkat sekolah serta Leon pergi berangkat bekerja, Maya mulai membuat puding cokelat berserta flanya. Tidak sulit membuat puding cokelat. Cukup mencampurkan agar-agar bening satu bungkus dengan s**u cokelat, tidak lupa tambahkan sedikit gula, kemudian di masak hingga mendidih sambil terus diaduk. Setelah mendidih, matikan api kompor, lalu adonan puding tersebut tetap diaduk selama dua menit penuh. Dua menit kemudian, Maya menaruh adonan puding tersebut ke dalam cetakan puding lalu memasukkannya ke dalam kulkas.
Setelah selesai membuat puding cokelat, Maya langsung membuat vla untuk puding cokelat itu. Maya mencampur satu butir kuning telur, tiga sendok makan gula pasir, setengah sendok teh vanilla cair, dua sendok makan tepung maizena, dua ratus lima puluh gram s**u full cream, lalu mengaduknya hingga tercampur rata. Setelah adonan untuk vla tercampur rata, Maya menaruh adonannya diatas kompor dan menyalakan api sedang. Maya terus mengaduk adonan puding hingga adonan puding tersebut meletup-letup sedikit karena sudah mendidih, baru mengangkatnya dan menaruhnya ke dalam kulkas.
“Wah, puding cokelat!” Xandra berseru senang ketika melihat puding cokelat kesukannya tersedia diatas meja makan.
“Cuci tangan dulu sebelum makan, Dek!” tegur Maya yang segera dituruti oleh Xandra. Andini pun mengikuti Xandra ke wastafel untuk bergantian mencuci tangan.
Setelah selesai mencuci tangan, Xandra mengambil dua potong puding dan beberapa sendok vla vanilla. Andini sendiri hanya mengambil sepotong puding cokelat dan empat sendok vla vanilla dikarenakan Andini tidak begitu suka cokelat. Andini lebih menyukai vla vanilla buatan Maya makanya ia lebih banyak mengambil vla vanillanya.
“Seharusnya mama tidak mengajak kalian makan puding semalam ini, tetapi sayang sekali mama lupa memberikan camilannya sebelum kita makan malam tadi. Anggap saja ini makanan penutup kalian yang terlambat,” kata Maya memulai pembicaraan.
Andini mengerutkan dahinya ketika pembicaraan tiba-tiba beralih ke pelajaran mereka di sekolah hari ini. Xandra tentu saja menjawab dengan bersemangat dan berkata pelajarannya hari ini seru dan tidak terlalu sulit. Andini menekuk mulutnya mendengarkan perkataan Xandra. Tentu saja itu lumrah terdengar dari mulut Xandra, bagi Xandra tidak ada yang sulit. Karena selain rajin belajar, otak Xandra juga sangat encer, membuatnya mudah menyerap pelajaran baru. Tidak seperti Andini yang membutuhkan waktu untuk benar-benar memahami sesuatu yang dipelajarinya. Maya juga menanyakan kepada Andini tentang sekolahnya hari ini, di mana hari terakhir masa orientasi siswa dilaksanakan. Andini menjawab dengan tidak bersemangat hari ini hanya mencari tanda tangan anggota OSIS, mengikuti upacara penutupan MOS, dan terakhir mendengarkan wali kelas mengenai ekstrakulikuler dan kelas mereka besok.
Maya yang seolah tau Andini tidak suka ditanyai perihal sekolahnya langsung mengubah pembicaraan.
“Hari sabtu ini ada acara keluarga di rumah Juno. Kata papa kalian harus ikut.”
“Arisan keluarga juga ya, Mama?” tanya Andini yang dijawab anggukan Maya.
Andini berpikir pasti membosankan karena mereka akan sampai sore di rumah keluarga kak Jeno. Tapi tidak terlalu ambil pusing karena pasti kakak sepupu perempuan favoritnya di keluarga pradipta juga pasti akan datang.
“Baik, Mama!” jawab Andini dan Xandra kemudian secara bersamaan.
Yang Maya bicarakan barusan adalah tentang acara pertemuan keluarga mereka sekaligus arisan keluarga besar pradipta yang akan diadakan di rumah kakak sepupu laki-laki Andini dan Xandra yang bernama Jeno. Tempat tinggal Jeno hanya berjarak satu jam dari rumah mereka. Meski Andini tidak suka kalau mereka harus datang ke rumah Jeno karena Jeno kerap bersikap menyebalkan kepada seluruh sepupunya dari pihak keluarga ayahnya. Tapi, karena ini acara keluarga besar mereka dan Leon juga sudah mengatakan mereka berdua harus ikut, maka mau tak mau Andini dan Xandra harus datang ke acara keluarga mereka itu. Harapan Andini satu-satunya pada acara keluarga tersebut hanyalah keberadaan kakak sepupu perempuannya, Arina.
Tanpa terasa waktu berjalan begitu cepat. Jam di ruang makan sudah menunjukkan hampir pukul setengah delapan. Maya segera menyuruh Andini masuk ke kamarnya dan melanjutkan belajarnya, sementara itu Maya dan Xandra menuju ke ruang keluarga untuk menonton acara televisi favorit Xandra yang biasa mereka tonton sebelum pergi tidur.
Sekembalinya ke kamarnya, Andini hanya melanjutkan merangkum materi IPA selama satu jam kemudian memutuskan untuk mematikan lampu kamarnya dan pergi tidur. Sebelum tidur tak lupa Andini mengecek ponselnya, barangkali ada pesan dari Marina yang terlewat olehnya. Ternyata benar-benar ada pesan dari Marina yang dikirimkan saat Andini sedang menyantap camilan malamnya tadi.
"Ada kabar apa hari ini, An? Bagaimana hari terakhir MOS di Harapan Baru?"
"Tidak ada kabar yang spesial. Hanya penutupan MOS."
"Aku juga. Untunglah hari ini datang juga. Aku muak sekali satu kelompok MOS dengan Mikayla."
"Berlebihan sekali kamu. Memangnya apa lagi yang diperbuat Mikayla?"
"Ini dan itu. Terlalu panjang untuk diceritakan sekarang. Nanti saja kalau ada waktu luang aku akan main ke rumahmu dan menceritakannya."
"Aku akan menunggu datangnya hari itu. Oh, sebelum aku lupa menanyakannya. Apa sekolah sudah menanyakan tentang ekstrakulikuler?"
"Tentu sudah. Setelah selesai MOS hari ini wali kelas kami membicarakan tentang kegiatan ekstrakulikuler yang wajib kami ikuti. Sepertinya aku akan memilih ekskul badminton. Kalau kamu?"
"Aku terpikirkan untuk mengikuti ekstrakulikuler basket. Penasaran saja bagaimana rasanya bermain basket dengan serius hingga mengikuti kompetisi. Meski aku tidak yakin aku akan bisa bermain sebagai pemain inti nantinya. Kamu tau betapa buruknya aku bermain basket."
"Benar, aku tau karena kamu juga selalu mendapat nilai standar rata-rata saat guru olahraga memutuskan kita harus melakukan olahraga basket atau kasti."
"Aduh, kasti! Benar-benar pengalaman buruk. Aku selalu kena timpukan bola oleh Ares saat bermain kasti. Menyebalkan sekali!"
"Anak laki-laki di kelas kita tidak berbelas kasih saat bermain kasti bersama. Aku juga selalu kena timpukan bola."
"Itulah sebabnya aku tidak suka anak laki-laki di kelas kita. Mereka menyebalkan semua. Ah, ternyata sudah malam. Aku tidur dulu ya, Marina. Selamat malam."
"Kamu tau aku juga tidak menyukai mereka, terutama Ares. Huh! Eh, benar, sudah semalam ini ternyata. Selamat malam juga, Andini."
Andini tidak tau berapa banyak pulsa teleponnya yang kali ini dia habiskan untuk mengobrol melalui SMS dengan Marina. Andini sedikit bergidik ketika membayangkan Maya akan memarahinya karena belum dua minggu dan Andini sudah hampir menghabiskan pulsanya lagi. Sepertinya kali ini Andini harus diam-diam membeli pulsa dengan uang jajan miliknya demi menghindari kemarahan Maya.
***
Andini tiba di sekolah pukul enam lewat empat puluh lima pagi. Masuk ke dalam ruang kelasnya, Andini melihat Teresa telah duduk di tengah barisan tempat duduk seperti kemarin. Andini menyapa Teresa sambil masih menggendong tas ransel abu-abunya.
“Mau duduk bersamaku?” tanya Teresa.
“Tentu saja!” jawab Andini dengan lega. Andini memang berharap Teresa mengajaknya duduk sebangku, karena jujur saja rasanya enggan sekali mengajak anak lain untuk duduk sebangku dengannya. Andini belum terlalu akrab dengan mereka.
Andini meletakkan tasnya disamping meja lalu duduk dibangkunya di sebelah Teresa. Di bangku di depan mereka sudah ada sebuah tas berwarna hitam. Andini tidak tau siapa pemilik tas itu makanya itu Andini bertanya kepada Teresa.
“Oh, itu tas Nadia. Kamu ingat kan Nadia Putri?” Teresa balik bertanya.
Nadia Putri. Beberapa hari ini Andini sering mendengar namanya. Ah, tentu saja karena Nadia Putri adalah teman sekelasnya yang sama-sama mengikuti MOS bersamanya dan Teresa. Tapi bukan karena itu Andini merasa sering mendengar nama Nadia Putri.
“Apa dia salah satu dari ketiga teman yang sering kamu bicarakan?” tanya Andini.
“Benar, Andini! Kamu ingat rupanya!” Teresa menganggukkan kepalanya bersemangat karena terlalu senang. “Selain Nadia Putri, ada dua orang lagi teman baikku dari Sekolah Dasar Harapan Baru yaitu Novia Surya dan Rozie Fang.”
Andini mengangguk paham.
“Nadia duduk di depan kita? Sendirian?”
“Iya, sendirian. Karena bangku di kelas ini untuk tiga puluh murid, sedangkan jumlah kita kan hanya dua puluh sembilan sekarang.”
“Ah, benar juga. Aku lupa.”
Teresa tertawa kecil mendengarnya.
“Kalau begitu, apa kamu tidak mau duduk bersama Nadia? Aku tidak apa-apa kok kalau harus duduk sendirian.
“Tidak apa-apa, Andini. Di depan Nadia ada Rozie dan Novia, dan dibelakangnya ada kita. Nadia tidak akan kesepian walau duduk sendirian.”
“Baiklah kalau kamu berkata begitu.”
Bel sekolah berdentang beberapa kali. Tandanya sudah waktunya mereka memulai pelajaran. Pelajaran di jam pertama adalah pelajaran IPA. Guru mata pelajaran IPA, Bu Hani, memasuki ruangan. Pelajaran dimulai segera setelah Bu Hani menyuruh semua murid kelas satu membuka halaman pelajaran pada buku pelajaran IPA. Bab pertama pelajaran IPA pertama di kelas satu SMP yang Andini ikuti ini membahas tentang objek IPA dan pengamatannya. Andini mengingat sedikit materi ini karena sehari sebelumnya telah merangkum bab satu di rumah. Dalam kamus Andini merangkum hanya merangkum, bukan berarti Andini mengingat setiap detail materi yang dirangkumnya ke dalam buku catatan khususnya.
Teresa membantu Andini dengan menjelaskan beberapa bagian yang Andini masih membuat Andini bingung bahkan setelah Bu Hani menjelaskannya barusan. Teresa yang mampu menjelaskan materi IPA bab pertama membuat Andini berpikir Teresa pasti anak yang termasuk pintar di kelasnya saat di sekolah dasar. Andini pasti akan menanyakan tentang ini kalau mereka sudah lebih akrab nantinya.
Tanpa terasa enam setengah jam sudah berlalu. Pelajaran terakhir Andini hari ini yaitu Bahasa Indonesia pun akan segera berakhir. Ketika anak-anak kelas satu sibuk membereskan buku dan alat tulis yang berserakan di meja mereka, Pak Andre mengetuk meja beberapa kali untuk mengalihkan perhatian anak-anak kelas satu kembali kepadanya. Setelah anak-anak kelas satu fokus menatap Pak Andre, beliau meminta ketua kelas mereka, Novia, membagikan sebuah lembaran. Lembaran itu ternyata lembaran formulir kegiatan ekstrakulikuler.
Andini tau kalau anak-anak Sekolah SMP Harapan Bunda diwajibkan mengikuti ekstrakulikuler, tetapi Andini tidak tau bahwa mereka harus mengisi sebuah formulir pendaftaran terlebih dahulu sebelumnya. Andini menerima lembaran tersebut dari Novia seraya mengumamkan terima kasih kepadanya. Andini melihat ada enam pilihan ekstrakulier yang dapat dipilihnya. Pilihan ekstrakulikuler tersebut adalah Basket, Badminton, Teater, Voli, Sepak Bola, dan Renang.
“Kamu masih tetap ingin memilih ekstrakulikuler basket?” tanya Teresa sekali lagi. Sepertinya Teresa agak tidak yakin dengan pilihan kegiatan ekstrakulikuler Andini. Mungkin saja Teresa merasa badan Andini yang kurus agak tidak cocok dengan olahraga yang membutuhkan banyak energi ini.
“Iya, aku akan memilih ekstrakulikuler basket. Aku sekarang sedang tertarik dengan basket,” jawab Andini.
“Begitu ya? Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi. Kalau aku sendiri, aku akan memilih teater.”
“Kamu tetap memilih teater?”
“Iya, aku ingin mencoba teater. Aku juga tertarik dengan ekstrakulikuler teater sejak pertama kali mendengarnya dari para kakak kelas dua.”
Teresa kemudian bertanya kepada ketiga temannya tentang ekstrakulikuler pilihan mereka. Nadia memilih ikut ekstrakulikuler renang, sedangkan Novia dan Rozie memilih ikut ekstrakulikuler badminton. Andini mendengarkan jawaban mereka dan mengangguk. Tidak ada satu pun dari ketiga teman baik Teresa yang memilih ekstrakulikuler basket.
Andini menatap kedua murid kelas satu yang sudah cukup dikenalnya yang duduk di belakangnya dan Teresa. Mereka adalah Christi dan Hilda. Andini bertanya kepada Christi dan Hilda tentang pilihan ekstrakulikuler mereka. Christi menjawab kalau dia memilih ekstrakulikuler badminton, sedangkan Hilda menjawab kalau dia memilih ekstrakulikuler basket. Andini merasa luar biasa senang ketika mendengar jawaban Hilda. Akhirnya dia memiliki teman yang akan mengikuti ekstrakulikuler bersama.
Pak Andre kembali mengalihkan perhatian mereka dengan mengatakan bahwa mereka semua harus mengisi formulir tersebut dan formulirnya harus ditandatangani oleh salah satu orangtua sebelum dikembalikan kepada Pak Andre. Setelah berdoa, murid-murid kelas satu akhirnya diperbolehkan pulang oleh Pak Andre.
Pulang sekolah hari ini Andini kembali di jemput oleh mbak Kinar karena sudah pasti Leon tidak dapat menjemputnya karena ini masih sibuk bekerja. Karena formulir pendaftaran belum Andini masukan ke dalam tas, Kinar mengambil formulir itu dari tangan Andini, berniat untuk memasukkan formulir itu ke dalam tas Andini. Namun judul formulir itu yang diketik dalam huruf besar dan font yang besar pula, menarik perhatian Kinar.
“Ini formulir apa kak?” tanya mbak Kinar.
“Formulir untuk ekstrakulikuler.”
“Ekstrakulikuler?”
“Kayak mata pelajaran ekstra di luar jam pelajaran gitu. Biasanya olahraga atau seni. Tapi seni hanya ada satu, seni teater. Sedangkan yang lainnya olahraga semua.”
Kinar mengangguk paham, “Kak Andini memilih ikut apa?”
“Basket.”
“Memangnya kak Andini bisa bermain basket?”
“Ih, mbak Kinar! Andini enggak bisa makanya ikut ekstrakulikuler basket. Belajar sampai bisa!”
“Baiklah, kak,” sahut Kinar seraya menyembunyikan senyumnya. “Ayo keluar. Itu angkutan umumnya sudah ada di depan."