HARI TERAKHIR MOS

1716 Words
Suara ketukan pintu kamarnya membuat Andini terbangun. “Andini, ayo bangun! Sudah hampir jam enam pagi.” Mendengar suara Maya, Andini membuka matanya dan bergumam menyahuti kalau dirinya sudah bangun. “Cepetan mandi. Nanti kamu berangkat bareng papa ke sekolah,” teriak Maya lagi karena Andini tidak kunjung keluar dari kamarnya. “Iya, Mama,” Andini balas berteriak untuk meyakinkan Maya bahwa dirinya sudah bangun dan sedang bersiap untuk pergi mandi. Andini bangun dari tempat tidur, kemudian berjalan menuju lemari bajunya untuk mempersiapkan seragam sekolahnya hari ini. Hari ini Andini masih mengenakan seragam sekolah dasarnya, yaitu seragam putih merah. Untung saja Maya masih menyimpan seragam sekolah dasarnya, kalau tidak, itu akan sungguh repot jika Maya harus membeli yang baru padahal hanya untuk Andini pakai selama tiga hari masa orientasi atau pengakraban diri seperti yang dikatakan anggota OSIS SMP Harapan Bunda. Andini memastikan seragam dan atributnya lengkap, lalu mengambil handuk mandinya, dan segera pergi mandi. Selesai mandi, mengeringkan rambut, dan menyisir rambutnya, Andini memakan sarapan buatan Maya. Sarapan hari ini sederhana, roti lapis isi coklat kacang yang dipanggang dalam mesin panggangan roti. “Kalau sudah selesai makan, jangan lupa masukan kotak bekal ini ke dalam tas sekolahmu. Papa sudah menunggu kamu di halaman depan.” “Baik, Mama!” ucap Andini dengan mulut penuh roti. Sambil memakan rotinya, Andini mengamati kamar orangtuanya. Andini berpikir betapa enaknya jadi Xandra karena tidak harus bangun sepagi ini untuk pergi ke sekolah. Xandra bersekolah di sekolah dasar yang sama dengan Andini, di mana sekolah dasar ini hanya berjarak sepuluh menit menggunakan sepeda motor dari rumah mereka. Sekolah Andini jaraknya lebih jauh sedikit, apalagi banyak pemukiman penduduk yang dijadikan tempat jualan, jadi bukan tidak mungkin terjebak macet dalam perjalanan ke sekolah barunya itu. Andini bisa saja menggunakan sepedanya ke sekolah, tetapi orangtuanya tidak mengizinkan, alasannya karena pagi-pagi begini banyak kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat yang lalu lalang, mereka jadi cemas seandainya Andini terluka dalam perjalanan ke sekolah. Tetapi Andini merasa itu bukan alasan yang sebenarnya. Ada kemungkinan bahwa Leon dan Maya tidak mau Andini pulang sore seperti waktu di sekolah dasar dulu, jadinya mereka tidak mengizinkan Andini pergi ke sekolah dengan menggunakan sepedanya. “Mama, apa Andini boleh naik sepeda ke sekolah kalau sudah hafal benar jalan ke sekolahnya?” Andini mencoba membujuk Maya, karena dengan begitu Andini tidak perlu bangun sepagi ini untuk berangkat ke sekolah. Bukannya menghina, tetapi menurut Andini, cara Leon mengemudikan motor itu terlalu lambat. Yang seharusnya mungkin bisa sampai ke sekolah dalam waktu dua puluh menit malah jadi dua puluh lima menit atau bahkan tiga puluh menit baru sampai ke sekolah. Kalau Andini mengayuh sepedanya sendiri untuk berangkat ke sekolah, Andini bisa berangkat lebih siang dan mengebut mengayuh sepedanya agar bisa sampai ke sekolah sebelum bel masuk berbunyi. Maya terlihat berpikir sejenak sebelum mengangguk, “nanti Mama bicarakan dulu dengan Papa.” Andini mengangguk muram. Habislah sudah. Pastinya Leon tidak akan mengizinkannya bersepeda ke sekolah. Tidak mau terlalu pusing memikirkan penolakan tidak langsung dari Maya, Andini dengan cepat menyelesaikan sarapannya dan meminum s**u full cream favoritnya, “Andini berangkat ya, mama,” pamitnya pada Maya. Tidak lupa Andini menyimpan kotak bekal ke dalam tas sekolahnya. “Jangan lupa bekalnya, Kak!” “Andini enggak lupa kok, Mama. Sampai jumpa nanti sepulang sekolah!” Perjalanan ke sekolah tidak terlalu terasa, karena masih pagi jadi jalanan menuju ke sekolah masih cukup sepi. Andini berpamitan kepada Leon begitu mereka sampai di sekolah dan melompat dengan riang keluar dari mobil. Andini berlari kecil menuju kelasnya. Tidak sabar menemui teman barunya, Teresa. Sesampainya di kelas, Andini memperhatikan kalau Teresa terlihat sedang kebingungan. “Ada apa, Teresa?” tanya Andini pada Teresa setelah menaruh tas dan perlengkapannya hari ini di tempat duduknya. “Name tag aku hilang.” “Apa? Bagaimana mungkin hilang? Apa kamu lupa membawanya?” “Tadi aku bawa! Aku tinggalkan di meja saat aku pergi ke toilet.” Padahal yang kehilangan barang adalah Teresa tapi Andini ikut merasa pusing karenanya. Apa yang harus Andini lakukan? “Apa yang harus aku lakukan?” Teresa bertanya dengan cemas ketika Andini terdiam dan tidak melakukan apa-apa, sama sepertinya. “Bagaimana kalau kita melapor ke guru? Mungkin saja petugas sekolah berpikir name tag itu ketinggalan dan memberikannya pada guru?” “Kamu benar!” sahut Teresa bersemangat dan langsung mengajak Andini pergi ke ruang guru untuk bertanya soal name tag-nya. Pintu ruang guru yang selalu terbuka lebar tidak menyurutkan sikap sopan Andini, dia tetap mengetuk pintu sebelum melangkah masuk ke dalam ruang guru. Andini menundukkan kepalanya sedikit lalu bertanya kepada seorang guru yang terlihat sedang sibuk mengurusi lembaran-lembaran soal, “Permisi Pak, kami mau bertanya.” Pak guru mendonggakkan kepalanya, melihat kedua murid perempuan yang ada di depan pintu, beliau mempersilahkan keduanya untuk maju dan duduk di kursi di hadapannya. “Pak, kami mau tanya, apa petugas sekolah ada menemukan name tag seorang siswi kelas satu?” “Name tag kamu hilang?” bapak guru itu malah balik bertanya. “Tidak, Pak. Name tag teman saya yang hilang.” “Siapa nama kamu?” tanya bapak guru pada Teresa yang duduk dengan kepala menunduk di sebelahnya. “Teresa Shalom, Pak.” “Oh ternyata itu name tag kepunyaan kamu. Tunggu sebentar bapak ambilkan dulu.” Keduanya mendesah lega. “Syukurlah benar ada di ruang guru ya, Teresa." Teresa mengangguk, “Terima kasih ya, Andini.” “Sama-sama, Teresa.” “Lain kali jangan pernah meninggalkan name tag kamu di kelas ya. Pak Ramli tadi berpikir ini punya siswi kelas tujuh yang tertinggal kemarin, karena tergeletak begitu saja di meja yang tidak ada tas di tempat duduknya,” pesan Pak Heru pada Teresa. Muka Teresa memerah mendengar teguran itu. Dia menyadari kesalahannya yang menaruh name tag miliknya di meja belakang yang belum datang penghuninya. Teresa mengangguk dan menjawab mengerti. “Kembalilah ke kelas kalian.” Kedua mengangguk, serempak menjawab iya, lalu mereka segera kembali ke kelas. Baru keesokan harinya mereka berdua tau bahwa yang membantu mereka tadi adalah guru pelajaran matematika bernama Pak Heru. Pak Heru termasuk guru paling muda yang mengajar di bagian sekolah menengah pertama di sekolah Harapan Bunda ini. Setelah memakai name tag dan membawa alat tulis, Andini bersama Teresa menuju lapangan bola. Seperti biasanya, hari ini pun mereka diwajibkan untuk berbaris di lapangan sebelum memulai kegiatan mereka hari ini. Anak-anak baru diberikan pengarahan selama sepuluh menit sebelum mereka memulai kegiatan olahraga pagi. Terlihat ada satu kelas lain yang juga ada di lapangan hari ini. Sepertinya anak kelas delapan juga ada pelajaran olahraga pada jam ini. Andini pun tidak kuasa untuk tidak melihat anak-anak kelas delapan berolahraga. Tentu saja tujuan Andini hanya satu, yaitu mencari keberadaan Nicholas diantara sekumpulan anak kelas delapan itu. “Ngeliatin apa kamu?” tanya Teresa tiba-tiba. Andini sedikit terkaget, “Aku melihat mereka.” “Ah, anak kelas dua. Sepertinya ini jam olahraga mereka. Hari rabu memang ada pelajaran olahraga untuk seluruh kelas. Jamnya bergantian. Sepertinya tahun ini anak kelas dua mendapat giliran pagi.” “Kamu tau banyak ya.” “Tentu saja! Kakaknya Christi kan anak kelas dua, aku tau dari dia.” Andini mengangguk paham. “Andini, kita harus fokus! Nanti kita kena marah!” “Baiklah!” sahut Andini riang. Suasana hatinya mendadak menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya karena melihat Nicholas di lapangan pagi ini. Berolahraga bersama di satu lapangan. Yah, walaupun tidak benar-benar bersama sih olahraganya. Mendengarkan saran Teresa, Andini pun fokus memperhatikan kakak kelas dan guru olahraga yang menunjukkan gerakan senam pada anak-anak kelas satu dan anak-anak kelas dua. Selama tiga puluh menit mereka berolahraga. Kemudian mereka diberikan waktu dua puluh menit untuk berganti baju dan beristirahat sebelum melanjutkan ke kegiatan berikutnya. Waktu berlalu cepat. Tidak terasa ini sudah hampir waktunya pulang sekolah. Andini berlari kecil bersama Teresa menuju barisan mereka. Lagi-lagi mereka harus mendengarkan pengarahan dari anggota OSIS pada penutupan kegiatan terakhir mereka hari ini. Walau merasa bosan dan capek setengah mati, Andini terpaksa berdiri dengan tegak dan melihat ke depan berpura-pura fokus. “Kegiatan untuk murid kelas satu berakhir. Nah, adik-adik kelasku tercinta, mulai hari ini kalian resmi sebagai murid kelas satu SMP Harapan Bunda,” kata ketua OSIS menutup kegiatan MOS untuk para murid baru. Mereka semua bertepuk tangan. Barisan anak-anak kelas satu langsung dibubarkan. Lapangan terlihat cukup kacau karena anak-anak kelas satu segera berlari begitu mereka dibubarkan oleh ketua OSIS. Hanya ada beberapa anak termasuk Andini dan Teresa dan berjalan perlahan menuju kelas mereka. Sebelum pidato ketua OSIS selesai tadi, dia juga menyampaikan bahwa anak-anak kelas satu tidak boleh langsung pulang karena katanya wali kelas mereka akan memberikan pengarahan sedikit. Jadi anak-anak kelas satu terpaksa kembali ke kelas mereka dahulu sebelum pulang. “Ngomong-ngomong kamu sudah terpikir mau ikut ekstrakulikuler apa?” tanya Teresa. “Entahlah. Selain basket dan badminton memangnya ada ekstrakulikuler apa lagi? “Aku juga kurang tau. Tapi setau aku ada ekstrakulikuler teater. Aku mau mencoba itu. Kamu mau?” Andini menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Kenapa?” “Tidak ada alasan. Aku hanya merasa aku bukanlah orang yang cocok dengan teater. Kamu tau, demam panggung.” “Ah, demam panggung toh. Eh, tunggu dulu, Andini, berarti kamu sudah pernah pentas?” “Sudah saat kelas lima,” jawab Andini malu-malu. “Kamu hebat.” “Apaan sih, Teresa!” Teresa tertawa kecil mendengar Andini menyahut malu-malu. Pengarahan dari wali kelas untuk kegiatan belajar mengajar mereka besok hari tidak berlangsung lama. Kelas pun diakhiri dengan berdoa menurut keyakinan masing-masing. Selesai berdoa, mereka pun keluar dari kelas dengan riang dan bersemangat. “Kamu dijemput?” “Iya, mbak yang kerja di rumah aku yang menjemput.” “Rumah kamu memangnya di mana?” “Cukup dekat dari sini kok. Aku tinggal di Perumahan Permata Baru.” “Perumahan Permata Baru?” “Aku tidak tau bagaimana cara menjelaskannya,” sahut Andini seraya tertawa. Karena sebelumnya sekolahnya sangat jauh dari rumah, lalu tiba-tiba dua tahun lalu dia pindah ke sekolah dekat rumahnya. Walau sudah pernah bersepeda ke mana-mana bersama teman-temannya di sekolah dasar ang baru ini, tapi Andini tetap masih tidak tau beberapa jalan. Terutama jalan menuju sekolah harapan bunda ini. “Baiklah, aku tidak akan bertanya kalau kamu bingung.” “Maaf ya aku tidak bisa menjelaskannya. Aku belum tau jalan.” Teresa mengangguk. “Ah, itu mbak Kinar. Aku duluan ya, Teresa.” “Baiklah, Andini, sampai jumpa besok!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD