HARI PERTAMA SEBAGAI SISWI SMP

2103 Words
Hari senin minggu ketiga di bulan Juli tahun dua ribu lima adalah hari pertama Andini masuk sekolah di Sekolah Menengah Pertama Harapan Bunda. Seperti biasa anak-anak baru di kelas satu wajib mengikuti kegiatan pengakraban diri dengan seluruh siswa-siswi sekolah Harapan Bunda yang biasa disebut dengan Masa Orientasi Siswa atau MOS. Kewajiban mengikuti kegiatan MOS ini membuat Andini dan murid-murid kelas satu lainnya berdiri dengan rapi dalam sejumlah barisan di lapangan sepak bola sekolah Harapan Bunda. Sekolah Harapan Bunda bukan hanya sekolah menengah pertama saja, tetapi juga ada taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan sekolah menengah atas. Kebanyakan teman-teman barunya di sekolah Harapan Bunda ini berasal dari sekolah dasar yang sama yaitu Harapan Bunda. Hanya Andini dan seorang siswi lain yang bukan berasal dari sekolah dasar Harapan Bunda. Andini yang berdiri di barisan terdepan diarahkan untuk maju lebih ke depan lagi oleh anggota OSIS agar siswa kelas satu lainnya juga bisa memberi jarak pada barisan mereka. Sebelum memulai kegiatan mereka, wali kelas kelas satu yaitu bapak Andre memberikan pengarahan. Pengarahan dari pak Andre sangat singkat, yaitu supaya anak-anak kelas satu mendengarkan arahan dari siswa yang lebih senior serta anggota OSIS dan diharapkan tidak ada yang berbuat onar yang dapat mengacaukan kegiatan MOS untuk para siswa baru ini. Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi, sekarang waktunya kegiatan meminta tanda tangan seluruh anggota OSIS berserta nama mereka. Andini pun telah bersiap, di tangannya terdapat buku tulis yang belum pernah terpakai dan sebuah pulpen. Andini yang belum mendapatkan teman di hari pertamanya sekolah ini pun memutuskan untuk langsung pergi meminta tanda tangan anggota OSIS sendirian. Setelah mendapatkan tanda tangan tiga orang senior di lapangan bola dan dekat kantin sekolah, Andini pun memutuskan untuk pergi ke lapangan bola basket sekaligus lapangan parkir sekolah Harapan Bunda, dan berharap menemukan beberapa senior untuk diminta tanda tangan dan namanya. Tiba-tiba datang dua orang siswa yang sepertinya siswa senior, menghampiri Andini. “Hai,” salah satu dari dua orang siswa tersebut menyapa Andini. Siswa yang menyapanya itu terlihat tampan dan memiliki kulit putih yang akan membuat para siswi iri. Andini menatap siswa tersebut dan berpikir mengapa seniornya itu terlihat familiar di matanya, “Hai juga, kak. Apa kakak anggota OSIS?” Siswa tersebut menggelengkan kepalanya. Siswa yang berkulit lebih gelap yang berdiri di belakang siswa yang menyapa Andini pun melangkah maju ke depan dan berkata pada Andini, “Hai, adik kelas,” siswa berkulit gelap itu menyapanya, “kenalin, nama aku Danta Sion dan yang berdiri di sebelah aku ini adalah sahabat aku, Nicholas Diego." "Halo, kak Danta, kak Nicholas." "Oh iya, Nicholas ada mau tanya sesuatu sama kamu. Boleh ya?” “Boleh, kak. Mau tanya apa, kak Nicholas?” “Kamu pernah datang ke rumah di Jalan Jambu Batu Nomor 12A?” Andini mengerjapkan matanya, merasa bingung. Alamat tersebut tidak pernah dikenalnya. “Sepertinya tidak pernah, kak Nicholas,” jawab Andini jujur. “Begitu ya,” komentar Nicholas datar, kemudian dia berbalik pergi begitu saja. “Adik kelas nama kamu siapa?” tanya Danta yang lagi-lagi maju ke depan menggantikan Nicholas yang pergi begitu saja dari hadapan Andini. “Andini Pradipta.” “Okay, Andini. Maaf banget soal Nicholas, dia memang begitu orangnya.” “Iya, enggak apa-apa, kak Danta.” “Thanks,” ujar Danta seraya menepuk lengan Andini pelan, lalu berbalik untuk mengejar Nicholas yang sudah berjalan cukup jauh. Andini pun melanjutkan kegiatannya sambil memikirkan kakak kelasnya yang bernama Nicholas yang berbicara padanya tadi. Rasanya wajah Nicholas sangat familiar untuknya, di mana Andini pernah bertemu dengannya? Andini tidak pernah mendapatkan jawaban pertanyaan itu hingga saat pulang sekolah dia melewati sebuah jalan yang biasa dilaluinya saat pulang sekolah bersama teman-temannya di sekolah dasar. Ah! Jangan-jangan pacar Nadine yang waktu itu adalah kak Nicholas? Sesampainya di rumah, Andini yang penasaran dengan kebenerannya pun mengiriman SMS kepada Marina dan menanyakan apakah dia tau alamat tempat tinggal Nadine. "Alamat Nadine? Enggak tau. Aku aja udah enggak ingat rumahnya yang mana." Andini mengeluhkan memori sahabatnya yang cukup pendek di saat seperti. Sama seperti Marina, terkadang Andini pun lupa pada hal-hal kecil yang hanya dilihat atau didengar sekali saja. "Percaya atau enggak, aku ketemu sama anak laki-laki itu. Aku cukup yakin itu dia, dan dia tadi nanya sama aku apa aku tau alamat Jalan Jambu Batu No, 12A? Lah aku pas datang ke rumah Nadine kan bareng kamu dan Yiren, mana tau alamatnya. Aku nanya sama kamu, aku pikir kamu ada tau alamantya gitu." "Kamu yakin itu dia, Andini?" "Cukup yakin. Mirip banget sih! Namanya Nicholas Diego." "Okay, namanya Nicholas toh. Jadi kamu masih naksir dia ceritanya?" Andini berguling di kasur, kesal sekaligus gemas kenapa sahabatnya mengungkit soal naksir itu, "Apaan sih? Enggak naksir kok." "Terus kenapa pingin tau soal alamat Nadine coba? Kalau alamatnya sama kayak yang disebutin Nicholas, kamu mau bilang, eh iya kak ternyata aku pernah ke sana begitu?" Andini mencebikkan bibirnya, "Mana berani aku kayak gitu. Kamu kayak enggak tau aku aja sih." "Lagian penasarannya menggebu-gebu banget gitu." "Ih, Marina!" Andini bangkit dari tempat tidurnya lalu menaruh ponsel pemberian ibunya ke dalam laci meja belajar, kemudian Andini mulai membuka buku pelajaran bahasa indonesia. Sebagai murid sekolah swasta, bahasa indonesia memiliki nilai yang cukup rendah, kata gurunya saat sekolah dasar itu cukup wajar karena sekolah swasta lebih menekankan pendidikan bahasa inggris. Andini kurang mengerti maksud gurunya, tetapi mengikuti saran dari gurunya saat di sekolah dasar, Andini pun memilih mempelajari mata pelajaran bahasa indonesia terlebih dahulu. Hitung-hitung memulai terlebih dahulu sebelum pelajaran sebenarnya berlangsung. Tiga puluh menit kemudian, Andini yang telah merasa bosan dan mengantuk pun menutup buku pelajaran bahasa indonesia, lalu melangkah keluar dari kamarnya. Andini melihat ibunya sedang bercengkrama dengan adiknya, Xandra, sambil menonton televisi yang menyiarkan tayangan berita. “Sudah belajarnya?” tanya Maya, ibu Andini, begitu melihat puterinya keluar dari kamarnya. “Sudah, Mama. Andini mau makan malam dulu.” “Lauknya mau mama panasin?” “Enggak usah, Mama. Nasinya masih hangat, aku bisa menaruh lauknya di bawah nasi supaya lauknya ikut jadi hangat.” Maya mengangguk dan kembali bercengkrama dengan Xandra. Selesai makan malam, Andini langsung kembali ke kamarnya dan berusaha kembali belajar. Tetapi tentu saja, khas Andini, tidak sampai setengah Andini sudah merasa bosan kembali. Andini pun mengeluarkan ponselnya dari laci meja belajarnya dan mengirimkan pesan ke Marina. "Bagaimana hari pertama sekolah?" Marina membalasnya tidak lama kemudian. "Biasa aja. Enggak enaknya, lagi-lagi sekelas sama Cindy." Andini pun tertawa kecil membaca balasan SMS dari Marina, "Masalah besar kalau begitu. Ada teman baru?" "Banyak anak baru. Bagus juga lah dibanding ketemu sama yang itu-itu aja. Lagian anak yang masuk SMP juga enggak banyak. Kalau teman? Belum ada." "Aku juga belum dapat teman baru. Yang tidak berasal dari Harapan Bunda hanya aku dan Silvia. Dua puluh lima siswa-siswi lainnya berasal dari sekolah dasar Harapan Bunda." "Berusahalah berteman. Itu bisa membantu kamu belajar." "Aku tau." Andini mematikan ponselnya dan memasukkan kembali ke dalam laci meja belajarnya. Karena ponsel tidak boleh dibawa ke sekolah jadi percuma saja kalau Andini mengisi ulang baterai ponselnya sekarang. Andini menyalakan lampu tidurnya dan mematikan lampu utama dikamarnya, lalu beranjak menuju kasur. Sambil berbaring di tempat tidurnya, Andini pun jadi terpikiran pertemuannya dengan Nicholas siang tadi. Aku yakin anak laki-laki waktu itu adalah kak Nicholas. Andini menghela nafas panjang. Merasa jawabannya tadi cukup bodoh. Kalau saja dia mengiyakan pertanyaan Nicholas mungkin sekarang keadaan akan sedikit berbeda. Apa yang akan terjadi kalau aku tadi menjawab tau ya? Apa aku akan jadi akrab dengan anak-anak kelas dua lainnya? Ketukan di pintu kamarnya membuat Andini menoleh ke arah pintu, “Iya?” tanya Andini kepada si pengetuk pintu yang tidak lain adalah Maya, mamanya. Maya membuka pintu dan masuk ke dalam kamar Andini, “Sudah mau tidur, Kak?” Andini menganggukkan kepalanya. “Kamu sudah belajar mata pelajaran apa hari ini?” “Di sekolah aku belum belajar, Mama. Nanti hari kamis baru mulai kegiatan belajarnya.” “Kalau barusan kamu belajar apa?” “Bahasa indonesia,” jawab Andini takut-takut. “Hm, kalau begitu besok kamu belajar pelajaran lainnya ya. Terutama di pelajaran yang enggak kamu kuasai kayak matematika.” Andini mengangguk, “Iya, Mama.” “Ya sudah, tidurlah. Selamat malam, Andini.” “Selamat malam, Mama.” *** Andini kembali ke sekolah dengan peralatan tempur lengkap, sesuai yang diarahkan oleh anggota OSIS. Hari ini Andini dan teman-temannya harus mengenakan kalung name tag dari kardus dan tali rafia lalu topi kerucut dari kertas koran bekas. Di name tag tersebut berisikan nama, kelas, dan cita-cita. Andini menuliskan penulis buku sebagai cita-citanya, karena sejak dulu Andini sangat suka membaca buku cerita terutama buku komik. Maya tidak setuju dengan penulisan cita-cita di name tag Andini, tetapi karena Leon berkata padanya tidak masalah toh itu hanya sekedar tulisan, jadi Maya membiarkan Andini mengenakan name tag tersebut. Andini tau kedua orangtuanya tidak suka dengan kegiatan favorit Andini-membaca buku terutama buku komik-karena itu komik adalah hal terlarang saat sekolah berlangsung. Baru saat libur tiba, Andini dan Xandra diizinkan untuk membaca komik, bermain playstation, dan bermain barbie. Sampai saat ini Andini masih sangat menyukai bermain boneka barbie, alasannya sederhana, karena bermain boneka itu berarti Andini bisa mengarahkan bonekanya dalam berbagai situasi, misalkan Barbie mandi lalu pergi naik mobil untuk berkencan dengan Ken. Seperti membuat cerita sendiri. Walau Andini biasa bermain barbie berdua dengan adiknya, Xandra, tetapi itu tidak mengurangi kesukaan bermain boneka barbie. Mungkin Andini dan Xandra akan terus bermain boneka barbie hingga Xandra bosan bermain boneka barbie. Begitu adiknya merasa bosan, mainan tersebut pasti akan disimpan ke gudang oleh orangtuanya. Atau malah bisa saja begitu naik ke kelas dua nanti, Andini akan dilarang oleh Leon dan Maya untuk bermain boneka barbie. Andini tidak akan bisa menahan rasa irinya kalau hanya Xandra yang masih diizinkan bermain boneka barbie tahun depan. Para sepupunya kebanyakan seperti dirinya, hanya bisa bermain saat liburan, kecuali para sepupunya yang juga tinggal di Jakarta. Tiga bersaudara tersebut diizinkan bermain kapan pun karena nilai mereka sangat bagus setiap tahunnya. Andini bahkan merasa iri karena sepupunya itu dibelikan mainan The Sims yang sangat populer sekarang ini. “Sudah sampai nak,” suara Leon, papa Andini, membuat Andini tersadar dari lamunannya. “Andini pergi sekolah dulu, Papa,” Andini menyalam tangan Leon, kemudian turun dari mobil. Andini pergi ke lantai tiga dan langsung menuju ruang kelas satu untuk menaruh tasnya. Andini mengeluarkan buku tulis berisikan tandatangan para anggota OSIS dan sebuah pulpen dari dalam tasnya lalu kembali ke lantai bawah dan menuju ke arah lapangan sepak bola. Di tengah jalan Andini berpapasan dengan seorang siswi yang berjalan mondar-mandir di depan pintu yang menuju ke arah lapangan sepak bola, Andini pun memutuskan untuk menyapa siswi tersebut. “Hai, kamu anak kelas satu juga kan? Mau ke lapangan bola?” “Hai juga. Iya aku mau ke lapangan bola, tapi aku lupa bawa topi koran dan name tag aku.” “Ketinggalan di rumah?” “Iya, ketinggalan di kamar aku. Mama aku lagi ngambilin. Ngomong-ngomong, nama kamu siapa?” “Andini Pradipta. Kamu?” “Teresa Shalom. Oh iya, mama aku enggak akan lama ambilin name tag aku, soalnya mama aku guru taman kanak-kanak di sekolah Harapan Bunda ini. Jadi tempat tinggal kami dekat loh.” Andini mengerutkan dahinya, merasa sedikit heran mengapa Teresa membicarakan pekerjaan mamanya dan tempat tinggal padahal Andini tidak bertanya, “Oh ya? Wah, keren!” “Itu mama aku. Tunggu sebentar ya, Andini.” Setelah mamanya datang, Teresa mengambil dan memasang perlengkapannya. Melihat Teresa sudah siap, Andini mengajak Teresa untuk segera pergi ke lapangan bola. Mereka berjalan bersama menuju ke lapangan bola dan langsung berbaris sesuai arahan anggota OSIS, “Kalau Mama kamu guru berarti kalian tinggal di MES guru dong?” tanya Andini. “Iya kamu benar.” “Wah, enaknya. Kalau ketinggalan atau dasi tinggal lari sebentar doang buat ngambilnya.” Teresa tertawa, “kamu udah dapat berapa tanda tangan?” “Baru sepuluh. Seluruh anggota OSIS ada berapa ya?” “Entalah, aku juga kurang tau. Tapi kamu ingat kan anggota OSIS yang sudah kamu minta tandatangannya?” “Ingatlah. Masa bisa lupa sih. Kamu sendiri udah dapat berada tanda tangan?” Teresa membuka buku tulisnya dan menghitung jumlah tandatangan yang didapatnya, "Lima belas. Kayaknya itu belum semua.” “Waduh, sebenarnya ada berapa anggota mereka sih?” “Tidak tau deh. Mungkin ada dua puluhan?” “Sebanyak itu?” desah Andini muram. “Kita diberi waktu tiga hari di sela-sela kegiatan. Tenang saja. Bareng sama aku dan teman-teman yang lain pasti beres.” Andini mengangguk setuju. “Eh, ayo sini, Andini. Kamu dengarkan tadi kata mereka? Kita bisa minta tandatangan anggota OSIS sekarang sebelum senam pagi di mulai!” “Iya, aku dengar. Ayo kita pergi ke sana!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD