Seminggu kemudian, empat orang duduk di hadapan Hera, memperkenalkan diri sebagai pegawai baru. Ia dan Jeni memang belum begitu dekat, tapi suasana kantor dan rekan-rekannya membuat Hera nyaman bekerjasama dengan mereka.
Rekan-rekannya tampak sangat bersemangat, dan masing masing mempunyai karakter yang unik, sejenak Hera melupakan bahwa kantor ini sebenarnya hanya kamuflase yang di ciptakan Ruben.
Meskipun begitu, memiliki rekan yang menyenangkan membuat Hera merasa hari-harinya menjadi berwarna. Disana ada Priska , mahasiswa semester awal Sastra Indonesia, wajahnya selalu ceria dan bersemangat, dengan kacamata bulat yang membuatnya tampak sangat imut polos. Sebelum kerja disini dulu Priska adalah jurnalis majalah sekolah.
Lali ada Dio , ia mantan jurnalis lepas, cerdas dan kritis, dengan pertanyaan yang tidak pernah habis, mereka hampir seumuran. Jeni bilang Dio adalah harta karun bagi kantor ini.
Mbak Sinta, usia 30-an, mantan admin percetakan, rapi dan teliti.
Arman, mahasiswa tingkat akhir DKV, masih agak kikuk dan takut untuk bersosialisasi, tapi sangat pandai dalam mendesain.
Yang terakhir Sugianto, OB yang bertugas bersih-bersih kantor majalah percetakan Lumina.
“Kenapa memilih Lumina?” tanya Hera pada mereka satu persatu, secara terpisah. Sewaktu pertama kali bertemu. Masing-masing menjawab dengan unik, membuat Hera sulit melupakan mereka.
Priska menjawab cepat, “Saya ingin belajar dari nol, Mbak. Saya ingin tumbuh bersama dalam tim ini.”
Dio menatap Hera lama sebelum menjawab, “Saya penasaran, di era digital begini, masih ada yang berani terbitkan cetak. Berarti ada sesuatu yang berbeda, kan?” Senyum Hera menegang. Apakah Dio akan tetap sepercaya diri itu nanti?
Mbak Sinta menjawab singkat, “Butuh kerja tetap, Bu.”
Arman menggaruk kepala. “Saya… suka desain majalah. Itu… juga.. Lumayan buat portofolio saya nantinya.”
Hera sebenarnya mempunyai prediksi yang agak menyimpang tentang Dio, ia sedikit khawatir tentang pemuda tersebut, namin ia memilih mempercayai Jeni dan menepis semua pikiran negatifnya, ia ingin semuanya berjalan lancar, tanpa kendala apapun, mengingat semua ancaman yang Ruben berikan padanya.
Meskipun kantor mereka tidak begitu besar namun semua sesuai dengan porsinya, lantai dasar di isi meja panjang resepsionis dan administrasi, dijaga oleh Mbak Sinta.
Lantai dua adalah ruang redaksi, penuh meja panjang, komputer, tumpukan kertas. Priska duduk di sana menulis artikel lifestyle. Dio mengetik berita headline. Mereka berdua menangani banyak Jobesk, karena kantor mereka masih kekurangan pegawai. Hera juga terkadang mengawasi semua pekerjaan mereka dari dekat beruntung pekerjaan ini tidak jauh dari pekerjaan yang ia geluti selama ini.
Dan terakhir, lantai tiga adalah ruang Hera dan Asistennya, disebelah ruangan mereka ada ruangan rapat kecil.
Setiap minggu, Ruben mengirimkan sejumlah uang tunai dalam koper hitam. Tugas Hera dan Jeni membuatnya terlihat seperti pemasukan legal. Caranya sederhana tapi rumit, Ia menyusun kontrak iklan dengan perusahaan fiktif. Nama-nama perusahaan itu dipinjam dari toko-toko kecil yang bahkan tidak tahu kalau mereka “memasang iklan”.
Artikel advertorial ditulis Priska dengan sepenuh hati,, tentang “produk kecantikan baru” atau “seminar motivasi”. membuat majalah itu seperti majalah kebanyakan.
Layout Arman membuatnya tampak profesional.
Di atas kertas, semua tampak normal. Di baliknya, uang darah mengalir masuk.
###
“Pagi ini, anak anak pada sibuk cek email, jurusan lagi mutasi in Bu Ratna, jd semua anak yang di bimbingan Bu Ratna di pindahin ke Bu Leli” Kata Alexa
“Apa” Hera mulai panik
"oh, iya. Bu Ratna dosen pembimbing kamu kan Her?" tanya Davi mulai khawatir
Sejak awal semester, Hera dibimbing oleh ibu Ratna Widjajanti, M.A., dosen senior yang dikenal tegas tetapi adil. Topik skripsinya tentang “Representasi Moralitas dalam Novel-Novel Inggris Pascakolonial” sempat mendapat banyak revisi, tapi Hera merasa masih bisa bernapas dengan bimbingan Bu Ratna.
Sebab bu Ratna adalah dosen yang pengertian, meskipun galak di luar, hati beliau sangat lembut.
Hera memeriksa emailnya, handphonenya menampilkan sebuah pesan dari bagian akademik kampus;
“Sehubungan dengan adanya penyesuaian beban kerja dosen yang terlibat dalam riset kolaboratif internasional, beberapa mahasiswa bimbingan dialihkan.
Dengan ini, mahasiswa Hera Adnan ditetapkan beralih pembimbing dari Ratna Widjajanti, M.A. kepada Leli Anindya, S.S., M.A., dosen kajian sastra pascakolonial dan cultural studies.”
Hera membeku sejenak, lidahnya terasa kelu dan kakinya terasa kaku. Jantung seolah tidak mau kalah, Leli Anindya. Itu adalah nama kakak sepupunya. Orang yang sejak kecil memandang rendah keluarga Hera, tak pernah berhenti menuduh Hera dan ibunya sebagai “pembawa sial” bagi ayahnya, Adnan.
Hera mematikan layar handphone, telapak tangannya dingin. Baginya, ini bukan sekadar pergantian pembimbing. Ini perang terbuka yang diumumkan secara resmi oleh fakultas, hanya saja lawannya memakai jas dosen dan tanda tangan sah.
“Oh ya???, Hera, jadi dosen pembimbing barumu bu Leli ya? Katanya beliau jago banget kritik sastra, sering publikasi di jurnal internasional juga.”Alexa teman sekelas Hera, sangat bersemangat menjelaskan keberuntungan yang Hera miliki.
“Wih, hoki banget tuh. Bisa tambah keren skripsinya!” Sahut Davi, menyemangati.
Hera memperhatikan wajah teman-teman sekelasnya, namun pandangan matanya kosong, mereka tampak ceria dan bahagia, itu karena mereka belum mengerti masalah apa yang akan ia hadapi nanti.
Mereka tidak tahu luka lama di balik nama dosen itu.
Begitu mata kuliah slesai, Hera memberanikan diri menemui Bu Ratna di ruang dosen.
Hera merasa harus bertemu dengan bu Ratna, kalau perlu ia akan berlutut memohon apapun caranya, ia tidak ingin hubungan personal dirinya dengan Leli merusak rencana kuliah yang sudah ia jalani dengan susah payah. Sejauh ini ia mampu melangkah dan bertahan karena ia percaya pada diri sendiri. Ia memang tidak percaya pada siapapun, Hera memilih bergantung pada dirinya sendiri.
*
Ruang dosen fakultas tampak sepi sore itu. Lampu neon berdesir pelan, suara AC mendengung. Hera duduk dengan jantung berdegup, berkas skripsinya tergeletak di meja panjang, menunggu bu Ratna datang, ia sudah menungu disana selama satu jam. Hera menggoyangkan kakinya gelisah. Matanya melirik ke arah jam dinding, setiap 5 menit.
Dari jauh terlihat sesosok wanita separuh baya, sedang berjalan ke arah Hera, itulah dia Bu Ratna, yang sedang di tunggu nya sejak tadi.Hera akhirnya lega menutup skripsinya dan menghela napas pelan.
*
Setelah sesi panjang pemohonan dan tangis air mata, Hera akhirnya menelan pil pahit. Ia berdiri membelakangi fakultas sendirian, di telinganya masih terngiang kalimat bu Ratna
“Maaf, Hera. Saya tahu ini mendadak, tapi keputusan fakultas tidak bisa ditolak. Saya harus fokus ke penelitian luar negeri. Kamu anak pintar, saya yakin kamu pasti bisa beradaptasi.”
Saat itu hera hanya bisa mengangguk pelan, tapi di dalam hatinya bergolak. Ia tahu, mulai saat ini skripsi dan perjalanan perkuliahannya akan memberikan efek kupu-kupu di kehidupannya. Air mata yang tidak terjatuh mengambang di dalam matanya.
Hera menahan semuanya sendirian.
Suata tangisnya tidak keluar, tapi sakitnya menggerogoti hatinya dari dalam.