Malam itu, kamar kos Hera hanya diterangi lampu meja kecil. Di depannya, laptop menyala dengan dokumen skripsi yang terbuka. Tapi kursornya hanya berkedip kedip, tanpa ada satu huruf pun yang bertambah.
Sudah berjam-jam ia duduk di sana, tapi pikirannya berantakan.
Kertas-kertas berserakan, ada catatan keuangan ibunya, tagihan rumah sakit, draft majalah, laporan “iklan fiktif” yang harus segera masuk ke Ruben. Semua saling bertumpuk, menekan dadanya.
Hera menunduk, menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Sesak. Semua ini terasa sakit menusuk.
Di kampus ia merasa terasing. Di rumah, ia harus jadi pilar keluarga. Di pekerjaan gelapnya, ia bahkan hanya sebuah pion.
Ia bahkan tidak tahu lagi, siapa jati dirinya. Manajernya menawarkan pekerjaan malam untuk nya malam ini, tapi dia sedang tidak perduli.
Suara ketukan pelan terdengar di pintu. Hera refleks tersentak. Siapa malam-malam begini? Dengan langkah berat, ia membuka pintu.
Ruben berdiri di sana, dengan jas hitamnya yang setengah terbuka, dasi longgar, dan senyum tipis yang seperti ejekan tapi hangat entah bagaimana.
“Ayo keluar" ajaknya dengan gerakan kepala
Hera ragu sejenak, lalu mengangguk. “Kita mau kemana?” Hera mengerutkan kening.
Setelah Hera mengunci pintu, Ruben menggenggam tangannya, membimbing Hera masuk ke dalam mobil hitam, yang terparkir di depan rumahnya. Ruben membukakan pintu dan memegang kepala Hera, seolah takut kepala Hera tersangkut disana, tatapan mata Ruben seperti biasa, entah bagaimana selalu misterius.
Mereka tidak banyak bicara sepanjang perjalanan. Radio menyala pelan, memutar lagu jazz lama. Hera hanya menatap keluar jendela, lampu jalan berlari mundur. Hingga akhirnya mobil berhenti di sebuah taman kota.
Langit malam terbentang, bintang-bintang kecil samar di atas kepala. Udara sejuk menusuk kulit.
Ruben turun lebih dulu, lalu berjalan pelan ke arah Hera, membukakan seat belt, menarik tangan Hera dan mengajaknya duduk di bangku kosong di bawah pohon trembesi.
Hera seperti bayi kecil yang mengikut dari belakang, masih bingung
Karena kedekatan yang intens itu, hidung Hera mencium wangi musk di tubuh Ruben. Hera seperti setengah mabuk berada di samping Ruben. Apakah kedekatan dengan seorang pria cukup mengobati segala lukanya? Hera tertawa sendiri bagai orang gila baru.
“Apakah aku se kesepian itu?” Hera bertanya di dalam hati
Ia lalu berpaling menatap Ruben, “Kenapa kau membawaku ke sini?” tanya Hera setelah duduk.
Ruben yang sejak tadi bersandar, tiba tiba menyalakan rokok, lalu menghembuskan asap perlahan. “Karena aku tahu kau butuh tempat untuk bernapas.” mata Ruben tepat menatap mata Hera dalam
Hera segera menunduk, perutnya bagai dihantam sesuatu, “Kau bahkan tidak tahu apa yang kualami.” Hera menggerutu pelan dengan bibir hampir tertutup.
“Aku tahu lebih banyak dari yang kau kira.” Ruben menoleh padanya, mata gelapnya berkilat.
Hera menegang. Bola matanya membulat sempurna “Kau… kau....menyelidiki aku?”
“Tidak perlu. Kau terlalu transparan. Kau seperti buku terbuka, setiap ekspresi wajahmu, setiap tarikan napasmu, aku bisa membacanya.” Ruben tersenyum tatapan matanya kosong
Hera terdiam, hatinya bergetar. Ada sisi dirinya yang ingin membantah, tapi bagian lain merasa… ada kelegaan karena sudah dilihat, dipahami, dan dihibur meski oleh pria yang seharusnya tidak ia percaya.
Hera menarik nafas panjang. Mereka berdua diliputi keheningan
“Semua seperti menghimpit" bisik Hera pelan memecah kesunyian.
Ruben menoleh, menatapnya dalam. “Tapi kau masih di sini. Kau tidak lari. Itu sudah cukup membuktikan kau lebih kuat dari yang kau kira.”
Hera mendongak menatap langit malam. “Kadang aku juga ingin menghilang.”
Ruben memadamkan rokoknya, lalu bersandar lebih dekat. “Kalau kau hilang, siapa yang akan menyayangi orang orang yang kau cintai, Hera. Kau adalah dunia mereka.”
Ada hening panjang. Angin berhembus lembut, menggoyang dedaunan.
“Kenapa kau peduli padaku?” Hera akhirnya bertanya, suaranya lirih.
Ruben menahan senyum, tapi tatapannya serius. “Karena aku melihat sesuatu dalam dirimu yang bahkan kau sendiri belum lihat. Kau juga berharga bagiku, aku akan terus di sisimu selamanya.”
Hera menoleh, mata mereka bertemu. Ada sesuatu di sana, bukan sekadar kata-kata penghiburan, tapi semacam pengakuan yang samar.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, d**a Hera terasa lebih ringan.
Ruben, entah bagaimana dia membuat kesepian itu mereda.
Mereka duduk dalam diam, tapi keheningan itu hangat.
Hera masih menatap ke langit, pikirannya bercampur aduk antara rasa nyaman dan sedikit lega. Angin malam makin dingin menusuk kulit.
Tiba-tiba, tanpa peringatan, Ruben menggeser duduknya lebih dekat. Ia tidak berkata apa-apa, hanya meraih tangan Hera yang dingin dan menggenggamnya erat.
Hera tersentak kecil, matanya langsung menoleh. Tapi Ruben tetap menatap lurus ke depan, seakan langit malam lebih penting dari menjelaskan apa pun. Tak ada kalimat, tak ada penjelasan.
Namun genggaman itu… terasa sangat hangat. Penuh keyakinan. Seolah berkata, aku di sini, kau tidak sendiri.
Hera diam, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tidak menarik tangannya. Karena jujur ia pun menyukai genggaman jari jari Ruben yang panjang dan kokoh.
Dan di bangku taman kota itu, di bawah pohon tua yang bergoyang diterpa angin, untuk pertama kalinya Heran merasa keheningan tidak lagi terasa sepi. Dan Hera tidak lagi merasa sendirian.
###
Pagi itu, udara kampus terasa ringan. Burung-burung di pohon flamboyan depan fakultas Sastra bersahut-sahutan, mengiringi langkah mahasiswa yang bergegas menuju kelas. Hera baru saja selesai mengikuti kuliah teori sastra modern. Ia keluar ruangan sambil merapikan buku catatan yang penuh coretan.
“Her, nanti ikut makan di kantin nggak?” tanya Rani dengan wajah sumringah.
Hera tersenyum tipis. “Ikut deh, perutku udah protes dari tadi.”
“Bagus, soalnya hari ini bakso di kantin katanya lagi diskon,” celetuk Davi, yang langsung disambut tawa kecil Rani.
*
Mereka berjalan menuju kantin sambil bercanda receh, membahas soal dosen yang sering salah ingat nama mahasiswa, sampai gosip kecil tentang mahasiswa tingkat akhir yang katanya sudah dilamar pacarnya. Hera hanya tertawa kecil, sesekali melempar komentar singkat. Ada rasa hangat ketika ia berada di tengah keramaian itu, meski di dalam hatinya masih gelisah perihal dosen pengganti itu.
Di kantin, mereka duduk di bangku panjang dekat jendela. Aroma gorengan yang baru diangkat dari minyak panas membuat Hera semakin tidak sabar untuk makan. Sejak tadi perutnya sangat lapar.
“Her, kalau udah lulus sidang nanti, jangan lupa kita poto studio bareng ya,” ujar Rani sambil menunjuk Hera dengan sumpit plastik.
Hera mengangguk pura-pura pasrah. “Iya, iya. Doain aja lolos dulu deh, dari proposal kemarin masih sampai bab IV aja nih, mandek gak jalan jalan idenya.”
Davi tertawa, “Loh, kok sama Her? Aku kira cuma aku yang kek gitu”, tapi tawa itu tiba-tiba terhenti ketika sosok yang familiar masuk ke kantin dengan wajah pucat.
Itu Alexasa teman sekelas Hera sejak tahun pertama kuliah. Rambutnya berantakan, matanya sembab, dan langkahnya tergesa. Tanpa basa-basi, ia langsung menghampiri meja Hera.
“Alexa? Ada apa? Kenapa tadi gak masuk kuliah?” Hera kaget melihat Alexa yang tersengal sengal
Alexa langsung meraih tangan Hera, lalu tanpa bisa menahan air mata ia berkata dengan suara bergetar,
“Her… aku… aku diteror seseorang. Aku nggak tahu harus gimana lagi…”
Kantin yang tadinya ramai terasa seketika menyempit, obrolan receh dengan teman-temannya langsung buyar, digantikan rasa panik. Ia meremas tangan Alexa, mencoba menenangkan.
“Tenang dulu, Lex… sini duduk, ceritain pelan-pelan.”
Mata Alexa terus basah. Nafasnya memburu seolah baru saja berlari. “Tadi malam ada yang nelepon nomorku berkali kali. Nggak cuma itu, Her. Ada pesan ancaman juga… dan… tadi pagi ada surat aneh di depan kosanku. Pakai kepala kucing Her, aku takut”
Hera terdiam. Hal berbahaya apa yang menimpa temannya ini? Apakah Alexa sudah terseret ke dalam masalah yang besar?