BAB VIII (TEROR)

1114 Words
Alexa duduk di kursi kantin dengan tangan masih gemetar. Hera meraih sebotol air mineral dan menyodorkannya. “Lex, coba minum dulu. Tenangin dirimu.” Alexa meneguk sedikit sekali, tapi matanya tak berhenti menatap sekitar seakan takut seseorang sedang mengawasi. “Her, aku nggak ngerti lagi… awalnya kupikir cuma orang iseng. Telepon tengah malam, nomor nggak dikenal. Aku abaikan. Tapi makin lama kok, makin parah. Ada pesan ancaman… isinya kayak tau semua tentang aktivitasku. Di mana Kos ku, kelas ku, bahkan siapa saja temanku, termasuk kamu juga Her. Tadinya aku gak mau ke kampus, tapi aku rasa kamu juga harus tau” Hera mengerutkan kening. “Mungkin itu cuma… mantanmu?” “Awalnya aku kira gitu. Tapi, Aku yakin bukan.” Alexa menunduk, air matanya jatuh di meja kantin. “Dari amplop yang sempat aku baca tadi tulisannya bilang gini, jangan ikut campur, atau kau akan berakhir seperti ini.” Rani dan Davi yang tadi masih duduk, saling pandang tak berani bersuara. Suasana di meja mendadak berat. Hera menggenggam tangan Alexa lebih erat. “Lex, apa maksudnya ‘ikut campur’? ” Alexa menggeleng cepat. “Aku pernah lihat sesuatu yang seharusnya nggak ku lihat.” Hera menegakkan tubuhnya. Alexa menatap Hera, ketakutan jelas tergambar di matanya. “Seminggu yang lalu, aku pulang malam karna anak anak MAPALA buat acara bakar bakar.. Di parkiran belakang fakultas, aku lihat ada orang yang tadinya itu kupikir dosen kita, ngobrol sama dua pria asing. Mereka kayak lagi nyerahin koper. Aku nggak sengaja terpergok. Sejak itu aku merasa kek… ada yang ngikutin aku.” Hera tercekat. Koper? Dua pria asing? Ingatannya langsung melompat pada bisnis gelap yang sedang ia jalankan diam-diam melalui majalah barunya. Ia tahu sindikat yang bermain di bawah permukaan sering memakai metode serupa, koper berisi uang, dokumen, atau barang terlarang. Tapi bagaimana mungkin dosen di kampus juga terlibat? Hera menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri di depan temannya. “Oke… jangan panik dulu. Kita cari tahu pelan-pelan. Jangan langsung berasumsi”. Alexa mengangguk, masih dengan tangis yang tertahan. Namun di dalam hati, Hera tahu masalah ini jauh lebih rumit dari sekadar teror pribadi. Kalau benar orang yang dilihat Alexa adalah dosen di kampus mereka, itu berarti lingkaran gelap itu sudah menyusup terlalu dekat dengan hidupnya. Dan yang paling berbahaya, menurut temannya tadi dirinya juga bisa saja jadi terseret dalam kasus ini. ### Aku tidak pernah lupa malam itu. Di balik kaca ruangan hotel murahan, aku menunggu, bukan sebagai lelaki yang butuh pemuas, tapi sebagai seorang anjing penjaga yang akhirnya menemukan apa yang majikanku selama ini cari. Dia datang dengan langkah ragu. Gadis itu masih terlalu muda untuk berjalan di jalur ini, tapi matanya sudah menyimpan banyak luka. Hera Adnan. Wajahnya yang cantik dengan raut ke-Ibu-an, persis seperti wajah Ibuku dulu, tubuhnya yang putih dibalut pakaian mahal yang Pink cerah sangat cocok dengan kulitnya yang putih dan kenyal, aku hampir kehilangan kendali. Orang itu adalah cucu dari Don tua, ketua klan kami, hanya nama itu yang Don serahkan padaku, dan setelah melihatnya malam itu, akhirnya nama yang selama ini ku ikuti dalam dokumen samar, dalam cerita sisa-sisa orang yang hilang di masa lalu, sudah berada dalam genggaman ku. Namun ia tidak tahu siapa aku. Baginya malam itu aku hanyalah seorang “klien.” Aku bisa melihat bagaimana jemarinya bergetar ketika ia berusaha tersenyum, dan berucap manja berusaha mencairkan suasana yang sengaja ku ciptakan awkward, meski jelas ia ingin menangis, karena ketakutan. Aku bisa menghitung detak jantungnya dari jarak dua meter. “Bagaimana kalau aku menolak?" Katanya pada malam itu, seolah dia sedang ada dalam mode memilih, itu hampir membuatku ingin mencium bibirnya yang berisi itu, tapi aku teringat akan pesan Don tua, "carilah cucuku, meskipun ibunya sudah rusak, aku yakin di dalam darah cucuku ada darah ku, keturunanku satu-satunya. kau harus membawanya kehadapanku, apapun yang terjadi" Malam itu aku merasa lega, dan menatapnya dari atas ranjang, dia duduk di kursi tanpa niat untuk mendekat, sembari menatapku, bingung. “Apakah aku tidur disitu?” Aku hampir tersenyum, tapi aku memilih mengangkat bahuku, gadis itu mengira tubuhnya adalah barang dagangan yang bisa menyelamatkan keluarganya. Ia tidak tahu bahwa tubuh itu adalah warisan. Bahwa dirinya sendiri adalah kunci yang kucari bertahun-tahun. Saat aku menatapnya dari dekat, wajahnya diliputi ketakutan, seolah aku adalah pria pertama yang menidurinya. Aku adalah pria terhormat, meskipun aku menginginkannya, aku menolak menyentuhnya. Kelopak matanya bergetar karena ia berusaha menutupnya kuat-kuat. Pemandangan itu membuatku sangat terhibur. Dia adalah gadis yang menarik. Malam itu, aku hanya memastikan satu hal, putri yang hilang sudah ditemukan. Dan tubuhnya tidak akan pernah lagi tergadai akibat kekurangan. Aku segera menghubungi Don, memberitahunya bahwa cucu yang ia cari telah berada dalam pengawasanku. "Jalankan sesuai rencana, aku tidak punya banyak waktu" ### Hera sedang melamun di meja kerjanya, ia teringat dengan tangisan Alexa tadi siang di kantin kampus. Akhirnya Alexa tenang karena Rani menawarkan Alexa untuk tidur dirumahnya saja. Ditengah-tengah lamunannya, Hera melihat Jeni yang meminum kopi tanpa suara. Mereka berdua berada dalam ruangan yang sama, tapi entah bagaimana Hera tidak pernah merasa terganggu dengan kehadiran Jeni, Jeni selalu bergerak bagai bayangan. Hera selalu penasaran pada perempuan cantik itu. Sejak hari pertama, Jeni bekerja di kantor Lumina, ia terlihat seperti mesin. Cepat, efisien, dan nyaris tanpa suara. Ia tahu di mana setiap berkas disimpan, tahu jadwal pengiriman naskah, bahkan tahu kebiasaan Hera yang selalu menaruh cangkir di sisi kiri meja, bukan kanan. Hera tidak tahu bagaimana cara Ruben bisa menemukan seseorang secekatan itu. Jeni seolah paham apa yang Hera butuhkan bahkan sebelum Hera sempat memintanya. Di ruang kerja Hera, Ia jarang bicara, tapi saat bicara, nadanya lembut dan ringkas, selalu to the point. “Naskah kolom opini sudah saya edit.” “Rapat dengan pihak percetakan dijadwalkan ulang. Mereka setuju dengan revisi harga.” Ia bukan tipe yang mudah gugup, bahkan saat para karyawan lain panik karena deadline. Ketika mesin cetak sempat macet total, Hera ingat bagaimana Jeni bergerak cepat, membuka panel, dan entah bagaimana berhasil memperbaikinya tanpa bantuan teknisi. Semua pekerjaan yang Hera tidak bisa, Jeni selalu membuatnya beres. Jeni sudah menjadi ritme Lumina semuanya menjadi lebih teratur. Di hari-hari sepi, saat kantor sudah ditinggal semua karyawan, Jeni selalu menjadi orang terakhir yang pulang bersamanya. Ia akan memastikan lampu-lampu mati, pintu terkunci, lalu berpamitan dengan senyum tipis. Persis seperti malam ini, Jeni melambaikan tangan pada Hera. Hera juga balas melambai sambil tersenyum. Mereka berdua berpisah di depan kantor Lumina. Hera diam-diam merasa bersyukur karena Ruben mengirim Jeni untuknya. Saat Hera sedang berjalan di trotoar untuk pulang, ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal. Ia angkat, suara berat di seberang hanya berkata singkat. “Jaga jarak dari temanmu, atau… kau yang berikutnya.” Hera membeku di trotoar. Itu bukan lagi teror iseng, ini adalah peringatan langsung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD