Hari Minggu pagi. Udara lembut menyelinap lewat jendela yang dibuka Hera lebih besar lebar dari hari biasanya, membawa aroma melati dari halaman belakang. Hera melipat lengan bajunya, berdiri di dapur sambil mengaduk bubur hangat dalam panci. Suara televisi dari ruang tamu terdengar samar, siaran ulang acara musik lama yang selalu disukai ibunya.
“Ibu, jangan jalan-jalan dulu, ya. Hera masak sebentar lagi selesai,” katanya sambil menoleh.
Suara langkah pelan terdengar mendekat. Seorang wanita berambut perak muncul di ambang pintu. Matanya teduh, namun kosong sesekali, seperti sedang menembus ruang dan waktu yang berbeda.
“Rena?” katanya pelan, senyum kecil muncul di wajahnya. “Kau sudah pulang?”
Hera menahan napas sejenak. Ia tersenyum getir, menutupi gundahnya. “Bukan, Bu. Ini Hera.”
Wanita itu mengerjap bingung, lalu tertawa kecil. “Ah iya, Hera… namamu mirip Rena, ya.”
Hera mendekat, membimbing ibunya duduk di kursi goyang dekat jendela. “Ibu duduk dulu, nanti kalau buburnya tidak terlalu panas, Hera suapkan ibu ya.”
Di sudut ruangan, adiknya, Doni, sedang bermain mobil-mobilan lantai. Ia tersenyum ke arah mereka. “Ibu masih ingat aku kan kak?” katanya dengan nada bercanda ringan.
Ibu mengangguk. “Tentu saja. Kau adalah anak kesayangan ibu, Dino ku yang kecil.”
Hera dan Dino saling menatap. Senyum Hera merekah, matanya membesar dan ia menggoda adiknya, karena Dino aja tuh yang anak kandung ibu. Dino tersenyum bangga sambil menjalankan mobil mobilannya.
Selesai makan, Hera mengganti pakaian ibunya, menyisir rambut panjang yang mulai memutih. Dalam momen-momen seperti itu, waktu seakan melambat.
"Rena sering bersembunyi dibalik piano" Gumam ibu Hera
“Ibu dulu tinggal di rumah besar, ya?” tanya Hera lembut. “Ibu sering mimpi rumah itu.” Hera mulai menggoda ibunya, sambil terkekeh kekeh didekat adiknya. Mereka menyukai momen hangat itu.
Ibu terdiam sebentar, lalu berbisik, seolah berbicara pada seseorang yang tak terlihat.
“Rumah di atas bukit. Banyak penjaga. Dan ruang bawah tanah... tempat mereka menyembunyikan artefak.”
Hera menghentikan sisir di udara. “Artefak?” tanyanya pelan. "Wow imajinasi ibu makin hebat Din" Hera tertawa, diikuti Dino yang menjalankan mobil-mobilannya di tubuh ibu.
Ibunya menatap ke luar jendela. Ini sudah tahun kedua sejak penyakit Alzheimer ibu semakin parah, beberapa kali ia menyebutkan nama-nama orang yang tidak dikenali Hera. Tentang uang, pistol bahkan seperti pagi ini artefak. Hera dan Dino sudah terbiasa dengan hal ini. Kadang mbak suster juga sering cerita pada Hera, apa saja cerita yang keluar dari imajinasi ibu mereka.
“Kalau Rena tahu, dia akan marah,” katanya lirih. “Jangan sampai mereka tahu kau masih hidup, Hera...”
Seketika udara di ruangan itu terasa lebih dingin.
Doni menatap kakaknya, wajahnya berubah serius.
“Hera… Ibu bilang apa barusan?”
Namun ibu tidak menjawab.
Hera memandangi ibunya yang kembali tersenyum lembut, seolah tak terjadi apa-apa, lalu berbisik, "Hera senang ibu ingat Hera, Hera sayang sama ibu".
###
Sore itu Rani menelpon Hera, Alexa minta pulang ke kost nya, ingin mengambil barang dan melihat keadaan rumahnya. "Kami lagi dijalan dekat rumah kamu, kita kesana bareng ya"
Hera melirik jam dinding, ini sudah pukul 04.20 sore
"Mbak suster, Hera pamit dulu ya, nanti mungkin pulangnya agak malam. mbak bisa tidur disini malam ini?" tanya Hera sedikit memelas. Meskipun ia tahu, mbak suster gak akan menolak.
"Bisa mbak Hera"
Jawaban mbak suster membuat Hera merasa lega, kadang timbul juga rasa bersalah di hati Hera membiarkan ibu dan adiknya selalu sendirian. Tapi ia juga tidak punya pilihan lain.
Rina dan Alexa sudah tiba didepan rumah Hera naik sepeda motor, Hera bergegas mengeluarkan sepeda motor miliknya, mereka berteiga menuju rumah kos Alexa yang tidak jauh dari kampus.
Setibanya disana Alexa langsung membuka kunci rumah dan mendapati rumahnya bagaikan kapal pecah, semua barang-barangnya berserakan dilantai, Rani dan Hera terperangah dengan kekacauan itu. Alexa tampak panik dan ketakutan. Namun Alexa menenangkan "Ambil barang yang penting aja dulu Lex, kalau bisa kita jangan lama-lama disini"
Alexa mengangguk dan memunguti barang-barang yang hendak ia bawa, Rani mengeluarkan ponselnya merekam kegiatan Alexa memunguti sisa-sisa dokumen yang masih selamat. Mereka membawa barang Alexa yang memang tidak terlalu banyak. Menuju rumah Rina.
Rina memang tinggal sendirian di Apartemen, tapi setidaknya apartemennya masih lebih aman dibandingkan rumah kos Alexa.
"Pintunya dikunci dari luar"
Rina mengungkit kembali kejadian yang baru saja mereka alami setelah mereka sampai di apartemennya.
"Kalian lihat kan? aku juga masukin kunci lho" Alexa memandangi teman-temannya satu persatu
"Itu memang luar biasa aneh" Sahut Hera merenung. Ada banyak hal yang berada di fikirannya saat ini.
"Aku jadi gak punya baju" Alexa mulai menangis
"Jangan nangis Lex, pakai punyaku saja....." Rina yang polos berusaha menghibur.
Alexa dan Hera saling bertatapan dan Hera seperti menahan senyuman, kepalanya dia lemparkan ke belakang takut sahabatnya tersinggung, ia melemparkan wajahnya kesana-kemari.
"Temenin aku belanja baju yuk" Alexa mengajak Hera dan Rina
"Oke" Hera langsung bangkit dari tempat tidur.
"Mall dekat sini aja" Sahut Rina bersemangat.
Sore menjelang malam itu, Mall tampak ramai seperti biasa. Suara musik pop mengalun dari pengeras suara, bergema di antara toko-toko berlampu terang. Hera berjalan di antara kerumunan bersama Alexa dan Rina, mereka tertawa kecil sambil membawa gelas kopi dingin ditangan kanan dan belanjaan di tangan kiri, mereka melupakan masalah mereka dan merasa hidup seolah-olah normal dan tidak pernah ada kejadian yang aneh.
Seolah semua malam kelam yang pernah mereka rasakan hanyalah mimpi yang buruk.
Namun segalanya berubah saat seseorang menepuk bahu Hera dari belakang.
“Sudah lupa aku ya?”
Suara itu sperti familiar.
Tubuh Hera menegang seketika. Ia menoleh pelan. Di sana, berdiri seorang pria berjas abu, dengan senyum m***m. Tamu kedelapan.
Pria yang dulu datang dengan mata menyala penuh amarah ketika Hera menolak pertemuan kedua mereka, manager berkali-kali meminta maaf padanya. tapi dia enggan menggubris manager saat itu.
“Oh, maaf. Anda mungkin salah orang,” ucap Hera cepat, mencoba menjaga suaranya tetap tenang.
Namun pria itu tertawa kecil, sebuah tawa yang tidak menyenangkan.
“Salah orang? Kau pikir aku bodoh? Aku membayar mahal untuk malam itu, dan kau seenaknya menolak pertemuan kedua.”
Suaranya cukup keras hingga orang-orang di sekitar mulai menoleh. Alexa menatap bingung, sementara Hera berusaha menarik napas pelan.
“Tolong turunkan suara Anda,” kata Hera dingin.
“Tidak,” katanya tegas. Mata pria itu jelalatan melihat Hera dari atas sampai bawah, "Apakah duitmu cukup, belanjaan ditanganmu itu terlalu sedikit, ayo ikut saya, kita belanja di tempat yang biasa?”
Seketika suasana membeku. Alexa terdiam, wajahnya berubah pucat.
Hera bisa merasakan semua tatapan mulai mengarah padanya, tatapan kaget, mungkin jijik atau penasaran. Ia ingin berteriak dan berlari, tapi suaranya dan tenaganya tidak bisa keluar. Hal ini lah yang ia takutkan, Hera pikir dia bisa dengan mudah dilupakan jika hanya bertemu sekali dengan kliennya.
Rina menggenggam tangan Hera kuat. Berteriak tidak kalah kuat. " Dasar laki-laki m***m tidak tahu diri,bayari saja istrimu pakai duti kotormu!!! kami bukan perempuan yang kau tuduhkan! dasar c***l"
Semua mata mulai memandang jijik pria itu, mereka saling berbisik satu sama lain. Namun pria itu tidak mau kalah power, ia hendak maju kearah Rina
"Tap"
Saat itulah, seseorang menangkap kerah baju pria itu dari arah belakang
Cepat, tenang, tapi berbahaya.
"Siapa kau?" tanya pria itu panik
“Kau sudah membuat cukup keributan,” ucap Ruben.
Ia muncul entah dari mana, mengenakan pakaian kasual yang membuatnya tampak seperti pengunjung biasa, tapi tatapannya dingin seperti biasa. Tatapan yang membuat kupu-kupu di perut Hera selalu berhamburan ingin keluar.
Pria itu menatap Ruben dengan marah. “Kau siapa?”
Belum sempat kalimat itu selesai, Ruben menariknya ke samping dengan gerakan yang hampir tak terlihat oleh mata awam. Dalam beberapa detik, pria itu sudah terdorong mundur, kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh ke kursi food court.
“Pergi sebelum saya panggil keamanan,” bisik Ruben, pelan tapi jelas.
Tatapan matanya cukup untuk membuat pria itu menggertakkan gigi, lalu pergi dengan langkah tergesa.
Hera berdiri terpaku. Napasnya berat. Alexa bingung. Sementara Rina masih menggenggam tangan Hera.
Ruben menatapnya sebentar,
Tanpa berkata apa-apa, lalu memalingkan wajah dan langsung pergi setelah membereskan semua kekacauan itu, Hera memandangi punggungnya yang berjalan menjauh dengan tenang, namun mengandung suatu misteri yang sulit dijelaskan.