Hera mengintip masih mengintip dari balik tirai, ia menyipitkan kedua matanya, matanya menangkap siluet seseorang di dalam mobil hitam yang terparkir di seberang rumah.
Lampu jalan yang temaram hanya memperlihatkan samar bentuk bahunya, tapi cukup untuk membuat napasnya tercekat. Memacu laju jantungnya.
Mobil itu tidak bergerak selama beberapa menit. Lalu perlahan, seperti menunggu sesuatu, lampunya menyala dan meluncur pergi.
Hera menutup tirai, ia berusaha berpikir positif, mungkin itu tetangga yang baru pulang, meski malam sudah selarut ini?, entah bagaimana punggungnya terasa dingin.
*
Pagi ini ia mendapati bunga mawar putih di pagar rumahnya, masih basah oleh embun pagi. Tidak ada kartu, tidak ada nama pengirim. Hanya satu batang saja, ada ukiran kecil berbentuk segitiga yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
“Ini aneh” gumamnya
Ibu Hera yang melihat itu mulai gemetar, ia terlihat ketakutan dan masuk ke dalam kamar.
“Apa Ibu baik baik saja?” Tanya Hera
Ibunya tidak menjawab, ia berusaha tidur di atas ranjang, mbak suster datang mengetuk pintu, Hera membukakan pintu dan bertanya “mbak tadi ada berpapasan dengan orang lain di luar rumah?”
“Gak ada tuh, kamu lagi nunggu seseorang” tanya suster balik
“Ohh, gak ada ya, bukan sih, tapi Ibu kayak lagi ketakutan, aku pikir lagi liat siapa di luar tadi”
“Kemarin Ibu juga tiba-tiba nangis, katanya lagi diancam siapa gitu saya lupa namanya”
Hera memandangi ibunya, ia merasa khawatir, tapi ia harus bergegas ke kampus. “Mbak aku pamit ke kampus dulu ya?”
“Iya hati hati”
Hera memanggil adiknya Doni, untuk diantarkan ke sekolah, sekalian ia juga ada jadwal bimbingan dengan dosen pembimbing pagi ini. Sampai disekolah Doni Hera berpesan jangan sembarangan pulang, tunggu ojek yang biasa Hera order.
Doni mengangguk dan menyalami kakaknya ia masuk dengan ceria ke dalam kelas. Sekarang Doni sudah TK Nol Besar, tahun depan dia sudah SD, Hera merasa bangga melihat pertumbuhan dan kecerdasan adiknya itu. Saat usia Doni 1 Tahun, dokter menyarankan untuk mengoperasi hernia Doni, namun karena belum punya biaya, Hera meminta pada dokter tunggu sampai Doni mengerti sambil mengumpulkan biaya operasi. Kini biaya itu sudah ada, ia hanya perlu membuat janji temu dengan dokter.
Hari ini Hera sudah mulai mahir membawa mobil Metic pemberian Ruben.
“Kau harus hati-hati mulai saat ini, kau bahkan tidak tau seberapa keras aku mengawasi mu setiap saat” kata kata Ruben saat itu
ada benarnya juga, ia juga tidak sadar ada berapa musuh yang ingin ia lenyap dari dunia ini.
Ruben mengajarinya parkir selama 3 jam penuh tanpa jeda, tapi hasil akhirnya memang memuaskan, Hera seperti sudah terbiasa untuk parkir.
Dikampus Hera memarkirkan mobilnya sedikit jauh, ia tidak ingin teman temannya ribut mengetahui ia sudah bawa mobil ke kampus.
Langkah kaki Hera semakin berat saat mendekati ruang dosen. Ia Menarik nafas panjang berusaha mengatur langkah dan suara nafasnya. Udara di lorong kampus terasa dingin meski matahari sudah tinggi.
Hera berdiri terpaku di depan pintu ruang dosen ia menatap pintu itu lama.
Hatinya terasa mencelos.
Hera mengetuk perlahan.
“Masuk,” suara tegas menjawab dari dalam.
Hera melangkah masuk. Ruangan itu berbeda dari kebanyakan ruang dosen yang berantakan dengan tumpukan buku. Ruangan Leli tampak sangat rapi dan steril. Setiap berkas tersusun lurus, setiap pena menghadap ke arah yang sama.
Bahkan aromanya , campuran parfum mawar dan kopi hitam , terasa… sangat mengancam.
Leli duduk di balik meja, mengenakan blazer krem dan kacamata tipis.
“Aku sudah membaca naskah skripsimu. Ratna memberikannya padaku tempo hari, ia terlalu memang terlalu naif.” Mata Leli tampak menyipit menahan senyum jahat dibalik bibirnya yang tipis.
Hera mencoba tersenyum sopan.
“Bagaimana pendapat ibu tentang skripsi saya?”
“Entahlah.”
Leli memotong, suaranya dingin.
“Aku masih belum punya waktu untuk revisi letakkan saja disitu, masih ada banyak skripsi mahasiswa lain yang harus aku revisi, lagi pula nanti malam aku harus terbang ke singapore?”
Hera terdiam.
Pernyataan itu terasa menusuk seperti tikaman
Ia menatap meja, berusaha menahan diri agar tidak menjawab dengan nada defensif.
“Saya harap ibu bisa mempertimbangkan jadwal sidang jurusan sastra, yang hanya beberapa bulan lagi ”
“Diam, Aku tidak bodoh seperti dugaanmu, lagipula kenapa kau yang lambat mengerjakan skripsi, kenapa aku yang harus menanggung akibatnya? kau pikir dunia ini hanya meliputi waktumu? waktu ku jauh lebih berharga"Leli mencondongkan tubuhnya sedikit, "lagipula jangan selalu pulang pagi dari Hotel, itu tidak bisa mencoreng nama baik fakultas, kau seharusnya dikeluarkan dari kampus ini”.
Ucapan itu membuat jantung Hera berdegup lebih cepat. Darahnya terasa naik ke kepalanya
Tapi bagaimana mungkin Leli tahu? "Sial" ucap Hera, ia sudah tidak bisa menahan amarahnya, persetan dengan semua bentuk kesopanan.
"Oh, ku pikir kau terlalu berpendidikan untuk bisa bersikap profesional, aku sudah berusaha memanggilmu ibu, kau pikir aku lemah karena berusaha menghormatimu? kau merasa aku bisa ditindas? cukup ayah dan ibuku yang bisa kalian tindas dasar jalang! Bahkan ruanganmu bau busuk yang menguar dari otak!" Hera mengambil berkas skripsinya, lalu berpaling mengempaskan pintu
"Braaakkkkkk"
Leli tercengang dengan keberanian Hera, ia mematung berdiri ditempatnya setengah sadar.
Hera yang dongkol keluar dari kampus, untuk menghilangkan emosi yang menjalar di dadanya ia perlu melakukan aktifitas fisik, ia memilih berjalan tanpa tujuan. Dengan kepala yang penuh ia melangkah di bahu jalan.
Setelah emosinya cukup reda, Hera mulai menyesali segalanya, ia pun menghadapi pergulatan batin, ia meneriaki dirinya sendiri dengan kalimat sumpah serapah.
“Kenapa aku lakukan itu?! Kenapa aku harus terpancing emosi gila yang di umpankan Leli padaku? Aku seharusnya bisa menahan diri. Kini dia sudah berhasil membuatku kehilangan kesempatan untuk meneruskan gelarku”.
Hera tetap berjalan dengan seribu satu pikiran yang berkecambuk di kepalanya. Tanpa sadar ia melewatkan lampu merah, mini bus yang kencang datang dari arah berlawanan tanpa ia sadari
“Braaaakkkkkkkkkk”
“Ngiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiingggggggggggggggggg”
Telinga Hera berdenging panjang, ia mengedipkan matanya kepalanya sakit luar biasa, sejumlah warga mengerumuninya, disana Hera melihat ada wajah yang ia kenali, wajah yang sudah lama ia rindukan, mencoba menanyakan sesuatu dengan panik pada Hera, tapi tidak terdengar suara apapun di telinga Hera, melainkan hanya dengungan panjang yang menyakitkan. Hera ingin menyebutkan nama pria itu, namun lidahnya tidak mampu ia gerakkan. Wajah itu mencoba meminta pertolongan kepada orang orang di sekitar mereka, ia terlihat panik dan teriak teriak, tapi kabut di pandangan mata Hera sangat pekat dan gelap. Hera tidak sadarkan diri.