Leli duduk di balik meja kerjanya, tumpukan skripsi mahasiswa berjejer di samping laptopnya. Namun pikirannya tidak benar-benar ada di sana. Ia menatap layar ponsel, melihat pesan konfirmasi dari orang-orang yang tadi siang ia kirim untuk melakukan “pemeriksaan” ke Majalah Lumina.
Senyum tipis tersungging di bibirnya.
Jadi, benar. Hera terlibat dalam sesuatu yang kotor.
Sejak dulu, ia tidak pernah percaya pada wajah polos Hera. Sepupunya itu mungkin pandai menundukkan kepala, berlagak miskin dan menderita, tapi Leli tahu, ada sesuatu yang selalu menempel di keluarga itu, sial dan kehancuran.
Ibu Hera pernah membuat pamannya, Adnan. Orang yang paling Leli cintai dan hormati, jatuh ke titik terendah hidupnya. Menjadi miskin dan dikucilkan keluarganya sendiri.
Dan sejak hari itu, kebencian Leli tumbuh, berakar, dan menjadi api yang tidak pernah padam.
Kini, melihat Hera dengan pakaian yang sederhana, seolah berjuang keras sebagai mahasiswi Sastra Inggris, Leli hanya bisa mencibir. Topeng. Semua hanya topeng.
Dan saat ia mendengar desas-desus tentang Hera mengelola sebuah majalah kecil namun tiba-tiba berkembang dengan cepat, Leli langsung tahu, pasti ada sesuatu yang tidak wajar.
Rasa Iri yang Terselubung menggerogoti Leli dari dalam dirinya, Leli menyimpan rasa yang tak pernah ia akui bahkan pada dirinya sendiri, bahwa ia hanya iri pada Hera.
Meskipun Leli seorang dosen bergelar S.S., M.A., berjuang bertahun-tahun membangun reputasi akademik. Tapi nama Hera, si gadis malang dari keluarga terbuang itu, mulai terdengar sebagai mahasiswa berprestasi. Lebih dari itu, Hera memiliki sesuatu yang Leli tidak punya, perhatian orang lain.
Di kelas, mahasiswa lain sering menatap Hera dengan kagum. Bahkan dosen lain beberapa kali memuji tulisan lmiah Hera. Leli muak.
Apa yang mereka lihat dari gadis itu?
Leli bukan orang bodoh. Ia tahu dunia akademik tidak sepenuhnya putih. Banyak kolega yang mengambil jalan belakang demi mendapat proyek atau dana penelitian. Jadi, mengapa ia harus berpura-pura suci?
Ia secara terang terangan menggoda Dekan Fakultas sastra untuk memutasi Ratna, agar dia bisa menyiksa Hera dengan tangannya sendiri, “Lagipula si gendut sialan itu yang memberikan aku kesempatan, aku hanya membuka sedikit kesempatan baginya untuk mendekati aku. Dia yang mengejar aku selama bertahun tahun. Aku manfaatkan sedikit kan tidak masalah” Leli menggerutu sendiri membenarkan sikapnya yang egois.
Saat salah satu kenalan lamanya di lingkaran bisnis gelap bercerita bahwa nama Majalah Lumina sering muncul dalam transaksi, Leli merasa itu bukan kebetulan. Dan begitu Alexa teman sekelas Hera, tanpa sadar menyaksikan pertemuan rahasia di parkiran, Leli seperti mendapat amunisi untuk ditembakkan ke jantung Hera.
Hera waktumu suda habis, Sekarang giliranku menarik benang dan menjatuhkan mu.
Bagi Leli, Hera bukan hanya sepupu. Hera adalah simbol kebusukan keluarga yang pernah merusak hidup pamannya.
Dan kalau sekarang Hera terjebak dalam lingkaran kriminal, Leli merasa itu adalah takdir alami, bukti bahwa keluarga Hera memang ditakdirkan untuk kotor.
Tugas Leli hanyalah satu, membuka semua kedok itu ke dunia luas.
Tentu saja, ia tidak bisa melakukannya frontal. Ia harus tetap tampil sebagai dosen terhormat, sebagai akademisi yang menjaga martabat kampus. Maka langkah kecil dimulai dari audit mendadak. Sebuah benjolan kecil yang akan membesar menjadi tumor, lalu kanker, sampai akhirnya menghancurkan Hera dari luar dan dalam.
Leli menutup laptopnya. Malam sudah larut, tapi matanya berbinar.
Ia sudah menyiapkan skenario berikutnya:
Menekan Hera di kampus lewat revisi skripsi tanpa akhir.
Mempermainkan Alexa agar permainan semakin seru.
Dan pada saat yang tepat, memperlihatkan bukti pada pihak berwenang bahwa Hera dan Lumina hanyalah boneka dari sindikat kriminal.
Ia tahu langkahnya berisiko. Tapi dalam hati Leli berbisik, lebih baik aku yang mengambil alih permainan, daripada membiarkan Hera mengotori dunia ku, Hera selayaknya sampah berbau yang harus dihanguskan.
Dan entah kenapa, bayangan wajah Hera menangis dalam kepalanya membuat Leli tersenyum puas.
“Kali ini, kau tak akan lolos, Hera.”
###
Malam turun perlahan di rumah kecil itu. Angin mengetuk jendela seperti tamu yang datang tanpa diundang. Di kamar ibunya, lampu tidur berwarna kuning temaram memantulkan bayangan lembut di dinding.
Hera duduk di lantai, bersandar di sisi ranjang, sementara ibunya sudah terlelap. Doni adiknya pun telah lama tertidur di sebelah ibunya, boneka kelincinya masih tergenggam di tangan.
Meskipun malam semakin larut namun pikiran Hera masih berlari, menolak istirahat. Kilasan ingatan apa saja yang diucapkan Ruben tadi siang, juga kata kata ibunya yang melantur sedikit mengganggunya.
Ia memandang wajah ibunya yang damai dalam tidur, lalu perlahan berdiri dan melangkah ke meja rias di sudut ruangan. Laci paling bawah, itu sudah lama macet, namun ia belum sempat untuk memperbaikinya, Hera perlahan menarik laci itu, entah kenapa itu menjadi perhatiannya malam hari ini.
Setelah sedikit berusaha, laci itu terbuka dengan suara “krek” kecil dan aroma kertas tua langsung menyeruak.
Di dalamnya, terselip album foto lusuh, beberapa surat, dan sebuah liontin perak kecil dengan ukiran huruf R.
Hera memegang liontin itu dengan hati-hati. Di bagian belakangnya, terukir samar tulisan yang nyaris pudar:
pudar:
“Rena Valen , keep this safe.”
“Rena…” Hera berbisik.
Nama itu lagi.
Ia membuka album foto, halaman demi halaman. Di sana ada foto ibunya yang cantik saat masih muda, mengenakan gaun putih di depan rumah besar bergaya kolonial. Tapi yang membuat napas Hera tercekat adalah pria yang berdiri di samping ibunya. Bukan ayahnya.
Pria itu mengenakan jas hitam dan cincin besar di jarinya, lambang yang sama dengan yang pernah Hera lihat di majalah berita lama tentang mafia La Venator.
“Tidak mungkin…” gumamnya pelan.
Suara kecil dari belakang membuat Hera menoleh.
Doni terduduk diatas ranjang menggosok matanya setengah mengantuk.
“Kak, belum tidur?”
Hera cepat menutup album itu. “Enggak, Kak cuma… nyari obat nyamuk nih.”
Doni berjalan mendekat, memeluk lengan kakaknya. “Kak temenin Doni pipis, ya?”
Hera mengangguk, menatap adiknya lembut.
“Iya sayang ayuk”
Ketika Doni kembali tertidur, Hera duduk kembali di lantai, menatap liontin itu. Ia tahu ada sesuatu yang ibunya sembunyikan bertahun-tahun. Tapi apa itu? Kenapa itu harus menjadi rahasia? Apakah ada hubungan nya dengan apa saja yang sudah diucapkan Ibu mereka selama ini?
Di luar jendela, kilatan cahaya menembus tirai. Suara mesin mobil berhenti di depan rumah mereka.
Hera menyingkap tirai perlahan.
Sebuah mobil hitam tanpa plat parkir di seberang jalan, lampunya mati.
Ia menatap lama, menunggu, dan merasakan jantungnya berdebar.
Lalu… bayangan seseorang bergerak di balik kaca depan mobil.