bc

Janji Setiaku

book_age16+
139
FOLLOW
1K
READ
love-triangle
badgirl
CEO
drama
bxg
heavy
affair
like
intro-logo
Blurb

jalan hidup seseorang begitu sulit untuk bisa di tebak.

kita hanya bisa berencana sedemikian rupa, tetapi jika sang kuasa tak menghendaki, maka semua akan berlalu begitu saja tanpa ada sebuah hasil.

pun dengan diriku, Awalnya aku mengira kehadiranmu hanyalah sumber masalah dan penghalang bagiku, penghalang akan sebuah hubungan yang sudah ku jalin sejaknlama dengan kekasihku, dan hingga akhirnya kamu datang mengacaukan segalanya.

Aku benci kehadiran mu, semua tentang mu yang selalu berkata lembut dan penuh akan kasih sayang, aku benci semua itu. Aku benci dengan tatapan meneduhkanmu. Semua membuat segala isi dinkepalaku memberontak. Bahkan semua yang kamu lakukan untuku, selalu saja ku anggap salah.

Aku berusaha menolak semua perlakuan lembutmu, semua kulakukan hanya takut akan rasa asing yang menyusup begitu dalam di bagian terdalam hatiku.

Hingga hari itu tiba, hari dimana dimana kamu pergi tanpa sepenggal kata untukku, kamu pergi di saat aku mencampakanmu, melukaimu, hingga kamu pergi membawa luka yang ku torehkan untukmu.

Lalu, aku? Aku hanya bisa menatap kepergianmu, tanpa banyak suara, karena nyatanya, kataku pun tak sampai untuk menyuarakan tangisan hati.

Kamu pergi meninggalkanku dengan sebuah rasa yang tak bisa ku tolak. Meninggalkan Sebuah penyesalan akan semua yang telah ku perbuat untukmu. Bahkan kamu tak memberiku kesempatan untuk mengatakan... CINTA. Cinta yang selama ini berhasil menyusup kedasar hati dan tumbuh.

lalu, semua tertinggal dalam sebuah kesedihan dan angan. Kamu berlalu meninggalkan benih Cinta dalam diriku.

chap-preview
Free preview
Arthomi
Eca menatap kosong berkas di hadapannya, tak berkonsentrasi, ingatannya masih memutar kejadian semalam, percakapan dengan putri kecilnya yang memiliki harapan besar akan hadirnya seorang Tomi. Diletakannya berkas laporan keuangan begitu saja di atas mesa. Menghempaskan punggun pada sandaran kursi, Tangannya terulur Memijit kening, yang terasa pusing karna terlalu banyak memikirkan tentang keinginan putri kecilnya dan tentu saja Tomi. Dirinya tak tau apa yang harus di perbuat, hanya diam dan meratapi semua dengan kesenduan. Berharap dan berharap. Entah sampai kapan harapan itu akan berakhir. Terlalu jenuh dengan Fikiran kelunya, Eca beranjak dari kursi, melangkah gontai tak bersemangat keluar dari ruangannya. Berjalan menuju menja Sara. "Tolong panggilkan Linda, suruh menemui saya di lobi" hanya kata itu tanpa menunggu jawaban Eca mempercepat langkahnya. Mungkun dengan bercerita dengan Linda akan menguranhi bebannya. Semoga saja. Kakinya berhenti tepat di deoan kift, setelah menekan tombol, Eca berdiri menunggu kedatangan lift, persis seperti ia menunggu kedatangan Tomi. Hidupunya hanya di penuhi dengan kata menunggu dan berharap. Mirir bukan? Tapi Eca menikmati itu selama ini, hingga pertanyaan yang ia takutkan kuat dari mulut sang buah hati. Setelah pintu lift terbuka kakinya kembali berjalan, menapak lantai lift dengan sempurna, nenekan tombol lantai paling bawah, dan menunggu. Pintu lift terbuka, mengedarkan pandangannya sebentar lalu melangkah ke lobi. Bersimpangan dengan banyaknya kariyawan yang terlihat sibuk dengan pekerjaanya, selalu memberi hormat pada Eca walau tangan mereka di penuhi dengan berkas, Penjaga lobi yang melihat kedatangan Eca langsung bergegas, mengambilkan mobil tanpa banyak bertanya. Sembari memunggu kedatangan Linda dan mobilnya, ia mendaratkan pantatnya di sofa sebelah meja resepsionis, tangannya meraih ponsel di dalam tas. Membuka beberapa aplikasi yang menurutnya seru, tentu saja olshop, tempat dimana para wanita dimanjakan dengan kemewahan dunia fasion. "Woy nape lu manggil gua, tau orang sibuk juga?" Eca mendongakan kepalanya, menatap sahabat bawelnya, kilas. Tanpa menjawab Eca langsung beranjak ke arah mobilnya, di ikuti Linda yang mengumpatinya di belakang. Setelah sampai di depan mobil, Eca menatap Linda. Memberi memberi isyarat untuk segera masuk hanya dengan tatapan, tak banyak protes Linda menurut. "Haaaahhh...." Eca menghela nafas panjang Begitu pantatnya mendarat sempurna di kursi pengebudi. "Ada masalah." pertanyaan singkat, namun mengandung banyak makna, tapi hanya dua yang linda maksud. Bertanya tanpa mengganggu mood sahabat yang merangkup sebagai bos. "Nanti gua cerita kalo udah sampek" Linda mengatupkan bibirnya. dirinya paham, jika kalimat itu sudah keluar berarti dia hanya cukup diam dan menunggu Eca bercerita. Duduk diam dalam mobil tentu saja membuat Linda merasa bosan, tapi tak bis berbuat banyak. Baginya sahabat yang sedang dalam masalah lebih ganas dari emak-emak yanh lagi datang bulan. Jadi ia hanya bisa diam tanpa banyak berkata dan, Menunggu. Eca membawa Linda ke sebuah cafe langganannya, cafe yang sangat pas dengan suasana hatinya, memberikan nuansa hidup kala menatap interior yang ada dalam cafe ini. Berdiri sejenak dan mengedarkan pandangannya, pilihannya jatuh pada meja yang yerletaj di sebelah jendela yang langsung menghadap jalan raya, Begitu duduk, pandangan Eca langsung teralihkan pada suasana kesibukan di siang hari. Memperhatikan setiap pejalan kaki dengan seksama, mungkin saja bisa menemukan keberuntungan kan. Seketika pandanganya tertuju pada sosok pria kurus menggunakan topi kupluk di kepalanya, menutup seluruh bagian rambut. Terlihat pria itu baru keluar dari sebuah toko, melangkah masuk kedalam mobilnya. Eca merasa tak asing dengan sosok itu, tapi siapa? Jujur selama 5 tahun ini bisa terhitung dengan jari berapa banyaknya pria yang mendatangi dirinya. tak banyak, mungkin hanya sekitar 5 atau 7, dan mereka mundur secara perlahan setelah tau sifat Eca. Tatapan Eca masih teruju pada sosok laki-laki itu. Sosok yang tengah berdiri di samping mobil dengan benda pipih yang ditempel pada telinganya. Seolah pria itu telah berhasil mencuri perhatian Eca. Membuatnya tak mau melepas atau mengalihkan pandangan dari pria berpostur kurus itu. "Liatin apaan!" Eca tersentak, segera mungkin menolehkan kepalanya, menatap Linda sahabatnya dengan kesal. "Kagak, udah pesennya?" Iinda meletakan nampan berisi makanan, di sisul tasnya yang ia letakan di pinggir meja, menarik kursi lalu duduk di hadapan Eca. "Udah kok nih, kayak biasa kan?" Malas menanggapi tingkah sahabatnya, Eca lebih memilih menyibukan diri dengan ponselnya, seraya menyiapkan kalimat pertanyaan yang pas untuk Linda. "Jadi?" "Jadi?" Beo Eca, mengulang pertanyaan Linda dengan polosnya, lupa akan tujuan awal?, atau sibuk dengan pemikirannya? "Ck, lo ngajak gua kesini gak cuma suruh nemenin lo makan dan kencan buta kan?, sory kalo itu tujuan lo-" Linda menatap tajam sahabatnya, mencibir sinis. "Gua masih normal, dan masih doyan batang!" Eca tak kalah sinisnya, membalas tatapan Linda, menunjukan siapa bosnya di sini. "Iye percaya gua mah yang batangnya dimana-mana, gua yakin di dalem tas juga ada sekarang ini!" "Cih...! lupakan, so...?" "Gua bingung...," "Nah, lo aja bingung, apa lagi gua yang ngeliat elu, udeh kayak emak-emak haus belaian lu!" "Sue lu, gua lagi bingung masalah Tasya." "Jongkok!" "Hah?! Kok jingkok?!" Linda memutar bola matanya jengah, gini nih kalo emak udah khawatirin anak, gak bisa di ajak becanda. "Lupakan!" Linda menyambar minumannya, menyeruput pelan, haus juga ngeledekin nenek lampir satu ini. kemudian melanjutkan ucapannya. "Jadi apa yang bikin bos gua yang super perfect ini kebingungan ngadepin tasya?" Ale menghembuskan nafasnya pelan, berharap semua masalahnya bisa terbawa keluar bersamaan dengan karbon dioksida yang baru saja ia buang. Namun tetap saja itu hanya harapan yang tak akan terwujud. menundukan kepalanya, mengaduk-aduk minumannya dengan tak berselera. "Dia nanyain masalah mas Tomi", bersuara lirih, suara yang hanya bisa terdengar oleh Linda, karna memang jaraknya yang paling dekat. Linda terdiam, semua kelucon yang akan ia keluarkan untuk mencairkan suasana ini, hilang bak di gondol maling, semua lenyap. Mulutnya mengatup, menatap haru Eca. Tangannya terulur mengelus lengan Eca. "Sabar, semua pasti ada jalannya kok, lo yang tenang ya ngadepin Tasya" hanya kata itu yang keluar dari mulut Linda. Percayalah, Linda bukan sosok yang bisa memberi banyak motifasi, atau kata-kata mutiara. Linda hanyalah linda, sosok yang akan selalu ada untuk Eca, berdiri paling belakang jika sahabatnya itu menghadapi masalah, Yailah, masalah-masalah dia kenapa gua yang maju, bisa abis gua di gorok sama ni nini lampir. Tepat dimana Eca bisa berkeluh kesah, selama ini hanya Linda yang menjadi tempatnya berbagi curahan. "Gua bingung, lin. kali ini gak kayak dulu lagi, Tasya semakin gencar tanya tentang ayahnya. Belum lagi sekarang harapannya sama besarnya kayak gua-" Eca mengangkat kepalanya menatap Linda dengan pelupuk mata yang menahan air matanya, siap tumpah kapan saja jika tersenggol. "Dia berharap Tomi kembali, sama dengan harapan gua, gua bingung lin, gua takut ngecewain Tasya, di tambah dia berharap bisa punyak adik sekembalinya Tomi nanti" Eca semakun frustasi membayangkan itu semua. Kenapa cobaan yang menimpanya begitu berat, apa ini karma? Atau hukuman atas kelakuannya dulu?. "Apalo gak kefikiran buat cari pengganti To-?" mulut Linda lanngsung mengatup dengan sempurtna, menelan kembali pertanaannya. pertanyaan bodoh yang akan membuat Eca marah. "Lin, udah berapa kali gua bilang, gua masih yakin dan percaya kalo mas Tomi masih ada. Dan gua udah ratusan kali bilang ke elo, jangan pernah nyuruh gua untuk menyari pengganti mas Tomi, karna itu gak akan pernah, hidup gua hanya milik dia" "Tapi lo gak bisa nyiksa Tasya terus-terusan ca, lo pikirin juga dong, gimana nasib putri kecil lo itu" "Lebih baik gua bilang yang sebenarnya sama Tasya dari pada gua harus gantiin mas Tomi di kehidupan gua!" Eca beranjak dari duduknya, berjalan meninggalkan Linda yang masih diam termenung karna ucapan Eca. "Kemana!!" Teriak Linda yang baru tersadar dari lamunannya. "Jemput Tasya, udah jam pulang sekolah" "Lah gua?!" Eca acuh "Taksi banyak!", kakinya melangkah tanpa memperdulikan teriakan dan u*****n Linda. Ia malas berdebat masalah yang sama setiap ia menceritakan keluh kesahnya. Tidak ayah, tidak juga Linda selalu mengungkit masalah Tomi. ♡•◆•♡ Eca segera turun dari mobil setelah mobilnya terparkir rapih di barisan mobil lainnya. Ia segera berjak untuk menemui Tasya di tempat tunggu biasanya. Namun kakinya terhenti saat tak mendapati putrinkecilnya di sana. Matanya melirik pada jam tangannya, Udah waktunya pulang kok, Khawatir mulai menghampiri perasaannya, dengan segera ia melangkah ke pos satpam dimana Tasya menunggung. "Maaf pak, ini udah waktunya pulang kan ya?" Kedua satpam itu pun menoleh, memberi senyum ramah. "Eh bu Eca, udah kok bu, ini tinggal para guru saja yang belum pulang lagi ada rapat soalnya." "Terus Tasyanya kemana pak, biasanya kan dia nunggu saya di sini" "Oh itu bu, tadi di jemput sama neneknya" Kening Eca berkerut, tumben neneknya jemput tanpa memberi kabar. "Em yaudah pak kalo gitu, terimakasih, saya permisi dulu" "Iya bu, sama-sama" Dengan langkah lebar Eca kembali ke mobilnya, menjalankan dengan sedikit tergesah, Entah lah dirinya merasa sangat merindukan putri kecilnya, padahal baru saja tadi pagi ia bertemu. Cukup lama menempuh perjalanan dari sekolah ke rumah ibu mertuanya. Ditambah kemacetan yang cukuo parah membuat tubuh dan fikirannya menjadi terasa sangat lelah. Setelah bercibaku dengan kemacetan panjang akhirnya Eca sampai di rumah mertuanya, rumah model lama yang terlihat masih kokoh dan nyaman, di tunjang dengan adanya taman yang cukup asri, tentu membuat siapa saja akan betah berlama-lama tinggal di sini begitupun putri kecilnya. Bergegas kakinya melangkah ke teras rumah dan menuju pintu yabg memang dalam posisi terbuka. Seketika langkahnya terhenti tepat di depan pintu. Matanya membulat tak percaya, hatinya seolah di hantam dan di timpa beban dengan beban berton-ton. Kakinya lemas, seolah tenaganya telah menguap terbawa hembusan angin. Tangannya mencengram erat rok kerjanya. Bibirnya seoalah sulit berkata, semua serba kacau. Tubuhnya seolah tak mampu merespon semua printah otaknya. Eca tak percaya akan sosok yang ada di hadapannya dan tengah asik bermain dengan putri kecilnya. Semua seperti mimpi, semua seolah hanya ilusi atas semua kepenatan hatinya. "Mas Tomi?" === Malam bertabur bintang seolah menemani sosok pria kurus yang tengah terduduk di kursi taman belakang rumahnya. Pandangannya tah henti menatap betapa indah kilauan kecil malam itu, angin semilir menambah kesan dingin tak membuatnya beranjak dari sana. Tak ada yang bisa mengalahkan keindahan malam ini, kecuali satu. Wanita yang sangat ia cintai, sosok yang selama ini mampu menguasai hatinya. Namun ia masih belum berani menjukukan diri di hadapan sang penakluk hatinya. Takut akan kebencian sosok yang ia cintai terhadapnya masih memuncak. Banyak kabar yang mengatakan jika wanitanya kini sudah banyak berubah, menjadi sosok ibu yang sangat baik dan penyayang, bahkan banyak juga yang mengatakan jika wanita itu sudah memaafkan dan mencintainya. Tapi tetap saja, bayangan kebencian dari wanita itu membuatnya mengurungkan diri untuk menemuinya. Sorot mata yang penuh akan kebencian masih tergambar jerlas di ingatannya. Walau kejadian itu sudah kama berlalu tapi ia tak bisa melupakannya, "Tom...?" Pria itu menoleh, mencari sumber suara yang memanggil namanya. Pamdangannya menenemukan sosok wanita paruh baya tengah berjalan mendekat. Segera ia berdiri dari duduknya mendekati eanita psruh baya itu dan menuntunnya untuk duduk. "Loh ibu, kok belim tidur?" "Masih memikirkannya?" Bukan menjawab pertanyaan sang anak, ibu itu malah kembali bertanya, mengeluh lengan sang anak seraya tersenyun, senyum yang penuh akan makna. "Ya seperti yang ibu tau, aku selalu memikirkannya, tak penah bisa sedetikpun tanpa memikirkannya" "Kenapa kamu belemum mau menemuinya?" Pria itu menundukan kepalanya, menatap kedua tangannya dengan perasaan yang sulit untuk di cerna, "Semua gak semudah itu bu, aku takut dia masih membenciku, bayangan kebencian yang terpancar dari raut wajahnya membuatku selalu mengurungkan diri untuk menemuinya?" "Apa kamu masih belum percaya sama ibu tom, Eca sudah melupakan kejadian malam itu, dia dan Tasya selalu merindukan akan khadiranmu, percayalah Tomi saat ini cinta Eca hanya untuk kamu seorang" Ya... Pria kurus itu adalah Tomi, Artomi Fakhri Prastyo, sosok yang selama ini Eca percaya masih ada dan selalu menunggu kedatangannya. Tomi baru saja kembali dari singapur, menyelesaikan pengobatannya selama lima tahun di sana, Menghabiskan waktu untuk berjuang melawan dan membunuh penyakit ganas yang ada pada tubuhnya, tanpa memberi kabar sedikitpun pada Eca. Penyakit yang sudah lama ia derita, penyakit yang awalnya akan ia biarkan menggerogoti tubuhnya, namun karna suatu hal yang terjadi, membuatnya yakin untuk berjuang kembali, Eca mengandung benih cintanya, dan itu satu kabar yang membuat dirinya mau berjuang hingga menghabiskan waktu yang cukup lama untuk melenyapkan penyakit busuk di dalam tubuhnya. Selama lima tahun menjalani segala jenih pengobatan, rasa sakit saat melakan kemotrapi seolah lenyap dengan adanya harapan untuk bertemu dengan buah hatinya. Bertahun tahun menelan implan catmustine dan merasakan efek yang teramat sangat menyakitkan, selalu ia hadapi demi keinginan menanti hari cerah bersama buah hatinya. Lima tahun tinggal di singapura dengan segala jenis pengobatan yang ia lakukan membuat perasaan takut untuk menghadapi Eca tumbuh secara perlahan. Apakah Eca akan menerimaku setelah semua yang ku lakukan?. Apa Eca akan memaafkanku karna pergi meninggalkannya selama lima tahun ini? Pertanyaan itu seolah menjadi kaset rusak yang terus terniang dalam otaknya, otak yang belum di nyatakan sembuh tapi bisa mengulang semua pertanyaan itu, membuat keberaniannya semakin menciut untuk menghadapi wanita yang sangat dia cintai. "Entahlah bu... Tomi hanya takut jika kepergian tomi selama ini membuat Eca semakin benci dan tak memaafkan tomi" Sang ibu menatap tomi dengan penuh kasih sayang, membawa tubuh kurus itu kedalam pelukannya, mengelus punggung dan rambutnya, seolah memberi kekuatan untuk anak semata wayangnya itu. "Percayalah, dia akan menerinamu, rasa cintanya mengalahkan rasa benci yang pernah ia rasakan padamu" Ratna mendorong pelan kedua bahu Tomi, menatapnya penuh dengan kepercayaan. "Besok... Ibu berencana mau jemput tasua dan mengajak Tasya untuk bermain ke rumah ini, apa kamu siap menemEntahlah bu... Tomi hanya takut jika kepergian tomi selama ini membuat Eca semakin benci dan tak memaafkan tomi" Sang ibu menatuinya?" Tomi memandang ibunya lekat, tak berani menjawab dan solah ragu akan apa yang ia hadapi esok hari. Tentu saja sebuah pertanyaan kembali masuk kedalam kepalanya, apa ia siap menemui buah hatinya?, dan apa dirinya mampu memberi tahu sebuah kenyataan itu. "Tenang saja, sepertinya Tasya belum tau jika kamu ayahnya, mungkin Eca belum berani memberi tahukan semuanya, ia masih bimbang dengan kabar miring tentang kamu" Tubuh kurus itu terlonjak kaget, tak mengerti apa maksud di ucapkan Ratna, lali jika Eca belum memberitahukannya, apa ia pun akan siap menerima kenyataan, tak d kenal oleh orang yang kamu sayang, walau kamu sendiri belum pernah menemuinya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.9K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

My Secret Little Wife

read
98.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook