part 2

890 Words
Sore itu, jadwal dinas Finka baru saja selesai. Ia keluar dari rumah sakit dengan wajah lelah, rambut sedikit berantakan karena seharian mondar-mandir mengurus pasien. Ia menghela napas lega. “Ya ampun, akhirnya bebas juga…” gumamnya sambil merentangkan tangan. Tapi baru beberapa langkah keluar gerbang, byurrr! Hujan turun deras seketika. Bukan gerimis manis yang bisa ditoleransi, tapi hujan badai yang bikin jalanan seperti sungai kecil. “Ya Allah…” Finka menepuk jidatnya. “Kenapa sih, nasib? Payung ketinggalan di loker lagi.” Ia celingak-celinguk, berharap ada ojek online lewat. Nihil. Malah jalanan di depan RS militer itu kosong melompong. Ia menghela napas panjang dan menutup kepala dengan map rekam medis bekas. Tentu saja, tidak banyak membantu. Saat ia mulai berlari kecil menuju halte, sebuah suara berat memanggil dari samping. “Nona Perawat.” Finka menoleh, matanya membelalak. Kapten Arga berdiri di dekat pos jaga, masih dengan seragam tentara (tanpa atribut resmi, hanya kaos hijau dan celana lapangan), membawa satu jas hujan besar. Luka di lengannya sudah dibalut rapi, tapi jelas ia masih butuh istirahat. “Kapten?! Ngapain di luar? Harusnya istirahat kan?” Finka panik. Arga menaikkan sebelah alis. “Saya sedang jalan sore. Dokter menyarankan sedikit gerakan, bukan terkurung di kamar.” Ia menatap Finka yang basah kuyup. “Dan jelas sekali, Nona yang butuh pertolongan sekarang.” Sebelum Finka sempat menjawab, Arga mengibaskan jas hujan besarnya. “Masuk.” “Eh? Maksudnya?” “Kita berbagi. Kalau tidak, Anda bisa sakit. Anda tidak mau kan pasien anda bertambah hanya karena perawatnya bebal.” Finka membuka mulut, ingin protes, tapi hujan semakin deras. Ia akhirnya mengalah. Mereka berdua masuk ke jas hujan itu—model ponco besar, tapi jelas hanya muat nyaman untuk satu orang bertubuh Arga. Hasilnya? Finka setengah menempel di tubuh Kapten. Bahunya menabrak d**a bidang Arga, dan wajahnya hanya beberapa senti dari dagu pria itu. “E-eh, sempit banget…” Finka kikuk, pipinya memanas. “Diam saja. Jangan banyak bergerak.” Suara Arga terdengar tenang, tapi dari dekat Finka bisa mendengar detak jantungnya yang… agak cepat. Mereka berjalan cepat menuju halte, tubuh terbungkus jas hujan yang sama. Sesekali, Finka menginjak sepatu Arga tanpa sengaja. “Aduh! Maaf, Kapten!” Arga mendesah. “Anda ini… lebih berbahaya daripada hujan.” Finka mendelik, tapi tak bisa menahan tawa kecil. Situasi ini terlalu absurd. Begitu sampai di halte, mereka akhirnya berhenti. Finka menyingkap sedikit jas hujan itu agar bisa bernapas lega. Rambutnya yang basah menempel di wajah, membuatnya tampak berantakan tapi… manis. Arga menatapnya sebentar, lalu buru-buru memalingkan wajah. “Lain kali, bawa payung.” Finka terkekeh. “Atau… lain kali, Kapten siap sedia jadi bodyguard hujan saya?” Arga meliriknya tajam, tapi Finka bisa melihat sudut bibir pria itu sedikit terangkat. Hanya sedikit. Untuk Finka itu sudah cukup membuat jantungnya berdetak tidak karuan. *** Keesokan harinya, ruang perawat dipenuhi bisik-bisik riuh yang membuat Finka heran. Begitu ia masuk sambil membawa catatan pasien, beberapa perawat langsung menoleh padanya dengan senyum-senyum aneh. “Hei, Finkaa~” sapa Rina, sahabat sekaligus rekan kerjanya yang terkenal usil. “Apa?” Finka mengerutkan kening. Rina mendekat, menepuk bahu Finka dengan ekspresi penuh arti. “Katanya… kemarin kamu pulang bareng Kapten ganteng itu?” Seketika wajah Finka memanas. “Ha?! Siapa yang bilang?!” “Lho, banyak yang lihat,” sela perawat lain sambil pura-pura sibuk merapikan infus. “Kalian jalan berdua pakai satu jas hujan… romantis banget tuh. Kayak drama Korea.” “Bukan gitu! Itu… kebetulan aja! Hujan deras, aku lupa bawa payung, terus dia kebetulan ada jas hujan…” Finka berusaha menjelaskan dengan tangan heboh. Namun semakin ia menjelaskan, semakin perawat lain bersorak kecil. “Uuuuh, alasan klasik.” “Besok-besok jangan lupa update, Fin, kalian jadian kapan?” Finka menutup wajah dengan kedua tangan. Ya ampun, dunia ini kejam. Belum sempat ia membalas ocehan mereka, pintu ruang perawat terbuka. Dan masuklah… Kapten Arga. Ruangan langsung hening. Semua perawat menahan senyum, melirik bergantian antara Finka dan Arga. “Selamat pagi,” kata Arga dengan suara berat khasnya. Finka langsung tegak, nyaris menjatuhkan clipboard yang dipegangnya. “P-pagi, Kapten!” Arga berjalan santai mendekat ke meja, menyerahkan buku kecil. “Ini jadwal pemeriksaan yang dokter minta saya catat.” Ia menoleh pada Finka sekilas. “Dan… terima kasih atas bantuan kemarin.” Ruangan langsung pecah kembali dengan batuk-batuk pura-pura dan bisik-bisik heboh. “Terima kasih katanya~” “Wah, manis banget…” Finka ingin menjerit dan menggali lubang untuk bersembunyi. “Kapten!” sergahnya dengan suara setengah berbisik. “Jangan ngomong gitu di depan mereka!” Arga menatapnya tenang. “Kenapa? Saya hanya mengucapkan terima kasih.” “Ya tapi… mereka tuh—” Finka melirik sekeliling. Semua perawat sedang berpura-pura sibuk, tapi telinga mereka jelas terpasang. Arga menyipitkan mata, lalu mendekat sedikit ke arah Finka. “Kalau begitu… saya harus bilang di mana?” Finka menelan ludah, wajahnya makin merah. Dan tentu saja, bisik-bisik semakin menjadi. Setelah Arga keluar ruangan, Finka langsung dihujani pertanyaan. “Gimana rasanya dekat sama tentara cool itu?” “Dia seriusan suka kamu nggak, Fin??” “Eh, kalau nikah nanti undang-undang ya!” Finka hampir pingsan. Astaga, baru juga beberapa hari kenal. Kenapa rasanya hidupku berubah jadi sinetron jam prime time?! Namun di balik semua kehebohan itu, ada satu hal yang diam-diam ia sadari: Setiap kali Kapten Arga muncul, hatinya memang selalu berdebar lebih cepat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD