part 3

864 Words
Hari itu rumah sakit cukup ramai. Pasien rawat jalan datang silih berganti, dan ruang perawatan penuh aktivitas. Finka sedang sibuk mengatur berkas ketika ia mendengar suara tangisan pelan di lorong. Ia menoleh. Seorang anak laki-laki kecil, mungkin baru 7 tahun, duduk di kursi tunggu sambil menunduk. Tangannya terbalut perban, matanya sembab. “Eh, adik… kamu sendirian?” tanya Finka lembut, jongkok di hadapannya. Anak itu mengangguk pelan. “I… ibu lagi di kasir… aku takut di suntik.” Finka tersenyum menenangkan. “Ah, itu gampang. Kakak perawat bisa nemenin nanti. Nggak usah takut.” Tiba-tiba, suara berat ikut menyahut dari belakang. “Takut suntik? Seorang prajurit kecil tidak boleh takut.” Finka terlonjak kaget, lalu menoleh. Tentu saja, itu Kapten Arga. Ia berdiri tegak dengan seragam santai militer, tangan kirinya masih dibalut perban. Anak itu menatap Arga dengan mata membesar. “P-prajurit kecil?” Arga jongkok di depan si bocah, sorot matanya lebih lembut dari biasanya. “Ya. Kamu lihat ini?” Ia menunjuk lukanya yang sudah dibalut. “Ini akibat tugas. Sakit memang… tapi aku tidak menangis. Karena tentara harus kuat.” Anak itu menelan ludah. “Kalau aku berani di suntik… aku bisa jadi tentara juga?” Arga mengangguk serius. “Tentu saja. Bahkan tentara yang hebat pun dulu pernah takut. Bedanya, mereka memilih melawan rasa takut itu.” Mata anak itu mulai berbinar. Ia mengangguk cepat, lalu menghapus air matanya. “Aku mau berani!” “Bagus.” Arga menepuk kepala bocah itu, lalu berdiri. “Itu prajurit kecil yang hebat.” Finka hanya bisa terpaku, menatap pemandangan itu. Ia tidak pernah melihat sisi Arga seperti ini—lembut, sabar, dan penuh wibawa. Setelah anak itu dipanggil ibunya masuk ke ruang tindakan, Finka akhirnya bersuara. “Kapten… ternyata Anda bisa juga, ya, bicara manis.” Arga meliriknya dengan ekspresi datar. “Itu bukan manis. Itu motivasi.” Finka cekikikan. “Tetap aja, saya baru lihat sisi Kapten yang nggak galak. Kalau tiap hari gitu, mungkin pasien-pasien lain nggak akan kapok ketemu Kapten.” Arga mendengus kecil, lalu menatap lurus ke arahnya. “Kalau saya selalu lembut… mungkin ada yang salah paham.” “Eh?” Finka berkedip. Arga tidak menjelaskan lebih lanjut, hanya berjalan pergi dengan langkah tenang. Finka berdiri kaku, jantungnya berdetak aneh. Apa maksudnya barusan? Jangan-jangan… Wajahnya memanas. Ia buru-buru mengibaskan tangan ke wajah sendiri. “Astaga, Finka… jangan baper! Itu cuma Kapten Arga! Cuma tentara keras kepala yang suka bikin kamu kesal…” Tapi hatinya menolak percaya. Ia tahu, ada sesuatu yang berbeda pada sorot mata Arga tadi. Jam dinding menunjukkan pukul 23.30. Ruang perawat sepi, hanya terdengar dengungan AC dan langkah kaki sesekali dari satpam yang patroli. Finka duduk di meja jaga, matanya sudah setengah terpejam. “Kenapa sih aku harus kebagian shift malam sendirian…” gumamnya, menguap lebar. Ia berusaha menyalakan semangat dengan secangkir kopi sachet. Tapi begitu diteguk— “Puaaah!!” Finka hampir menyemburkan isinya. “Ih, pahit banget! Siapa sih yang bikin kopi kayak racun gini ?” Suara berat tiba-tiba menyahut dari belakang. “Saya yang bikin.” Finka sontak menoleh, hampir menjatuhkan gelas. Dan benar saja, Kapten Arga berdiri bersandar di pintu, tangannya masih disangga perban, wajahnya tampak… lebih santai dari biasanya. “K-Kapten?! Astaga, jangan muncul mendadak kayak hantu! Saya bisa jantungan tau!” Arga mengangkat alis. “Saya pikir tentara yang biasa berhadapan dengan bom pun tidak semenakutkan itu.” Finka mendengus, lalu melirik kopi di tangannya. “Ini kopi racikan Kapten?” Arga mengangguk ringan. “Ya. Kopi hitam, tanpa gula. Kopi seharusnya begitu.” “Kapten tahu nggak… lidah saya bukan lidah tentara. Saya butuh manis, biar hidup nggak pahit-pahit amat.” Arga menatapnya sejenak. “Kalau begitu, lain kali saya tambahkan gula.” Hening sejenak. Jawaban sederhana itu entah kenapa membuat wajah Finka panas. Ia buru-buru memalingkan pandangan, pura-pura sibuk dengan catatan pasien. “Eh, Kapten nggak tidur? Sudah larut begini masih keluyuran.” “Saya tidak bisa tidur. Bosan di kamar. Jadi saya pikir lebih baik menemani Nona Perawat yang sepertinya kelelahan.” Finka hampir tersedak ludah sendiri. Apa barusan dia bilang… menemani? Arga berjalan mendekat, lalu duduk di kursi seberang. Ia tidak banyak bicara, hanya memperhatikan Finka yang sibuk menulis laporan. Kadang ia menyisipkan komentar singkat. “Kamu menulis terlalu cepat, tulisanmu sulit dibaca.” “Eh? Serius? Padahal saya sering dipuji bagus, loh.” “Bagus, tapi seperti kode sandi. Hanya perawat yang bisa memecahkannya.” Finka mendelik, lalu terkekeh kecil. “Kapten ini kalau bercanda… kaku banget.” Arga tidak menanggapi, hanya mengangkat bahu. Namun di sudut bibirnya, ada garis tipis hampir seperti senyum. Malam itu berlalu dengan keheningan aneh—bukan canggung, tapi menenangkan. Sesekali mereka bicara, sesekali hanya diam sambil mendengarkan hujan gerimis di luar. Sampai akhirnya, Finka tertidur dengan kepala bersandar di meja, pulpen masih tergenggam. Arga menatapnya lama. Wajah perawat muda itu tampak polos dan damai saat tertidur. Perlahan, ia melepaskan pulpen dari genggaman Finka, lalu menarik selimut tipis dari kursi dan menutupinya dengan hati-hati. “Perawat ceroboh…” gumamnya pelan. Tapi kali ini, ada nada lembut dalam suaranya. Arga duduk kembali, memandanginya sebentar sebelum akhirnya bersandar di kursinya sendiri. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa… tenang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD