Terlahir Sebagai Kelas B

2003 Words
Kota Borneo, Domain Hindia. 1 Juni 2082 " ... Atas nama perdamaian, Federasi Perdamaian Dunia." Begitu nokta perdamaian selesai dibacakan bersama-sama, aku duduk kembali di kursiku. Menekuk jari-jari kakiku yang kaku dibalut sepatu. Sepatu ini memang sudah usang, sudah terlalu tidak nyaman. Bagian alasnya sudah datar, warnanya juga sudah pudar. Tanganku bergerak gelisah di atas meja. Begitu juga dengan bola mataku yang bergerak cepat mengamati seluruh ruangan. Aku langsung berdiri ketika Madam Hayes usai mengucapkan mantra ajaibnya, "Baik, kita akhiri sesi hari ini. Selamat sore, hati-hati di jalan." Buru-buru mempercepat langkah kakiku. Membelah koridor yang rupanya sudah padat dengan murid-murid lain. Aku menyisipkan badanku di antara murid-murid lain yang memakai jumpsuit putih, sama sepertiku. Aku berhasil lolos setelah menyalip sana-sini dan tergencet beberapa kali. Kini tinggal pintu utama yang harus kulalui. "s**l," aku otomatis memaki ketika melihat betapa ramainya orang yang mengantre untuk keluar dari pintu utama. Aku tak pernah merasa biasa meski hal ini selalu terjadi setiap hari. Aku mengantre di salah satu dari empat baris yang ada. Menundukkan kepala dan menutupi wajah menggunakan telapak tangan, seperti seorang kriminal yang bersembunyi dari sergapan polisi. "Oh, cepatlah!" gumamku. Kakiku sudah bergerak-gerak tidak nyaman. Ingin segera keluar dari tempat ini. Setelah lima menit, giliranku tiba. Aku merentangkan tangan, berdiri tepat di bawah mesin pemindai. Cahaya berwarna kemerahan muncul dari area lantai, menyusuri badanku, dan perlahan-lahan naik ke atas. Ketika sampai di kepala, cahaya berubah jadi warna hijau dan terdengar bunyi 'tring!' yang khas. Lalu identitasku tertampil di sebuah layar kecil yang tak jauh dari tempatku berdiri. Pintu utama terbuka otomatis setelah identitasku terkonfirmasi. Aku segera berlari keluar dari gedung yang tak lain adalah sekolahku itu, menapaki tumpukan salju sisa hujan tadi malam. Meski aku sudah berlari sekuat tenaga, mereka tetap di sana. Berdiri menghalangiku dengan wajah usil yang tampak menjijikkan. "Kau mau kemana, Gris? Kenapa buru-buru?" tanya salah satu dari mereka sambil berjalan ke arahku. Mereka adalah 'Manusia b******k'. Begitulah aku menyebut sekumpulan siswa perundung kelas A yang selalu saja menargetkan dan menjadikan aku bahan lelucon. Stacey--salah satu dari mereka yang berambut pirang sekaligus pemimpin 'Manusia b******k'--menarik rambutku kasar. Dia lalu mendorongku, membuatku berlutut di area trotoar, dan menatapku remeh. Siswa-siswa lain menatapku penuh iba. Ada yang merasa terhibur karena merasa hidupnya tak begitu buruk dibandingkan aku. Ada juga yang tidak peduli karena hal ini sudah terlalu sering terjadi. "Mana uangku? Jangan berharap aku lupa!" ujar Stacey. Aku tau benar uang apa yang dia maksud. Dia menyebutnya sebagai uang keamanan, uang yang harus kubayar tiap bulannya agar tidak dia ganggu. Dengan tangan gemetar aku merogoh kantong jumpsuit putih-ku. Aku memberikan beberapa keping uang dan dia merebutnya kasar. Dia menghitung uang yang kuserahkan, wajahnya serius, lalu berubah senang. "Dua puluh lima Earth, pas!" ujarnya. Dia kemudian menepuk bahuku. "Bagus. Kau boleh pulang sekarang. Jangan lupa bayar bulan minggu depan." Teman-teman Stacey memaksaku berdiri dan pura-pura membersihkan salju yang menempel di jumpsuit ku. Aku didorong menjauhi mereka sampai terjatuh. Sementara mereka pergi begitu saja seolah aku adalah sampah yang mereka buang setelah tak lagi digunakan. "Ah!" keluhku ketika lututku bertabrakan dengan aspal. Lututku berdarah, nodanya tembus mengotori jumpsuit putihku. Aku berdiri lalu berjalan terseok-seok menahan nyeri di lututku, menuruni tangga menuju stasiun kereta bawah tanah. Aku menyerahkan satu keping uang bernilai 2 Earth dan mendapat tiket elektronik yang ditransfer ke gadget-ku sebagai gantinya. "Terima kasih," ucapku. Aku menempelkan gadget-ku ke plat pemindai yang tertempel di dinding kereta dan masuk begitu terverifikasi. Aku duduk di dekat pintu masuk, memudahkan kalau-kalau aku sudah sampai stasiun tujuanku nanti. Setelah memasang sabuk pengaman, sambil menunggu kereta yang akan berangkat sepuluh menit lagi, aku bersandar di kursi. Teringat lagi kejadian malang yang lagi-lagi harus kulalui. Terlahir sebagai kelas B memang takdir paling buruk yang bisa kau miliki di era ini. Rasanya seperti seluruh dunia menghakimi, membencimu meski tidak melakukan apa-apa. Padahal yang salah ada standar sosial yang mengkotak-kotakkan manusia menjadi tiga kelas; kelas A, kelas B, dan kelas C. Kelas A berarti kau bisa hidup nyaman berkecukupan. Punya pekerjaan serta rumah yang layak, uang banyak, makan dengan nyaman, dan dihormati orang-orang. Tak banyak orang yang bisa masuk dalam kelas ini. Hanya orang-orang yang punya 'pekerjaan nyata' yang bisa bisa beruntuk masuk dalam golongan ini seperti dokter, pejabat tinggi pemerintahan, pengusaha, atau selebriti. Sayangnya sembilan puluh persen pekerjaan di bumi saat ini ditempati oleh robot. Mulai dari buruh pabrik, akuntan, petugas bersih-bersih, sebagian besar anggota kepolisian, atau bahkan guru. Madam Hayes salah satunya. Meski berwujud manusia, tubuhnya tak tersusun dari DNA, melainkan kode pemrograman dan kerangka metal yang dingin. Akibatnya, sembilan puluh persen manusia penduduk bumi masuk ke dalam kelas C. Bertahan hidup dengan pekerjaan yang dianggap tidak nyata, seperti pengumpul limbah besi atau pembantu di rumah orang-orang kelas A yang tidak terlalu suka dengan kualitas kerja robot. Mayoritas dari kelas C tidak berpendidikan. Jangankan pendidikan, makan sehari-hari pun sudah cukup sulit. Kebanyakan tinggal berpindah-pindah dalam rumah lipat yang bisa dibawa kemana-mana. Meski kelas C terdengar begitu menyedihkan, nyatanya berada di kelas B terasa lebih buruk. Ya, seperti dugaanmu, kelas B punya status di tengah-tengah. Kami punya rumah permanen yang biasanya adalah warisan turun-temurun, masih bisa pergi ke sekolah dengan uang hasil warisan, tapi harus bertahan hidup seperti kelas C. Orang-orang miskin membenci kelas B, di sekolah pun anak-anak kelas B ditindas dan dijauhi. Aku salah satunya. Kelas-kelas sosial ini memang tak pernah jadi aturan yang tertulis secara nyata di hukum atau perundang-undangan. Lebih seperti aturan tersirat yang sudah lama beredar di masyarakat. Tepat pukul 3 sore, kereta berangkat. Hanya butuh waktu delapan detik untuk sampai dari stasiun samping sekolah hingga stasiun dekat area rumahku. Aku turun dari kereta beserta penumpang-penumpang lain yang punya tujuan sama. Butuh lima menit untuk berjalan dari stasiun kereta ke tempat tinggalku. Tidak terlalu jauh tapi cukup nyeri untuk lututku yang masih berdarah akibat jatuh. Meski sakit, aku tidak menangis. Lagipula hal ini terjadi terlalu sering. Minggu lalu bahkan kepalaku benjol akibat dibenturkan ke dinding oleh Stacey dan teman-temannya. Aku marah, tapi tak melawan karena semua sia-sia saja. Apapun yang kulakukan, hanya aku yang akan jadi korbannya. Meski dilaporkan ke guru atau bahkan ke polisi sekali pun, uang dari kelas A tidak akan tinggal diam. Ujung-ujungnya aku yang sengsara. "Aku pulang!" ujarku begitu sampai rumah. "Oh, cucu kesayangan nenek sudah pulang! Sini cium dulu!" kata Nenek menyambutku. Aku menghampirinya yang duduk di kursi lalu memberikan kecupan di pipi seperti biasa. Nenek tersenyum gembira kemudian menyadari noda darah di lututku. "Gris, kenapa kakimu?" tanyanya khawatir. "Aku tidak apa, Nek. Hanya jatuh karena kurang berhati-hati," jawabku berbohong. Aku tak mau membuat keluargaku khawatir, terutama Nenek yang tahun ini menginjak usia 82 tahun. Aku tak mau Nenek bersedih karena tau cucunya adalah seorang pecundang yang selalu dirundung di sekolah. "Cepat bersihkan dan beri obat, Gris!" Aku mengangguk, "Tentu, Nek. Jangan khawatir." Aku melirik ke luar jendela. Tampak salju turun dari langit. "Hujan salju lagi?" tanya Nenek. Aku mengangguk. Nenek menghela napas panjang, "Padahal dulu salju tidak pernah turun di lokasi ini." Kota Borneo sebagai ibukota Domain Hindia terletak tepat di garis khatulistiwa. Menurut sejarah dan kesaksian nebek, iklim lokasi-lokasi yang dilintasi garis khatulistiwa itu seharusnya tropis yang panas sepanjang tahun. Namun sejak tahun 2042 atau terhitung empat puluh tahun yang lalu, iklim di seluruh dunia kacau total. Wilayah panas bersalju, wilayah bersalju kini panas. Begitu pula kotaku ini, salju turun hampir sepanjang tahun sehingga jalanan dan rumah-rumah selalu tampak berwarna putih. Meski demikian, ada waktu-waktu dimana salju tidak turun dan suhu menjadi cukup hangat. Itulah mengapa kebanyakan baju, bahkan jumpsuit sekolah kami dilengkapi pengatur suhu yang digunakan untuk melawan cuaca yang acak-acakan seperti ini. "Apa ibu membawa jaketnya, Nek?" tanyaku. Nenek mengangguk. Tidak semua orang mampu membeli baju dengan fitur pengatur suhu. Orang-orang yang tidak punya cukup uang hanya bisa mencoba beradaptasi pada cuaca; memakai jaket tebal ketika salju turun dan memakai baju tipis ketika tiba-tiba panas. Aku melirik jam di gadget-ku yang menunjukkan pukul 4 sore. Waktunya ibu pulang. Aku bergegas memakai kembali sepatuku dan berpamitan pada nenekku. "Nek, aku ke stasiun dulu! Menjemput ibu!" "Tentu, hati-hati di jalan, Gris!" Aku keluar rumah dengan langkah riang. Meski ibu tak pernah meminta, menjemput ibu sudah jadi kebiasaan rutinku setiap hari. Ibu adalah tulang punggung di keluarga kami. Hampir setiap hari harus berangkat pagi dan pulang di sore hari, kecuali hari libur. Begitu sampai di stasiun, aku duduk di bangku tunggu, titik yang sama aku menunggu ibu setiap harinya. Ibu keluar dari kereta tak lama kemudian. Aku melambaikan tangan agar dia melihatku. "Ibu!" panggilku. Ibu berjalan ke arahku sambil tersenyum namun tak lama kemudian menyadari noda merah di area lututku. "Astaga! Lututmu berdarah? Kau terjatuh, Gris?" tanya Ibu. Aku mengangguk. "Jangan khawatir, sudah tidak sakit sekarang. Nanti sesampainya di rumah akan kubersihkan dan kuberi obat," ucapku, mengusir sedikit kekhawatirannya. "Kau tak perlu menjemput ibu, Gris. Temani saja nenek di rumah," kata Ibu. Aku menggeleng. "Tidak, Ibu. Jam empat sore adalah jam yang kudedikasikan khusus untuk ibu." Ibu tertawa lalu mencubit pipiku. "Bisa saja anak ibu!" serunya gemas. Udara terasa sangat dingin. Layar sebelas dimensi di luar stasiun menunjukkan penurunan suhu yang sangat signifikan hingga lima derajat Celcius dibawah nol. Salju turun berjatuhan, mengenai jaket cokelat ibu dan jumpsuit yang kupakai. "Kau belajar apa saja di sekolah, Gris?" tanya Ibu. "Mmh ... tidak banyak. Hanya matematika dan sejarah," jawabku. "Apa menyenangkan?" tanya Ibu lagi. Aku tersenyum dan mengangguk. Sebuah kepalsuan. Nyatanya sekolah adalah neraka dunia bagi kelas B sepertiku. Tidak pernah bahagia, hanya sengsara. "Ibu, kita makan apa hari ini?" tanyaku, menatap kantong kecil yang ibu bawa. "Ayam panggang." "Wah! Kedengarannya enak!" ujarku. Begitu kami sampai di rumah, Nenek tampak tertidur di kursi goyangnya dengan televisi yang menyala. Ibu menggeleng-geleng lalu mematikan televisi. "Cepat ganti baju, Gris. Setelah nenekmu bangun, kita makan malam," ucap Ibu. Aku mengangguk dan masuk ke kamarku. Aku berbaring di ranjang, menatap langit-langit kamar yang putih bersih kemudian memejamkan mata sejenak. Menghilangkan penat yang melekat. Aku lalu membersihkan wajahku dengan lap biru berbentuk persegi yang kugantung di pojok ruangan. Sekuat tenaga aku menggosok noda debu yang menempel di wajahku menggunakan lap biru yang kubasahi dengan beberapa tetes air sampai meninggalkan bekas kemerahan. Kemudian aku mengecek rambutku yang tampak cukup kering meski sudah tiga bulan tak dicuci. Air memang jadi barang langka dan mahal karena perubahan iklim yang sangat ekstrem membuat sungai-sungai mengering. Laut pun tercemar oleh sisa limbah perang dunia ketiga. Hanya beberapa sumber air yang masih bisa digunakan, itupun dengan biaya pengolahan yang cukup besar. Maka dari itu, tiap keluarga diberi air sesuai dengan kebutuhan tubuh mereka. Dengan alokasi kebutuhan cairan tubuh sekitar delapan gelas per orang. Keluargaku mendapat sekitar dua puluh empat gelas setiap harinya, harus dihemat untuk minum, mencuci piranti setelah selesai makan, dan membersihkan tubuh seperti wajah dan area vital di bawah sana. Mandi jadi kegiatan mewah yang bisa kami lakukan setelah menabung air selama beberapa bulan. Begitu pula cuci baju. Mayoritas orang kekurangan air, kecuali keluarga kelas A yang mampu merogoh jutaan Earth tiap bulannya hanya untuk memenuhi kebutuhan air mereka. Keluarga kami jelas tidak punya uang sebanyak itu. Untungnya Domain Hindia dingin sepanjang tahun. Kami tidak terlalu banyak berkeringat dan berbau. Tidak seperti orang-orang di area Pasifik 1 yang harus cukup menderita karena dikutuk dengan sinar matahari terik sepanjang tahun beserta geografis yang gersang dan kering. Aku mengambil alkohol di laci mejaku dan mengambil kain bersih dari dalam lemari. Aku menatap sebal noda darah yang ada di area lutut jumpsuit-ku. "Ah, padahal baru dicuci minggu lalu!" keluhku. Aku mengingat kembali perjuanganku yang harus menyimpan air minum setengah gelas tiap harinya selama seminggu hanya untuk mencuci seragam sekolahku ini. Aku lalu melepas jumpsuit putihku dan melemparkannya ke bak cuci yang sangat jarang kugunakan. Aku duduk di ranjang lalu menuangkan alkohol ke kain usang. Dahiku otomatis mengkerut ketika tak kudapati satupun luka di lututku. Semuanya tampak normal, terlalu normal setelah jatuh dan menimbulkan noda darah seheboh itu. Aku mengambil lagi jumpsuit-ku, memastikan bahwa noda darah memang ada di bagian lutut sebelah kananku. Aku tidak berhalusinasi. Aku memang terjatuh dan berdarah-darah tadi. Aku mengamati lagi lututku sekali lagi. Keduanya. Semuanya normal. Tanpa luka maupun darah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD