Ada Rasa Sepuluh Tahun Lalu

1068 Words
Gaby mengetuk pintu ruang kerja Pak Dony. “Masuk!” ujar Dony, dari dalam ruangannya. Gaby membuka pintu kerja itu dengan hati berdesir tak karuan. Angin dari dalam ruangan itu berhembus dingin, rasanya membuat kaki Gaby beku. Ada pertanyaan dalam kepala Gaby ketika Pak Dony mengatakan soal pertemuan di ruang kerjanya. Apakah dia melakukan kesalahan. “Duduk, Gabriella,” ujar Pak Dony dengan senyuman. “Terima kasih, Pak.” Mungkin ini hanya ulasan soal cara mengajarnya selama ini kepada Gathan. “Ada apa, Pak? Apa saya melakukan kesalahan kepada Gathan. Kalau soal ...” Pak Dony tertawa kecil, dia membuka kacamata yang dipakainya. “Bukan. Bukan itu. Begini, Gabriella. Tadi, saya dapat telepon dari sekolahan Gathan. Hasil evaluasi belajarnya selama kamu menjadi mentornya, luar biasa. Itu kata wali kelasnya.” Gaby menghela napas, “Begitu rupanya. Alhamdulillah, kalau begitu. Saya pikir ada apa.” Wanita itu tersenyum dalam hati, ternyata tidak sia-sia selama ini megajarkan Gathan siang-malam. “Jadi, saya mau memberikan insentif, anggap saja ini bonus.” Gaby tidak menyangka kalau Pak Dony dengan mudahnya memberikan bonus? Padahal ini baru tiga bulan. “Kamu tahu, kan sebentar lagi Gathan akan sekolah di Amerika. Jadi, rasanya beban pekerjaan kamu akan lebih berat.” Pak Dony menyodorkan amplop coklat, lumayan tebal sambil tersenyum. Gaby menerimanya dengan senang hati. “Kalau ini bonus, terima kasih banyak, Pak. Saya akan memaksimalkan mengajar saya ke Gathan.” “Saya percaya kamu pasti bisa,” ujar Pak Dony. “Sebenarnya, saya juga mau minta tolong.” Senyuman Gaby meredup dari wajahnya. “Tolong apa? Insyaallah, saya bisa bantu.” “Saya mau menikah lagi, Gabriella. Kamu tahu, istri saya sudah lama sekali meninggal. Gathan hanya bersama kakaknyayang perempuan. Itu pun dia sudah menempuh pendidikan di Amerika. Dan saya tidak bisa meminta tolong ke dia untuk memberikan pengertian soal pernikahan ini. Kamu bisa bantu saya untuk memberi pengertian ke Gathan soal pernikahan ini?” Wajah Pak Dony memelas, memohon bantuan Gaby. Wanita itu terdiam, beberapa saat kebingungan. Apa yang akan dia katakan nanti ke Gathan. Dirinya juga kalau menikah lagi, apa yang akan dikatakan ke anaknya? “Acara pernikahannya kapan, Pak?” “Bulan depan,” kata Pak Dony. “Bulan depan?!” Mata Gaby membesar. Apa Gathan bisa menerima semua secepat ini? *** Gaby sengaja datang ke sekolah Gathan, ikut sopir untuk menjempu Gathan. “Tumben banget jemput aku,” kata Gathan ceria. “Kebetulan kalo lo jemput, sekalian mau kasih tahu hasil evaluasi kemarin.” Dia menyerahkan semua kertas ulangan yang tadi dibagikan wali kelasnya. Mata Gaby membesar, “Wah, selamat, ya! Ini semua nilainya bagus-bagus,” ujar Gaby ikutan senang dengan apa yang dicapai oleh Gathan. Maunya Gathan memeluk Gaby, dia sudah membuka kedua tangannya. “Tahu, nggak? Aku punya kejutan,” kata Gaby dengan antusias. “Apa?” “Aku traktir hari ini ke restoran favoritku waktu SMA. Jalan, Pak!” suruh Gaby. “Favorit, tapi waktu SMA aku nggak bisa sering makan di sini. Mumpung aku ada uang, kita makan sepuasnya di sana.” “HORE!” pekik Gathan. Gaby menatap anak yang beda usia lima tahun dengannya. Matanya selalu berbinar kalau memandang Gathan, Gaby hanya merasa Gathan adalah anaknya sendiri yang perlu dia jaga dan asuh. Namun, berbeda dengan Gathan—yang matanya tak kalah berbinar kalau menatap Gaby. Anak lelaki yang baru belasan tahun inginnya memeluk wanita itu. Sama seperti teman-temannya yang punya pacar. Bisa dipeluk, dikecup dan juga janjian kalau malam minggu. Gaby mengajak Gathan ke sebuah kafe yang menjual makanan kekinian. Sopir yang menyetir kendaraan dibelikan makanan. “Tapi, bapak makan di mobil aja,” kata Gathan. Mata Gaby memelotot. “Aku sopan, kok, ngomongnya,” timpal Gathan lagi. “Yuk!” Gathan menggandeng tangan Gaby tanpa dia sadari. Itu hanya spontanitas, sanggah Gaby dalam hati bukan berarti Gathan suka! Beberapa lama Gathan dan Gaby berbincang santai. Gathan antusias dengan nilainya yang meningkat. “Ada yang mencontek, aku nggak kasih,” ujarnya pongah. “Abis, mereka juga pelit kemarin.” Gaby tersenyum, “Than, sebenarnya kemarin aku ketemu ayahmu ....” “Apa? Kontrak kamu diputus?” tebak Gathan. “Bukan ... Bukan itu. Um ... aku mau tanya, selama ini kamu kesepian nggak di rumah?” “Kesepian,” jawab Gathan menatap Gaby lamat. “Jadi, ayahmu ... mau menikah lagi bulan depan,” ucap Gaby pelan. Tidak mau kabar ini menyakiti Gathan. “Kamu ... mau kan, menerima pernikahan ayahmu?” Gathan syok, jantungnya berdetak seperti akan meledak. “Emang, nggak cukup, ya, Mbak Milla aja yang urus Ayah? Ngapain dia nikah lagi. Aku juga nggak akan kenal dengan siapa.” Gabriella mengatakan semua yang dikatakan Pak Dony, “Nanti akan ada perkenalan, kok, antara keluarga kalian.” Gathan menghela napas, ketika ibunya meninggal, seluruh hidupnya kosong. Kehilangan sosok ibu. Sekarang, Gathan belum bisa menerima semua ini. “Kalau kamu belum bisa menerima, nggak apa-apa.” Gathan diam seribu bahasa. Kosong lagi yang dia rasakan. Sepanjang perjalanan dia juga melamun, melihat ke luar jendela. Terus terang, Gaby merasa bersalah sudah mengatakan semua ini. Sesampainya di rumah, Gathan papasan dengan ayahnya di ruang makan. Ada Gaby membuntuti Gathan di belakang, membawakan tas anak itu. Mungkin Gathan masih marah, jadi, tasnya dia tinggal di mobil. Gathan tidak mau menyapa ayahnya. Gaby yang menyapa Pak Dony. Sesaat Gaby menjelaskan kalau sudah mengatakan tentang pernikahan Pak Dony kepada Gathan. “Paling tidak, dia sudah tahu. Terima kasih, Gabriella,” ucap Pak Dony dengan tegas. “Saya permisi dulu,” ucap Gaby dengan santun. Malamnya, Gaby kewalahan dengan anaknya yang rewel, badannya demam. Untung besok Sabtu, jadi tidak ada kegiatan di rumah Gathan. Pukul satu malam, Airlangga baru tenang, setelah dibawa ke IGD. Dan Gaby tidak melihat ponselnya entah untuk berapa lama. Ada beberapa pesan masuk. “Aggelos!” “Aggelos.” Berapa banyak pesan hanya itu isinya. Dan pengirimnya, dari Gathan. “Astaga,” gumam Gaby, lemas membaca pesan yang sedemikian banyak. Gaby membaca satu per satu pesan itu. Entah mengapa tadi rasanya capek dan lelah karena mengurus Airlangga. Tapi setelah membaca pesan dari Gathan, energinya seperti ada lagi. “Tadi aku udah bicara sama Ayah. Aku setuju dia menikah lagi.” Ada rasa bahagia terselip dalam hati Gaby. Syukurlah .... “Tapi, ada syaratnya, karena kamu nolongin Ayah buat bilang ke aku, kan? Anggap aja ini bayaran kamu ke aku.” Gaby tersenyum konyol! Apaan, sih anak ini? Dia membalas pesan itu. Sambil tersenyum dengan lebar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD