6. Keseriusan Cakra

2091 Words
    Sean melangkahkan kakinya menuju cafe, matanya berbinar dan bibirnya terus-menerus melengkung membuat sebuah senyuman lebar. Suasana hatinya sangat baik, terlebih setelah hari dimana ia dan Cakra mengunjugi cat cafe, rasanya mereka semakin akrab padahal Sean baru mengenal Cakra seminggu lalu. Saat tiba di cafe, ia sudah disambut oleh Halim dengan sapaan hangat sambil mengelap meja, “selamat pagi, Sean” sapanya, Sean tersenyum dan melambaikan tangannya, “pagi juga kak Hal, rajin banget” balas Sean, Halim menepuk dadanya, “udah rajin, pinter, baik, ganteng, apa yang kurang dari Muhammad Halim Pamungkas?” ujarnya dengan nada yang menyebalkan, Sean memutar bola matanya, “kurang pacar” kata Sean sembari melengos meninggalkan Halim masuk ke ruang ganti. Halim yang mendnegar ujaran Sean pun hanya bisa terdiam dengan dramatis karena beberapa pegawai di sana tertara karena mendengar percakapan antara Halim dan Sean.     Setelah mengganti pakaiannya, Sean menata barang-barang di pantry dan mengerjakan lainnya sebelum membuka cafe dan setelah cafe dibuka satu-persatu pelanggan mulai berdatangan memesan menu terlebih untuk menu sarapan. Para pegawai mulai sibuk hilir mudik menghantarkan pesanan ke meja pelanggan. Maklum, cafe ini letaknya masih di area strategis yang dikelilingi oleh beberapa gedung perusahaan dan sekolah dengan tempat yang nyaman untuk sekedar bersantai atau berkumpul dengan rekan.     Disela waktu istirahat, Sean tidak sengaja memerhatikan Halim yang tengah berkutat dengan ponselnya dengan serius. Sean melirik isi ponsel Halim yang menmpilkan story i********:, ia pun menyentuh bahu Halim yang Halim gubris dengan dehaman karena matanya masih menatap layar ponselnya, “serius banget, kak. Lihatin apa?” tanya Sean iseng karena lama-kelamaan mereka menjadi akrab, “enggak, cuman lihat postingan temen kak Halim, kenapa?” tanya Halim kali ini sambil menatap Sean, “habisnya serius banget, siapa tahu lagi baca materi kuliah gitu” ledek Sean membuat Halim mendengus, “gitu banget sama kak Halim, aku serius banget karena teman kakak posting foto cewek di akun sosial medianya tapi dia tutupin pake stiker. Akhir-akhir ini dia mencurigakan banget pokoknya, dan dugaan kakak kalau dia dating sepertinya benar, Se” jelas Halim panjang lebar, “kak Halim pengen tahu banget ya orangnya?” ujar Sean, Halim diam, “tapi iya juga, ngapain kakak merhatiin dia, padahal dia juga belum tentu merhatiin kakak”, Sean menganggulk, “kalau pengen tahu kenapa gak nanya langsung aja?” tanya Sean, Halim menggeleng dengan wajah datar, “percuma, Se. Dia agak nyebelin jadi kalau ditanya belum tentu dijawab” jelas Halim.     Tepat pukul 13.15 WIB waktunya unutk pergantian shift, Sean dan beberapa pegawai lain bergegas untuk pulang atau sekedar menghabiskan waktu di luar. Sean sendiri bergegas menuju kampus karena sore ini jadwalnya untuk kuliah, ia juga sudah membuat perjanjian dengan seseorang di depan cafe maka dari itu ia duduk di kursi luar untuk menunggu seseorang.     Dilain tempat, Cakra tengah berkutat dengan isi lemarinya mencari baju yang nyaman dan cocok namun simple untuk dipakainya hari ini. Padahal setiap hari biasanya ia hanya memakai kaos atau kemeja saja, namun kali ini ia ingin terlihat labih segar dan lebih santai. Akhirnya ia menjatuhkan pilihannya pada jeans hitam dan kaos putis polos lalu ia menyampirkan tas dan meraih topi dari atas meja tidak lupa untuk memakai jaket karena hal itu merupakan syarat seseorang unutk mengendarai sepeda motor. Suasana hatinya juga tengah baik karena siang ini ia akan bertemu dengan Sean di cafe sekalian untuk pamer pada Halim karena mempunyai gebetan. Sebenarnya ia tahu betul bahwa Halim sangat ingin mengetahui kisah dibalik perubahan sikap Cakra, dan kebetulan jadwal Sean kerja bertepatan dengan jadwal Halim dan ia tidak sabar untuk mengetahui fakta tersebut bahwa teman kerjanya tengah dekat dengan Cakra.     Cakra melajukan sepeda motornya dengan keceptan sedang, karena Cakra tidak ingin Sean menunggu lebih lama. Dari kejauhan, Cakra sudah melihat Sean tengah berdiri di depan jendela cafe dengan Halim, Cakra tersenyum miring, ia membunyikan klaksonnya setelah sampai dihadapan mereka berdua. Sean tersenyum menyambut kedatangan Cakra yang tentu saja Cakra balas senyum manis Sean sementara Halim terlihat kebingungan. Halim kenal betul siapa orang dibalik helm itu, Cakra membuka helm-nya lalu turun dari motor dan berjalan menghampiri Sean sambil memberikan helm-nya yang lain. “meskipun deket, tetap pakai helm, Se”ujar Cakra, Sean menerima helm pemberian Cakra lalu tersenyum, “iya kak, makasih banyak” balas Sean. Mereka berdua tahu betul dari tadi Halim memerhatikan keduanya dengan tatapan tidak percaya namun Cakra dan Sean mengacuhkan hal itu.     Cakra menoleh pada Halim, “loh? Halim, apa kabar kawanku?” sapa Cakra dengan nada yang terdengar menyebalkan ditelinga Halim, “loh? Kalian ini kok bisa?” ujar Halim setelah kesadarannya kembali. Cakra tersenyum geli melihat kebodohan temannya, “apanya yang kok bisa? Ya bisalah Halim, ini namanya takdir” jawab Cakra asal kena. Halim menatap Sean dan Cakra bergantian seakan meminta penjelasan atas apa yang ia lihat saat ini. Sean dan Cakra tertawa melihat reaksi Halim, “kita kenal beberapa minggu kemarin kak, Hal” jelas Sean, Halim mengangguk namun otaknya masih memunculkan berbagai pertanyaan yang sangat banyak, “tapi, kok bisa?” tanya Halim. Cakra menepuk pundak Halim, “takdir” seketika wajah Halim menjadi datar, ia menepis tangan Cakra, “aku serius, Cak” balas Halim ngotot.     Cakra menoleh pada Sean, “ayo, Sean. Nanti sesi tanya jawabnya ya, Hal. Sean ada kelas, aku mau antar dia dulu. Duluan ya” ujar Cakra, Sean sih hanya mengikuti Cakra dari tadi. Halim menampilkan wajah pasrahnya pada dua orang itu, jadi ia juga beranjak menjauhi area cafe menuju kampus.                                                                                           + + +       Sean memerhatikan Hana dari 15 menit yang lalu terus-menerus mengoceh dikarenakan melihat pemandangan yang sangat langka. Pasalnya Sean kepergok jalan berdua dengan Cakra, sebenarnya Sean sudah menjelaskan bahwa Cakra yang ngotot mengantarkan Sean sampai kelas, alhasil mau tidak mau Hana yang sudah berada di depan kelas melihatnya dan terus bertanya ini dan itu pada Sean.     Sean hanya tertatawa geli mendengar mulut Hana yang tidak berhenti mengoceh itu, “Han, coba tanya satu-satu” ujar Sean, Hana mengambil nafasnya dalam, dari sekian banyak pertanyaan Hana memilih “jadi yang tadi itu siapa?” tanya Hana. Sean tersenyum, “kak Cakra” jawab Sean membuat wajah Hana muram, “jelasin dong, aku gak tahu kak Cakra itu siapa” protes Hana. Sean tertawa keras, “iya, maaf. Kak Cakra itu anak teknik, kakak tingkat kita. Temannya kak Halim, tahu kan kak Halim? Nah kak Cakra ini temannya” jelas Sean membuat Hana mengangguk paham, “oh jadi kalian kenal dari kak Halim?” tanya Hana, Sean menggeleng, “bukan, tapi bisa jadi” mendengar balasan Sean seperti itu membuat wajah Hana datar, “maksudnya apa, Sean? Kamu ini yang benar dong jelasinnya” ucap Hana greget.     Sean mengangguk, “iya, tenang. Kita ketemunya di cafe tempat aku kerja, Se. Tapi sebelumnya aku sudah tahu kak Cakra dari kak Halim gitu pernah ngobrol. Nah keresek yang di perpustakaan itu ternyata punya kak Cakra, Han. Jadi aku ke gedung teknik sendiri nyari kak Cakra karena kamu tahu sendiri keresek itu lama aku pegang jadi aku kembaliin ke kak Cakra. Semenjak kejadian itu kita jadi dekat deh sampai detik ini” jelas Sean. Hana mengangguk mengerti bahkan sangat paham, “aduh kebetulan banget, ya. Kelihatannya anak baik kok kak Cakramu itu” ujar Hana, Sean menatap Hana tajam, “Cakramu Cakramu, enak saja” balas Sean, lalu keduanya terdiam karena mata kuliah akan dimuali.     Cakra menyesap kopi panasnya sambil memerhatikan Halim yang masih mengoceh di depannya, “gila, kenapa gak dari kemarin gitu bilang kalau dia gak bisa hadir? Kalau gini mah mending istirahat di kostan, deh” rutuk Halim. Satu detik kemudian Halim menoleh pada Cakra, “karena kuliahnya kosong, gimana kalau kamu jelasin hubungan kamu sama Sean?” mendengar hal itu, Cakra menghentikan acara minum kopinya, “kenapa pengen tahu atau pengen tahu banget?” tanya Cakra lalu membuka ponselnya. Dengan mata setajam elang, Halim baru saja melihat foto Sean dijadikan lockscreen oleh Cakra, matanya tidak salah lihat dan dia yakin betul itu Sean. Halim berdehem, “dipajang di-locksreen, suka banget emang, ya?” tanya Halim, dengan santainya Cakra menunjukan lockscreen-nya yang memang betul foto Sean.     Cakra tersenyum saat melihat ekspresi aneh Halim, “beneran ini dia kok, kita dekat dari minggu-minggu kemarin. Gak sering ketemu tapi sering ngobrol disosial media” jelas Cakra membuat Halim menggelengkan kepala, “bahkan belum tepat sebulan ya, dan kalian bisa-bisanya nyembunyiin ini? Rapih banget gak ketahuan” jawab Halim, “kamu beneran suka kan sama Sean?” lanjut Halim, tatapan Cakra menerawang, “lebih dari itu, Hal. Aku yakin kalau perasaan aku jauh dari kata suka. Lebay banget kedengarannya tapi beneran, rasanya pengen jagain dia pengen buat dia bahagia, gak mau lihat dia kesusahan sama apapun pokoknya. Dia itu hebat banget jadi bawaanya aku gak mau bikin Sean kecewa”.     Halim paham betul perasaan Cakra yang tidak ingin ditinggalkan seseorang, dilihat dari cara bicara dan ketulusan hatinya memang Cakra sepertinya tidak main-main, “aku tahu aku keluarga berada, nikahin dia besok juga bisa. Tapi aku pengen kerja keras dengan usaha sendiri, menghasilkan uang sendiri buat nikahin dia. Aku mau benar-benar kuliah, biar bisa nyari kerja yang bener” lanjut Cakra, Halim mengangguk, “Sean punya perasaan yang sama juga kayak kamu?” seketika Cakra diam mendengar pertanyaan Halim, ia baru sadar kalau Sean bisa saja menganggapnya hanya sebagai kakak tingkat atau teman, “gak tahu” jawab Cakra polos. Halim menepuk bahu Cakra, “jangan buru-buru, nikah bukan cuma modal sayang bukan juga keputusan dari satu pihak. Perlu banyak pertimbangan dan kesepakatan dari kedua keluarga. Kalian bisa saling mengenal dulu, kamu juga butuh kejelasan dari Sean dulu jangan egois mau ngajak nikah” jawab Halim yang membuat isi otak Cakra buyar.     Tangan Cakra meraih gelas kopi dan menyesapnya pelan dilanjutkan dengan helaan nafasnya yang berat, tangannya bergerak mengacak rambutnya, “benar juga. Aku kok bego banget ya? Tapi aku beneran sayang sama dia, Hal. Aku harus ngapain?” tanya Cakra membuat Halim mengusap dagunya, “ya jalanin aja, kalau memang sudah niat serius kamu sama dia usaha buat yakinin keluarga masing-masing. Pokoknya kamu jalanin aja, bicara baik-baik sama Sean kalau kamu punya niat serius. Aku dukung banget kamu sama Sean. Dia anaknya baik dan aku percaya kamu bisa jaga dia” jawab Halim. Setelah percakapan itu, mereka diselimuti keheningan, Halim yang sibuk dengan ponselnya dan Cakra yang sibuk dengan pikirannya, “Cak, dengerin ya, saat ini kamu enjoy aja jalanin semuanya jangan jadiin beban pikiran. Belajar kayak biasa, jalan sama Sean atau nongkrong sama aku semua jalanin aja kayak biasanya. Siapin buat kedepannya karena semua pilihan selalu ada konsekuensinya dan banyak rintangannya, kamu harus bisa hadapin itu, hadapinnya jangan sendirian. Kamu masih bisa curhat ke aku atau cerita ke Sean. Kita hadapin sama-sama” mendengar hal itu membuat Cakra merasa bersyukur mempunyai teman yang setia dan sangat peduli padanya, ia jadi merasa terharu, “makasih banyak, Hal”.                                                                                                       + + +       Cakra menarik bahu Halim agar duduk di kursinya, “apa sih, Ra? Kan bagus gitu suaraku, merdu banget” melihat pertengkaran Halim dan Cakra, Sean dan Hana hanya bisa tertawa. Kali ini mereka berada di kantin gedung fakultas ekonomi, niatnya Cakra akan menjemput Sean tetapi Halim memaksa ingin ikut dan berakhirlah mereka berempat berkumpul sekalian mengajak Hana dan Halim untuk berkenalan bahkan Halim tidak segan-segan bertanya, “maaf, mbak? Mbaknya sudah punya pacar?” yang dibalas Hana dengan senyuman malu-malu.     Belum selesai, setalah bertanya seperti itu, Halim juga bertanya siapa namanya, umurnya berapa dan dimana Hana tinggal, entah itu hanya sekedar candaan atau serius tapi mereka menggap bahwa Halim hanya bercanda terlihat setelah ia mengatakan semua itu malah asyik bernyanyi dan bersenda gurau sendiri. “kak Halim hyper active banget ya? Katanya anak introvert” ujar Sean, Halim duduk dan menatap Sean, “kalau kalian kan kak Halim kenal jadinya berisik, kalau gak kenal ya pendiam” balas Halim. “bohong, dia emang aslinya berisik, kok” potong Cakra membuat Halim mendelik kearahnya, “berani kamu?” tanya Halim dengan nada tinggi yang diikuti tawa Sean dan Hana.     Sean melirik Hana, “tumben diam, kenapa?” tanya Hana karena ia merasa aneh pada Hana yang mendadak pendiam, “pasti takut nih gegara Halim berisik, lihat tuh kelakuan kamu bikin teman Sean shock” tuduh Cakra. Halim menatap Hana, “beneran?” tanyanya, Hana tersenyum, “enggak kok, lagi pengen diam aja” balas Hana. Tetapi Sean tidak merasa semua baik-baik saja, ia tidak tahu tepatnya kapan tapi Sean memerhatikan gerak-gerik Hana saat setelah memegang ponsel sikapnya menjadi lebih diam, wajahnya juga murung. Sean juga tahu bahwa Hana sedari tadi selalu mengecek ponselnya.     Suasana kantin mulai sepi dan mereka berempat masih diam di sana sambil mengobrol ringan, “kak Halim, nanti pulangnya boleh antar Hana gak?” tanya Sean membuat Hana tersentak dan menolak bahwa ia bisa pulang sendiri, namun Halim tersenyum cerah, “boleh banget, kostnya sama kan bareng Sean? Kakak tahu kok” jawab Halim semangat. Hana menggeleng, “gak usah kak Halim, repotin. Lagian beda arah sama kostan kak Halim” jawab Hana berusaha menolak tawaran Halim dengan halus, Halim menggeleng, “nggak repotin, kamu tenang aja. Semua aman kalau sama Halim” Hana menatap Halim dengan ekspresi aneh, “jangan nolak! Karena kamu gak ngerasain gimana ditolak perempuan, terima saja”                                                                                    -Never Ending Story-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD