8. confessing

2144 Words
     Suasana di taman kali ini berubah menjadi sedikit tegang dan canggung. Keduanya terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Cakra pun memaklumi hal itu, hanya saja ia takut merasa membebani Sean karena ia telah mengungkapkan perasaannya. Meskipun ia tidak meminta jawaban, pasti Sean juga tengah memikirkan hal ini, Cakra jadi bingung sendiri. Dalam hatinya ia berharap Sean mengatakan bahwa ia juga merasakan hal yang sama namun ia tidak bisa memaksakannya.     Sean masih berkutat dengan jemarinya yang sudah berkeringat dingin, sulit untuk berbicara bahkan untuk membalas tatapan Cakra pun ia tak sanggup. Sean merasa sangat shock mendengar pengakuan Cakra, dan ia tahu bahwa selama ini Cakra menahan untuk tidak mengungkapkan perasaannya, pasti sulit. Pikir Sean.     Jika boleh jujur, Sean sendiri memang nyaman berada di dekat Cakra, namun ia masih tidak tahu bahwa itu perasaan nyaman yang seperti apa?. mau tidak mau Sean harus berbicara juga pada Cakra, ia takut sikapnya yang seperti ini menimbulkan kesalah pahaman diantara mereka. Jadi ia dengan susah payah mengumpulkan keberanian untuk membuka suara.     “kak Cakra”     Cakra terperanjat dan menegakkan duduknya, “ya, Sean? Kenapa?” tanya Cakra yang kembali memokuskan atensinya pada Sean. Ditatap seperti itu, keberanian Sean malah menciut tapi ia sudah terlanjur membuat perhatian Cakra beralih padanya.     “soal itu, aku memang belum bisa jawab. Tapi aku gak akan jauhin kak Cakra seperti yang kak Cakra bilang.” ujar Sean. Tatapan Cakra melemah, tubuhnya juga ikut melemas. Menyadari hal itu Sean jadi kalang kabut, apa ia membuat Cakra kecewa?     “maaf, kak. Mungkin jawaban aku nyakitin kak Cakra, tapi aku sendiri be-”     “ssst! Gak perlu dilanjutin. Kakak paham kok, maaf ya bikin kamu jadi merasa terbebani. Maaf malah bikin suasana gak enak kayak gini. Seperti yang kamu bilang, jangan pernah jauhin kakak” potong Cakra, katakanlah dia lebay, tapi ia sungguh tidak ingin mendengar kelanjutan kata-kata Sean.     Jelas sekali raut wajah kekecewaan terpatri pada wajah tampan Cakra, matanya terasa panas dan berair. Ia menengadah menatap langit, hatinya bertanya apakah ia ditolak? Apakah ia terlalu berharap? Apakah tuhan cemburu karena ia terlalu mencintai ciptaannya? Yang jelas saat ini Cakra tidak bisa merasakan apapun.     Tangan Sean terangkat menyentuh bahu kokoh Cakra, ia merasa bersalah. “kak?” ucap Sean lembut. Cakra mengerjapkan matanya lalu menoleh pada Sean yang tengah tersenyum, ia sangat ingin melihat Sean tersenyum seperti itu padanya. “ayo pulang, Se. Udah sore” Cakra berdiri dari hamparan rumput menunggu Sean untuk bangkit juga.     Sean pasrah, ia tahu suasana hati Cakra sedang tidak baik jadi ia mengikuti ajakan Cakra untuk pulang dengan alasan sudah sore. Mereka berjalan beriringan tanpa adananya pembicaraan. Keduanya bungkam, bahkan di perjalanan pulang pun keduanya tidak ada yang bersuara.     Kecanggungan itu membuat Cakra semakin takut, ia takut Sean akan menghindar setelahnya. Setelah sampai, Sean membuka helm dan mengembalikannya pada Cakra. Sean tersenyum, “kak, maafin Sean, ya?”. Cakra tersenyum, “gak usah minta maaf, gak ada yang salah. Sana naik, langsung istirahat ya? Jangan banyak pikiran”.     Setelah mengatakan itu, Cakra langsung putar balik menjauhi kost Sean. Padahal Sean belum mengucapkan apapun lagi pada Cakra. Sean masih berdiri di tempatnya memandangi di mana Cakra menghilang. Entah kenapa perasaan Sean ikut sakit melihat Cakra bersikap seperti itu.     Sean naik ke kamar dengan perasaan campur aduk, ia bergegas untuk mandi dan menyegarkan pikirannya. Percuma saja ia masih terbayang kejadian sore di taman. Ia sadar sudah melukai hati Cakra, Sean tidak menyangka kalau Cakra akan sekecewa itu. Ia menyadari hal itu karena saat di jalan pulang, Cakra tidak mengatakan apapun. Padahal biasanya ia banyak bicara. Sean tidak tahu harus bersikap seperti apa kalau ia bertemu lagi dengan Cakra.      Ponselya berbunyi menampilkan pop up chat dari Cakra.      Kerjain tugasnya     Makan terus isitrahat ya ^0^     Ia tersenyum simpul melihat isi chat tersebut, tidak menunggu lama ia pun membalas chat-nya lalu meraih laptopnya. Ia merasa tenaganya kembali sedikit demi sedikit setelah menerima dari Cakra.                                                                                         + + +       Cakra tersenyum lemah melihat balasan chat dari Sean.     Iya, kak Cakra juga banyakin istirahat     Langsung pulang jangan keluar dulu     Sean sudah tahu kebiasaan Cakra. Cakra memang tidak langsung pulang melainkan duduk di warung kopi dekat kampus sambil makan gorengan.     Suasana hati Cakra belum bagus untuk pulang dan istirahat, ia masih butuh udara di luar. Ia juga tidak bisa mengontrol laju motornya tadi, sepulang mengantarkan Sean ia sempat berputar-putar dan melajukan motornya dengan kecepatan diatas rata-rata. Rasanya sangat puas saat wajahnya terkena tamparan angin malam dan berakhir di warung kopi.     Ia merasa pundaknya disentuh seseorang, Cakra berbalik mendapati Mark dengan beberapa berkas ditangannya. Entah sejak kapan ia kenal dengan Mark, keduanya melemparkan sapaan ala lelaki lalu diikuti Mark yang duduk dan memesan kopi. “gak sama kembaran?” tanya Mark. Cakra mengerutkan keningnya menanggapi pertanyaan Mark soal kemabaran.     “siapa?”     Mark tertawa, “Halim, biasanya barengan terus, kan? Kayak upin ipin, bedanya kalian kembar tak seiras, hahahaha” jawab Mark diikuti tawanya yang lepas. Cakra mendengus geli, “kembaran, ndasmu! Gak lah, bosen sama dia terus, sibuk ya?” jawab Cakra sambil melirik berkas Mark di meja.     Mark menyisir rambutnya kebelakang, “gak lama lagi KKN, kan? Ahh gila sih proker nih bikin pusing. Kamu gimana? Kayaknya santai aja” balas Mark. Cakra tertawa, “santai apanya? Sama aja, kelompokku bikin proker pada ambis semua jadi yah ngikut aja deh. Pada resek, kalau gak diturutin nanti nambah masalah” tutur Cakra.     Keduanya tertawa hambar karena merasa frustasi, “kebagian daerah mana kamu, Cak?” tanya Mark. “pinggir kota sih, desanya juga gak terlalu tertinggal. Kemarin bagian survei cuman yah kurang tertata aja jadi anak-anak pada ambis bikin desa itu keliatan bagus dan rapih. Gak salah sih tapi kalau banyak otak terus gak sejalannya itu yang bikin pusing malah pada berantem.” jelas Cakra sambil menyesap kopinya.     Mark mengangguk paham, “yah namanya juga tugas, pasti pada pengen nilai bagus semua. Wajar, nanti juga akur lagi.” Cakra mendengarkannya dengan khidmat, “kamu gimana, Mark?” tanya Cakra yang entah sejak kapan menjadi sesi curhat.     Ia mengusap wajahnya kasar, “sama aja, lagi ada konflik juga gara-gara proker. Sebagai leader yah harus bisa nengahin. Banyak otak yang harus disatuin, rasanya kepala mau pecah aja dengar debat mereka” jawab Mark, Cakra mengangguk, “leader Mark mah pasti bisa lah. Mantan ketua BEM gitu” balas Cakra diselingi ledekan.     Mereka tertawa, “oh iya, gimana kabar neng pacar?” tanya Mark. Cakra kembali mengerutkan keningnya, siapa yang Mark maksud neng pacar. “neng pacar siapa?” tanya Cakra. Mark tersenyum geli menggoda Cakra, “Sean lah siapa lagi” ucap Mark sambil mengacak rambutnya sendiri.     Cakra kebingungan dari mana Mark tahu pasal Sean? “Sean? Gak pacaran” jawab Cakra tersenyum kecut. “oh kirain kalian pacaran” jawab Mark, “padahal cocok kalian tuh. Goals banget kelihatannya, belum pernah lihat sih. Kebayang aja” lanjutnya.     “tahu dari mana aku dekat sama Sean?”     “yah cuman nebak aja sih. Soalnya dulu dia nyari-nyari kamu ke gedung fakultas kita, aku ketemu dia terus nanyain kamu.” Mark meneguk kopinya sampai habis. Cakra sibuk dengan pikirannya sementara Mark membayar kopi dan bergegas pergi dari warkop setelah pamit dengan Cakra, “sukses ya, bro. Galaunya kelihatan banget” tukas Mark sambil menepuk pundak Cakra.     Cakra kembali termenung, begitu terlihat patah hati kah? Tanyanya pada diri sendiri. Ia meraih ponselnya dan membuka kamera, wajahnya berantakan sekali. Sangat lusuh, pantas saja Mark bilang begitu. Bibir dan matanya turun semakin menambah kesan kesedihannya. Sangat menyedihkan.     Setelah meneguk kopi sampai habis, ia pun bergegas pulang ingin segera menyegarkan dirinya dengan mandi lalu mengerjakan proker yang belum selesai. Hari ini ia terlalu banyak mengeluh, rasanya malah semakin memburuk jadi ia memutuskan untuk mengalihkan pikirannya dan berfokus pada bahan tugasnya untuk KKN nanti.                                                                                           + + +       Cakra berjalan namun ia merasa terus menerus diperhatikan orang-orang kampus, ia juga mendengar beberapa desisan saat melewati gerombolan perempuan. “gila, aura kamu keluar banget. Berasa ikut diperhatiin juga” ujar Halim yang berjalan beriringan dengannya.     Cakra kembali memasang masker putihnya karena benar-benar merasa tidak nyaman, ia mendekat pada Halin, “maksudnya?” tanya Cakra membuat Halim menghela nafas.     “mungkin style kamu hari ini lumayan mencolok, Cak.”     Cakra berjalan pelan lalu memerhatikan pakaiannya dengan ekspresi bingung, “bajunya normal kok” Cakra membenarkan tas yang menyampir dibahu kanannya. Halim menggeleng, “kelihatan rapih, itu jidat juga keliatan. Pokoknya rapih. Dan sialnya harus aku akui hari ini aku kalah ganteng sama kamu, Cak”. Cakra menggaruk tengkuknya.     Ia memang sedikit merubah gaya rambutnya hari ini karena suasana hatinya yang masih belum baik jadi ia ingin mencoba bereksperimen untuk menghilangkan kesedihannya sedikit. Tapi ia tidak tahu akan seperti ini. Rasanya seperti seorang selebriti, begitu kata Cakra dalam hatinya.     Tentu saja hari ini ia menjadi pusat perhatian. Hari ini ia memakai celana kulot berwarna hitam dengan kaus putih polos ditambah blazzer senada dengan celananya. Seperti yang Halim bilang, rambutnya ia tata dengan coma style hair. Benar-benar rapih dan sangat cocok untuk Cakra.     Ia tidak berharap dilirik siapapun kecuali Sean. Ia juga tidak berniat mencari perhatian pada Sean, hanya saja Cakra sedang ingin terlihat seperti manusia hari ini. “biasa aja padahal, Hal. Kenapa lihatinnya sinis banget” ujar Cakra.     Halim menggeleng pelan, “mana aku tahu! Atau kamu mau cari perhatian ya sama Sean? Biar makin kepincut” goda Halim sembari menyikut perut Cakra. Keduanya duduk berdekatan di dalam kelas. Cakra menggeleng.     “gak lah, hari ini kan dia gak ada jadwal kuliah. Dia hari ini part time” balas Cakra yang fokus mengecek berkasnya. Halim memajukan bibirnya, “uuuh tahu banget jadwal mbak pacar nih ya? So sweet banget, perhatian banget” Halim masih betah menggoda Cakra walau respon Cakra hanya datar namun itulah yang membuatnya ketagihan menggoda sang sahabat.     “berisik ah, nih cek lagi berkasnya. Bantuin” Cakra melemparkan dua tumpukan berkas ke meja Halim dengan wajah yang terus menekuk dan kaku. Halim baru menyadari bahwa Cakra terus menerus menekuk wajahnya. Ia juga jarang bicara dan datar saat menjawab. Ia tahu betul kalau Cakra memang dingin, tapi auranya kali ini berbeda. Responnya benar-benar datar. Halim jadi tidak berani mengajaknya bercanda lagi jadi ia menurut pada Cakra untuk mengecek berkas yang dilempar Cakra tadi.                                                                                               + + +       “Cak, ada masalah?”     Cakra terdiam dan fokus pada buku yang sedang ia baca. “gara-gara anak-anak pada ribut ya? Wajar aja sih pengen semuanya maksimal jadi kalau ada masalah ya gak aneh” lanjut Halim walau tidak ada respon apapun dari Cakra. Ia menghela nafas lalu memakai earphone-nya memutar lagu hip hop kesukaanya,  dari 3Racha.     “Sean nolak”     Hanya dua kata tetapi masih dapat Halim dengar dengan jelas. Ia tergesa-gesa melepas earphone-nya, “serius?!” mata Halim membulat sempurna. Maksudnya ia tidak salah dengar apa kata Cakra, kan?     Ia menggeleng cepat, keadaan kelas sudah sepi. “masa sih? Memag dia bilang gimana?” cecar Halim. Cakra memutar-mutar pulpen, “aku gak tahu dia nolak atau gimana. Yang jelas dia masih bingung kayaknya, aku gak mau dengar kata-kata dia” jelas Cakra.     Halim kehilangan kata-kata mendengar penjelasan Cakra, “ya tuhan, Cak. Bisa-bisanya kamu membuat keputusan kalau Sean nolak kamu kalau kamu gak mau dengerin penjelasan dia” omel Halim. Cakra mengacak rambutnya, “gak tahu ah! Nanti deh kalau memang dia suka juga bakal bilang, kan?”     “cewek itu gengsinya gede, bro. Kita gak tahu Sean bakal berani ungkapin atau dia bakal diem aja, kita gak tahu.”     Cakra terdiam menatap lockscreen ponselnya yang menampilkan potret Sean berasa kucing. Ia tersenyum simpul, “kalau jodoh mah pasti ada jalan lain, Hal. Sabar aja, intinya-”     Ucapan Cakra terhenti karena suara ketukan pintu kelas, mereka terdiam dan menatap satu sama lain lalu melirik pintu kelas menunggu siapa pelaku yang mengetuk pintu tersebut.     Seseorang muncul dari balik pintu, “eh? Berduaan aja. Kayak upin ipin” ujar seseorang itu. “Mark! Kirain cewek” Halim mengelus dadanya. Mark berjalan mendekati mereka dan duduk di salah satu kursi, “aku ada event, ikut gak Hal?”, Halim mengerutkan keningnya. “event apa?” tanya Halim, Mark mengeluarkan brosur. Mata Halim berbinar, “wah gila, free style rapp? Keren juga, hadiahnya juga lumayan. Cak, ayo ikut” Cakra terkejut mendengar ajakan Halim, rapp saja tidak bisa. Cakra menggeleng kuat, “gak bakat, Hal. Jangan mengada-ada!”     Halim tertawa, “bertiga deh. Biarin Cakra nyanyi, suara deep nya bisa bikin cewek jerit-jerit. Aku sama Mark yang rapp, kita akustikan aja” usul Halim dengan semangat yang berkobar. Mark mengangguk menyetujui ajakan Halim, “sayangnya aku udah daftar, solo rapp. Kalau kamu mau daftar kita bisa jadi rival” mendengar hal itu Halim mendengus kesal.     Cakra bangkit dari kursi dan berjalan santai meninggalkan kelas yang tentu saja mengundang teriakan Halim dari sana. Ia sungguh tidak tertarik dengan event yang Mark tawarkan.                                                                                       + + +       Ia berjalan menunduk dan berhenti saat melihat sepatu cream tepat tiga senti dari sepatunya. Ia mengangkat wajahnya melihat siapa pemilik flat shoes berwarna cream tersebut. Jantungnya seperti meloncat kelaur saat melihat Sean tepat di depan matanya, mata Sean terlihat sayu. Sangat menggemaskan menurut Cakra. Atau mungkin halusinasi?     Sean tersenyum. Cakra sama sekali bukan halusinasi, ia benar-benar bertemu dengan Sean. Rasanya seperti hidup kembali, ia melupakan bahwa Sean menolaknya. Sean juga tidak mengingkari ucapannya, “kak Cakra?”.     Senang rasanya namanya dipanggil oleh Sean, suara yang sangat ia sukai. Raisa pun kalah. “iya, Se?” jawab Cakra setengah mampus karena gugup bukan main. Keadaan kampus lumayan sepi, menambah kegugupan Cakra. Sean memainkan jemarinya lalu terkekeh tanpa sebab. Itu juga menggemaskan di mata Cakra, meskipun ia tidak tahu apa yang ditertawakan oleh Sean tapi Cakra ikut terkekeh juga karena gemas.     “aku sudah sadar kalau aku sebenarnya juga suka sama kak Cakra, lebih dari itu mungkin” -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD