2

1229 Words
"Ma! Maaa! Ma-maaaaaaa!" Seru Mbak Rina saat aku berjalan menuju rumah sambil menarik koper. Sudah hampir 5 tahun sejak aku menikah, aku tidak pernah pulang sama sekali. Mbak Rina menatap keluar rumah dengan tatapan panik sepertinya takut ada tetangga yang melihatku lalu Mbak Rina cepat-cepat menutup pintu. Aku dengan cepat mendorongnya hingga pintu pun kembali membuka membuat tubuh Mbak Rina sedikit terdorong mundur. Mbak Rina segera menutup pintu lalu menatapku nyalang. "Makin menjadi-jadi saja kamu rupanya ya, Ka?! Ma, ma-maaa!" Teriak Mbak Rina yang langsung membuat mama berjalan kemari. Mata mama melebar saat melihatku, piring yang dibawanya terjatuh ke lantai menimbulkan bunyi bantingan keras. Serpihan piring pun berserakan di bawah kaki mama. "Astaghfirullah!! Di-kaaaaaa! Bisa-bisanya ka-mu pakai b3h4, Naaak!" seru mama sambil memegangi dadanya. Mbak Rina mendekat ke arahku lalu menaikkan bajuku yang bergambar love love ke atas. "Lepas, Dika! Lepas!" "Jangan, Mbak! Jangan." Tapi terlambat, Mbak Rina sudah melepas kaus yang kupakai sekaligus b3h4 yang kukenakan. Tanganku langsung menyentuh d**a yang membuat mata Mbak Rina langsung melebar. "Turunkan tanganmu!" Teriaknya. "Kamu nambah parah rupanya! Diusir dari rumah bukannya sadar malah semakin menjadi!" Mbak Rina berkacak pinggang. Aku diusir dari rumah oleh mama saat ketahuan sedang mencoba dres. Saat itu, aku mengatakan pada mama jika jiwaku adalah perempuan, itulah alasanku memakai dres. Keesokan harinya bukan hanya dres yang kupakai, tapi lipstik juga. Aku hanya menggunakannya di rumah tapi keluar rumah tidak. Tapi mama tidak terima, ia memintaku berhenti menyalahi fitrah tapi aku terus mengatakan padanya bahwa jiwaku sebenarnya adalah perempuan. Mama terus menentang perbuatanku dan puncaknya, aku diusir dari rumah. Dua bulan setelah diusir, aku bertemu dengan Mas Eri. Kami merasa cocok satu sama lain dan memutuskan untuk menikah. Satu bulan sebelum kami menikah secara siri, Mas Eri jujur padaku bahwa dia sebenarnya adalah perempuan. Aku tidak keberatan dengan hal itu karena aku terlanjur menyukainya. Aku bilang aku tetap mau menikah dengannya asal peranku tetap seorang perempuan dan dia yang sebagai suaminya. Mas Eri tidak keberatan karena dia pun merasa bahwa dia adalah laki-laki. Kami menjalani hubungan layaknya suami istri, tapi dia sebagai suami dan aku sebagai istri. Mas Eri berpenampilan seperti cowok pada umumnya sementara aku berpakaian layaknya perempuan, memakai b3h4 juga cincin dan gelang. Aku dan Mas Eri memiliki kesepakatan tidak akan pernah ada anak yang dihasilkan dari pernikahan kami. Kalaupun suatu saat ingin memiliki anak, maka lebih baik mengadopsi saja dipanti asuhan. Mas Eri sangat setuju permintaanku. Katanya, tentu saja dia tidak akan hamil karena dia yang sebagai suami, juga teman-temannya, tahunya dia adalah lelaki, bukan perempuan. Jika ada yang harus hamil, maka akulah orangnya karena aku yang sebagai istri. Tapi tentu saja aku tak mungkin hamil karena aku dilahirkan sebagai lelaki, namun jiwaku perempuan. Mas Eri, dia juga bernasib sepertiku. Dia diusir dari rumah oleh orang tuanya karena tidak mau menutup aurat. Mas Eri bersikeras tidak mau memakai jilbab karena jiwanya laki-laki. Katanya, apa yang akan dikatakan orang jika laki-laki pakai jilbab? Ayah Mas Eri sangat marah dan Mas Eri pun diusir. Dan karena aku yang sebagai perempuan, maka aku memanggil Mas Eri dengan sebutan Mas sementara Mas Eri memanggilku Dik. Nama lengkap Mas Eri, Erika Putri Salsabila, nama lengkapku Andika Pratama tapi di lingkunganku dan Mas Eri tinggal, para tetangga memanggilku Ika. "Ma, mama tidak papa, kaaan?" tanya Mbak Rina saat menatap ke arah Mama yang mengurut-urut dadanya. Mama menggeleng. "Mama tidak papa. Mama hanya kaget adikmu bisa semakin parah." Mama menatapku dengan wajah tak percaya. Mbak Rina menatapku jengkel. "Kenapa kamu tiba-tiba pulang, hah?!" tatap Mbak Rina sinis dengan tatapan semakin tak senang. Aku menunduk. Lalu kuceritakan kisahku yang membuat Mbak Rina tertawa dengan sorot merendahkan. Tangannya terangkat lalu men0y0r kepalaku. "Ha ha. Dika, Dika, lucunya kamu ini. Jelas suamimu bisa hamil karena kodratnya itu perempuan. Kamu sampai kapanpun tidak akan pernah hamil walau kamu merasa apalah itu, memalukan! Apa-apaan, ini!" Mbak Rini menarik kalung berbandul kupu-kupu di leherku. Aku hanya bisa menunduk. Dari dulu, aku tidak berani menentang Mbk Rina. Sebab setelah ayah meninggal, dia lah yang menjadi tulang punggung di rumah ini, dia juga yang menyekolahkanku hingga perguruan tinggi. "Sungguh memalukan kamu, Ka, Dika! Kenapa kamu tidak mati saja sih, Dik!" Lanjut Mbak Rina yang membuatku tersengal. "Jangan menangis!!" Teriaknya mengagetkanku. "Cowok tidak boleh menangis!" Teriaknya lagi dengan tatapan nyalang. Mbak Rina menatap koper di sampingku lalu dia mengembuskan napas keras. "Sakit hati kamu, hah, sampai pergi meninggalkan suamimu itu? Suami apa istri aku menyebutnya? Ha ha ha." Mbak Rina tergelak lalu tangannya mengetuk-ngetuk kepalaku. Aku hanya menunduk diam. "Mas Eri hamil, Mbak. Apa kata tetangga kami nanti masa dia yang sebagai suami malah yang hamil? Aku lebih baik pisah dengannya daripada malu. Juga anak yang dia kandung bukan darah dagingku." Karena selama berhubungan dengannya layaknya suami istri, aku selalu memakai peng4m4n, jadi tidak mungkin yang dikandungnya adalah anakku. Mas Eri mengatakan dengan jelas bahwa dia dil3c3hkan (baca: dip3rk0s4) orang dan akhirnya hamil. "Ha ha. Dika, Dika, pikiranmu aneh sekali. Kalau kamu mau tinggal di sini, maka kamu harus mengikuti aturan mbak. Pertama, kamu tidak boleh lagi berpenampilan seperti perempuan, kedua, kamu harus mau mbak jodohkan dengan adik teman mbak," kata Mbak Rina dengan wajah sungguh-sungguh. Mama mengangguk, mendukung ucapan mbk Rina. "Menikah, Mbak?" Aku menatap Mbak Rina tak percaya. "Dengan begitu, mbak tidak akan malu lagi pada tetangga yang bilang bahwa kamu jadi perempuan. Mbak ingin kamu mengembalikan muka mama! Mama jadi malu karena ulahmu. Jadi bagaimana, kamu mau mbak jodohkan tidak?" Tatapnya sungguh-sungguh. "Aku sebagai lelaki apa perempuan, Mbak?" tanyaku takut-takut. Kepalaku langsung dit0y0r kuat olehnya. "S0nt0l0yo kamu! Ya sebagai laki-laki! Kamu tidak boleh lagi pakai b3h4 dan semacamnya!" "Tapi ...." "Tapi apa?!" "Aku tisak bisa, Mbak." "Pasti bisa!" teriak Mbak Rina. "Kamu bisa asal sungguh-sungguh ingin berubah! Ingat dosa, Ka, dan kasihan juga pada mama yang jadi sakit-sakitan karena ulahmu." Aku menatap mama yang terlihat begitu kurus dan menunduk, merasa bersalah pada mama. "Ayo ikut Mbak sekarang." Mbak Rina lalu menarikku keluar rumah, dibukanya pintu mobil dan kami pun berhenti di salon. Mbak Rina memerintahkan rambut sepinggangku dicukur cepak lalu mbak Rina membelikanku beberapa setelan cowok. Setelah itu, kami pun pulang. Mbak Rina ternyata tidak main-main dengan ucapannya, sore harinya, dia langsung mengajakku ke rumah adik temannya. Kami disambut ramah oleh seorang perempuan paruh baya yang sebelumnya telah diberitahu bahwa kami akan datang. "Tante, ini Andika adikku." "Ooh, jadi ini Andika yang sering kamu ceritakan itu? Yang kerja di luar negri?" Mbak Rina mengangguk mengiyakan, pasti Mbak Rina sudah bercerita yang tidak-tidak tentangku. "Oh, ya, mana Laila, Tan?" Mbak Rina celingukan. "Laila, Lail." Yang dipanggil Laila pun keluar, perempuan semampai bertubuh ramping memakai jilbab pink lembut itu mengangguk sopan padaku lalu duduk di seberangku. "Ini lho adikku, Lail, yang sering mbak ceritakan," kata Mbak Rini. "Om mana, Tan?" tanya Mbak Rina kemudian yang langsung membuat wajah perempuan paruh baya di hadapan kami sedih. "Sedang menjemput kakaknya Lail. Oh itu ternyata sudah datang," jawabnya sambil menatap ke arah pintu. Tampak seorang lelaki paruh baya tengah menarik tangan perempuan berjilbab. Lelaki tua itu berhenti menyadari kehadiran kami lalu dia mengangguk sopan padaku. "Ada tamu rupanya," ucapnya lalu menyalamiku. Pada Mbak Rina beliau tersenyum lebar, sepertinya begitu akhrab dengan kakakku. Perempuan berjilbab yang tadi menangis sesenggukan kini perlahan mengangkat kepala. Matanya membeliak lebar saat melihatku. "Dik I-ka!" Serunya kaget. Sama kagetnya denganku yang melihatnya pakai jilbab. Semua yang ada di ruangan ini pun langsung saling pandang, menatapku dan Mas Eri bergantian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD