3

943 Words
Lelaki paruh baya itu menatap Mas Eri dengan kerut heran. "Siapa Dik Ika?" tanyanya, dia menatap Mas Eri kemudian menatapku. Saat aku menoleh ke sampingku, wajah Mbak Rina terlihat tegang penuh ketakutan. Kakak perempuanku ini terus meremas-remas tangan di pangkuannya. Jelas Mbak Rina paham dengan perempuan berjilbab itu karena setelah aku dan Mas Eri menikah secara siri, kukirimkan foto-foto pernikahanku padanya melalui pesan WA agar ia tahu bahwa tanpa tinggal di rumah pun aku bisa bahagia. Cukup banyak foto yang kukirim, aku mengenakan gaun pengantin cantik sementara Mas Eri memakai jas warna hitam dengan kopiah bertengger di kepalanya. Mbak Rina membalas pesan WA yang kukirim hanya dengan satu kata, 0rgil yang artinya orang 9ila. Lalu setelah itu diblokirnya nomerku. Sedih? Jelas. Karena Mbak Rina maupun Mama tidak mau memahamiku yang sebenarnya adalah perempuan tapi terjebak di tubuh yang salah. Demi Mbak Rina agar tidak malu, aku pun menuding dadaku sendiri. "Kamu panggil aku Dik Ika? Siapa itu Dik Ika?" tanyaku pura-pura tidak kenal dengan suara kutegas-tegaskan. Wajah Mbak Rina yang tadinya terlihat begitu menyimpan beban kini tampak lega. Mata Mas Eri melebar tak percaya. "Dik, kamu lupa pada Mas?" Dia berjalan mendekat. Saat semakin dekat, tangannya langsung disambar oleh ayahnya. "Bicara ngelantur, kamu. Maafkan anak saya, dia agak terguncang. Sebentar saya antar dia ke kamarnya dulu." Lalu ditariknya tangan Mas Eri masuk ke dalam kamar dan terdengar ucapan yang cukup keras. "Memalukan!" Mungkin saja Mas Eri dimarahi karena dia hamil, atau karena penampilannya yang seperti laki-laki. Apa pun alasannya, aku sekarang sedikit lega karena Mas Eri sudah pergi dari sini. Sama sepertiku, wajah Mbak Rina juga tampak lega. Setelah perkenalan yang menurutku membosankan karena Mbak Rina ngelantur bicara ini itu yang tidak penting(mengarang cerita bahwa aku kerja di luar negri) akhirnya kami pun pulang. Sesampainya di rumah, Mbak Rina langsung memberondongku dengan berbagai pertanyaan. "Bagaimana? Apa kamu suka Lail? Dia gadis baik sudah mbak anggap seperti adik sendiri. Kakaknya sama mbak sangat dekat tapi kakaknya sedang tidak di rumah, tadi. Jadi, apa kamu mau menikah dengan Lail? Kalau Lail, dia pasti mau. Terlihat sekali bahwa Lail tertarik padamu, Dika. Mbak senang sekali melihatnya tampak begitu malu-malu padamu, sebentar-sebentar tersenyum dengan tatapan seolah menyimpan harapan." Mbak Rina menatapku dengan senyum manis di bibir tipisnya, aku menarik napas. "Aku kaget karena ternyata Lail adiknya Mas Eri." TAK!! Secepat kilat tangannya mendarat di kepalaku membuatku langsung meringis. Aku menatapnya protes. "Jangan panggil dia dengan sebutan Mas, Dika! Mau muntah mbakmu ini dengarnya! Alamaaak, kamu ini!" TAK! Kembali dijitaknya keras kepalaku. Aku hanya bisa menarik napas. Mama yang melihatku diocehi Mbak Rina berjalan mendekat, ia mengusap punggungku lembut. "Dika, kamu pasti bisa! Semangat! Semangat!" ucap mama menyemangati. "Harus bisa!" Tegas Mbak Rina menatapku tajam. "Kamu pasti bisa!" ucap Mama lagi dengan mata berkaca-kaca. Aku memeluk Mama karena terharu dia ternyata masih terlihat menyayangiku padahal aku sudah mengecewakannya. "Ayo ikut mama, Dika." Mama menarikku menuju kamar yang di tata rapi. Di dinding terpajang foto-fotoku dan Mama juga Mbak Rina. "Itu kamu anak mama." Mama menatap foto-foto itu bergantian, aku juga. "Gagah," kata Mama lagi. Lalu mama menatap cermin besar yang memantulkan tubuh kami berdua. "Tatap tubuhmu, Nak, kamu laki-laki gagah, mirip seperti ayahmu. Ganteng dan berkharisma." Mama mengucapkannya sambil terisak. Aku yang terbawa perasaan pun ikut terisak-isak. "Hiks, hiks." Aku mengusap air mata di pipiku. "JANGAN NANGIS!!!" Teriakan itu membuatku dan Mama seketika menoleh. Mbak Rina menyentak napas keras di ambang pintu, dia berjalan cepat mendekat lalu men0y0rku yang terus terisak, tanganku sesekali terangkat dan mengusap mataku yang basah. "Sungguh memalukan kamu Dika! Tidak boleh lelaki menangis sampai tersengal-sengal seperti itu!" Mbak Rina menyentak napas keras. Mama mengangguk membenarkan ucapan Mbak Rina. "Aku bisa terima mbak menentang aku berpenampilan perempuan, tapi menangis, semua orang bisa menangis jika sedang sedih." Belaku yang langsung mendapat toy0ran dari satu-satunya kakakku ini. "Boleh, kamu memang boleh menangis! Semua orang bisa menangis! Tapi kamu laki-laki jadi tidak boleh menangis sampai tersengal-sengal seperti itu! Laki-laki itu jika menangis, hanya boleh keluar air mata tapi tidak boleh tersengal-sengal! Paham, Dika?!" "Ya mbak, paham." Aku menunduk tanpa perlawanan. Jiwaku adalah perempuan jadi tiap dibentak aku pasti akan sedih. Mbak Rina tiba-tiba mengusap lembut bahuku, tatapan perempuan ayu di hadapanku terlihat penuh sayang saat dia berkata dengan lembut, "Kalau kamu mau berusaha, kamu pasti bisa, Dika. Pasti bisa. Dulu saja kamu bisa. Percaya pada Mbak, kamu pasti bisa." Aku menatap foto-fotoku di dinding, terlihat keren dan gagah. Ya, itu aku, foto yang diambil saat remaja. Ada juga foto yang diambil setelah aku wisuda, bersandar di mobil dan tersenyum pada kamera. Saat foto itu diabadikan, aku sebenarnya tengah berperang batin aku sebenarnya adalah lelaki atau perempuan. Fisikku memang lelaki tapi aku terus merasa bahwa aku adalah perempuan. Dari SD sebenarnya, aku sudah merasa bahwa aku berbeda, tapi terus menahan keinginanku hingga puncaknya saat aku wisuda, aku bergelut dengan diri sendiri, semakin yakin bahwa aku perempuan, tapi terjebak dicangkang aneh ini. "Jadi, kamu pasti bisa. Semangat, ya?" ucap Mbak Rina terus menyemangati. Ia yang tampak begitu menyayangiku membuatku terharu dan kembali terisak. Mata Mbak Rina melebar. "Jangan menangis, Di-kaaaa!" katanya dengan gemas. Aku langsung mengusapi air mata di pipiku. "Semangat. Kamu pasti bisa," katanya. Lalu tiba-tiba Mbak Rina menatapku terus menerus dan tersenyum geli. "Mbak mau tanya dan jawab yang jujur." "Apa, Mbak?" tanyaku penasaran. Mbak Rina menahan senyumnya. "Tapi jawab yang jujur tanpa ditutup-tutupi, ya?" Aku mengangguk penasaran. Bukan hanya aku, mama juga terlihat penasaran dengan ucapan Mbak Rina. "Kamu sama si Erika itu, apa ...." Mbak Rina menyatukan dua jari telunjuknya dengan tatapan terus lekat ke wajahku. "Melakukannya atau tidak?" tanyanya begitu penasaran. Mama juga terlihat penasaran. Aku .... haruskah mengatakannya pada Mbak Rina? Baiklah, akan kukatakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD