PART 8 - SUAMI DARI ISTRI SIRI SUAMIKU.

2021 Words
Di sebuah rumah dengan dinding yang berwarna cream, tepatnya di sebuah kamar, tampak seorang lelaki tengah bersiap berangkat ke suatu tempat. Postur tubuh dengan tinggi kira-kira seratus delapan puluh centi dan berkulit kuning langsat dengan tatanan rambut rapi, karena baru saja ia sisir. Sekilas siapapun yang melihat pasti akan mengatakan lelaki ini tampan sekali. Garis rahangnya tegas, sorot mata tajam dan memiliki hidung yang mencuat mancung, dengan bagian dagu yang jika diperhatikan seksama memiliki dagu yang nyaris terbelah di bagian ujung. "Oke, Prasetya. Aku sepertinya sudah rapi dan cukup tampan." Lelaki itu bergumam sendiri. "Sayang, tampan saja tidak cukup sebagai modal utama meraih seorang pendamping." Ia terkekeh sendiri. Nasib-nasib! Malam ini ia akan pergi ke sebuah café, sesuai perjanjian dengan seseorang. Ponsel yang ia letakkan di atas meja rias berbunyi nyaring. Sudut matanya melirik sebentar demi membaca sebaris nama yang terlihat dari layar berbentuk pipih itu. Anton! Ternyata dari sang asisten, lelaki satu-satunya yang menjadi karyawan kepercayaannya, Anton. Tangan yang penuh dengan bulu halus itu terulur dan meraih ponsel untuk ia dekatkan ke telinga. "Hallo." "Pak bos, masih lama gak?" Suara ramai terdengar dari seberang sana. Kening lelaki itu mengernyit. Sepertinya Anton sudah sampai di tempat pertemuan mereka. "Sebentar lagi, saya sampai," jawabnya pelan sambil melirik kembali ke arah kaca. Kembali memeriksa penampilannya. Astaga! Aku kan cuma ketemu Anton! "Sejak setengah jam yang lalu Pak Bos bilang sebentar lagi. Tapi gak sampai-sampai. Pak bos itu pergi ke mana sih? Yakin ke tempat yang saya beritahu tadi siang?" Lelaki tampan yang bernama lengkap Prasetya Alfarizi itu mendengus kesal. "Anton, saya sedang dalam-" "Pras! Pras! Kamu dimana!" Panggilan kencang terdengar dari arah luar kamar. Pras berdecak. Pasti Mama! "Anton saya on the way." Begitu saja, setelahnya ia menutup ponselnya. Baru saja ia membuka pintu, tampak seorang wanita menghampiri. "Pras, kamu sudah menemukan calon-" "Ma, aku gak sempat." Pras mengangkat tangannya sebagai isyarat, agar wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini berhenti bicara. "Aku ada urusan." Pras berjalan dengan tergesa ke arah pintu. "Pras, Mama mau bicara!" Wanita yang berstatus ibunda dari Prasetya itu memekik kencang. Mendesah pelan, karena Pras sulit sekali bicara dengan cinta pertamanya ini. "Mama. Please!" Pras sedikit memohon. Rena tak mau kalah. Ia mendatangi putranya. "Mama janji kali ini calon istri kamu wanita baik-baik.," ucap Rena dengan wajah bercahaya. Dengan malas-malasan Pras memandang Mamanya. Ia menatap langit rumah sebentar sambil menghembuskan napas. "Kemarin juga Mama bilang gitu kan? Wanita yang Mama pilihkan wanita baik-baik, tapi nyatanya?" "Itu salah kamu! Seharusnya kamu gak ceraikan dia." Kok aku yang disalahkan sih? Jelas Pras tidak terima. "Ma! Maksud Mama aku harus biarkan wanita itu di luar sana entah dengan siapa, sementara statusnya masih menjadi istri aku?" Oh, itu bukan sifat dia sama sekali. Mempertahankan wanita yang tak mau didekatnya? Lebih baik dia lepaskan dan dia bebas. "Harusnya kamu pertahankan dong Pras. Susah-susah Mama cari calon buat kamu." Rena bersikeras. "Mama." Wajah Pras mengenaskan sekali. Ini kenapa dia seperti laki-laki yang amat sangat tidak laku sekali ya! "Jangan bilang kamu bisa cari istri sendiri, setua ini kamu bahkan gak pernah bawa pacar ke rumah ini, semenjak-." "Mama." "Jangan bilang gosip tentang kamu itu benar Pras!" tuduh Rena dengan wajah seram. "Gosip? Gosip apa Ma?" "Kalau kamu sama Anton ...." "Ma! Astaga!" Pras ingin sekali memukul wajah siapa saja di luar sana, orangnya yang telah membuat gosip seperti itu. Astaga! Masa dia dengan Anton! "Kamu gak pernah jalan sama perempuan sejak putus dari pacar kamu itu. Dan Mama gak pernah melihat Anton bawa pacar juga ke rumah ini." Pras mengerjap. Tak percaya ibunya tega bicara seperti itu. "Ma, Anton itu bekerja sama aku. Masa dia bawa pacar selama mendampingi aku, masa dia bawa pacar kalau mau ke sini? Kalau pun dia bawa pacar, ya dia bawa ke tempat kost dia dong." Iya juga sih. Rena manggut-manggut. "Tapi setiap acara kantor, Anton juga selalu sendiri." "Dan apakah menurut Mama, itu urusan aku?" Gak juga sih! Rena jadi bingung. "Tapi kalian selalu bersama kemana-mana. Itu yang membuat Mama takut." Kini Rena tak lagi menyembunyikan kekhawatirannya. "Ma, Anton bekerja sama aku. Jadi bukan hal yang aneh kalau kami selalu terlihat bersama. Anton gak akan bisa jauh dari aku, karena sehari saja dia gak muncul, aku akan potong gajinya." Ponsel Pras berbunyi. Pras melirik sebentar. "Dari siapa?" tanya Rena penasaran. "Anton." Setelah itu Pras berlalu pergi. Sebelum asistennya kembali bertanya gak sabaran. "Tuh kan!" Rena mengepalkan telapak tangannya erat. "Pras, kamu mau kemana? Mama belum selesai bicara!" Tapi panggilan Rena sama sekali tak dipedulikan Pras. Lelaki itu langsung menuju mobil Pajero hitamnya dan melaju pergi. "Prasetya! Awas kalau kamu gak mau mama jodohkan lagi, mama benar-benar paksa kamu nikah lagi kayak kemarin. Astaga Pras! Kamu itu tampan, kaya, tapi susah amat cari istri. Jangan kata cari istri, pacar saja kamu gak punya! Terus Mama mau sampai kapan gak punya menantu perempuan." Geram sudah Rena jadinya. Bukan ia tidak berusaha mencari seorang wanita untuk anaknya. Ia bahkan sudah mencari wanita baik-baik dan berharap bisa menjadi istri untuk anaknya. Tapi nyatanya, wanita itu hanya bertahan sebulan menyandang status menantunya. Kabarnya, setelah bercerai dari anaknya, dia sudah menikah lagi. Sedang putranya? Astaga, dia jadi kepikiran perihal gosip di kantor tentang anaknya. Gak, Pras gak mungkin seperti itu. Itu pasti cuma gosip. Tapi aku harus membuktikan sendiri. Pras mendesah. Ia selalu pusing jika disibukkan urusan jodoh. Enam bulan lalu menikah dengan resepsi besar-besaran, tapi hanya satu bulan pernikahan mereka berjalan. Satu bulan di atas kertas, sejujurnya ia hanya semalam sekamar dengan istrinya itu, dan seminggu mereka satu atap. Mengenaskan sekali! Sudah cukup ia bak boneka ibunya. Menuruti semua kemauan ibunya. Entah apa dosanya, hingga belum bertemu wanita yang pas dengan hatinya. Bukan belum, dulu ia pernah jatuh cinta, tapi ditinggalkan ketika cinta tengah menggebu. Setelah itu ia tak lagi berselera memiliki kekasih. Bukan karena ia sudah tak menyukai wanita, tapi ia ingin merasakan jatuh cinta seperti dulu. Mobilnya berhenti di sebuah café yang lumayan nyaman. Tidak begitu ramai dan bising. Begitu keluar dari mobil, sang asisten sudah berdiri menyambut kedatangannya. "Sudah pesan meja?" tanya Pras lagi. "Sudah, nomer sembilan belas." Lalu keduanya masuk ke dalam area café sebelah kanan. Sementara Nurul dan Joya area café sebelah kiri. Pras duduk dan memandang sekeliling. "Bagaimana Pak Bos cafenya? Nyaman?" Anton bertanya. Sudah sejak tadi ia menunggu atasannya ini, bak orang menanti kekasih. Untung ia sabar. Setiap di telepon bilang sudah jalan-sudah jalan, nyatanya gak sampai-sampai. Untung bos, untung kasih gaji besar, kalau gak? Ya gak apa-apa sih. Bos kayak Pras ini langka! Anton gak akan mau berhenti dari pekerjaanya. Bagaimana tidak enak? Ia mendapat gaji besar di kantor. Lalu kalau diminta menemani bak orang yang tengah galau, Pras tak segan-segan memberinya tip yang lumayan bisa buat makan selama satu minggu. Jadilah Anton yang jomblonya belum usai, setia menemani kemana saja bosnya pergi. Padahal sekalipun mereka ke cafe yang paling mahal juga, mereka akan sama-sama sibuk dengan ponsel! Buang-buang uang kan? Mau main ponsel di rumah saja bisa! Tapi sekali lagi, ini uang bosnya, jadi Anton gak keberatan sama sekali! "Nyaman, baguslah." Pras membuka ponsel dan mulai membuka sosial media. "Pak Bos, mau tahu gak kabar mantan istri Pak Bos?" Tubuh Pras menegang. Ia menoleh ke arah Anton yang sedang tersenyum. Pras mengerjap. Ia mendesah dengan mengalihkan wajahnya ke samping dan matanya bertemu dengan pengunjung yang lain. Kening Pras mengernyit. Lalu menoleh lagi ke arah Anton. "Anton, kamu bisa gak kalau senyum sama aku tuh biasa saja," protes Pras kesal. "Hah! Maksudnya?" Anton tidak mengerti. Pras membetulkan duduknya. Gesture tubuhnya tak nyaman. "Kamu sadar gak sih, kita itu udah kaya pasangan sesama jenis," bisik Pras. "Astaga!" Beruntung Anton tidak sedang minum. Bisa tersedak dia. "Pak Bos, aku masih normal." Anton menarik tubuhnya sedikit menjauh. Enak saja! Dikata cewek sudah punah apa di dunia ini? Pras menghembuskan napas. "Aku tahu, dan aku pun normal. Tapi Mamaku tadi membahas hubungan kita." "Jangan bilang Mama Pak Bos menyangka ...." "Ya, Mama sudah menyangka." Anton geleng kepala. Aduh, gusti! Bisa kena ocehan dari bunda ratu ini sih! "Ngomong-ngomong." Pras menggaruk dagu nya perlahan sambil menatap Anton. "Kamu sudah punya pacar?" Anton menggeleng. Tumben nanya. "Kenapa?" tanya Pras lagi. Kekehan terdengar dari mulut Anton. "Belum ketemu yang cocok." Pras mengangguk. Ia menatap ke arah meja. "Minumanku yang kedua belum datang?" Pras mencoba mencari pelayan yang mungkin segera datang. Tapi tak ada. Jangan bilang lupa! Dia selalu memesan dua macam minuman kalau ke cafe. "Sebentar saya tanya ke kasir ya bos." Anton bangkit berdiri. Sementara Nurul berdecak ketika minumannya habis. "Mana sih pelayan Joya? Kok minuman ke dua aku belum di antar." Joya melirik ke arah meja pelayan resto. "Nanti aku tanya pelayan ya Bu bos." Joya bangkit berdiri. Ketika ia mendekati meja pelayan, ada orang yang juga datang dengan waktu yang bersamaan. "Mbak pesanan untuk meja nomer sepuluh mana ya?" tanya Joya. "Mbak pesanan untuk meja nomer sembilan belas kok belum diantar." Joya menoleh dan pandangan mereka bertemu. Sontak keduanya sama-sama tersenyum. Sama-sama pengunjung yang telat diantar minuman! Restoran ini kenapa sih! Masa lupa! "Ini pesanannya buat nomer sepuluh dan nomer sembilang belas." Dua gelas sudah diletakkan di depan Joya. "Maaf agak telat ya." Pelayan itu tersenyum penuh penyesalan. Joya membawa minuman di depannya dengan kertas kecil yang menempel di gelas. Begitupun Anton yang kini ada di samping Joya membawa gelas pesanan atasannya. Baru beberapa langkah keduanya meninggalkan kasir, serentak mereka sama berbalik. "Gelasnya tertukar!" Keduanya mengerjap dan tertawa. "Maaf, saya salah ambil." Anton menyerahkan gelas di tangannya pada Joya. "Iya, saya juga salah ambil. Maaf ya." Kini gelas keduanya sudah berada di tangan yang benar. Mereka sama terdiam, seolah masih ada yang ingin mereka perbincangkan. "Untung belum diminum sama Bu Bos." Joya tersenyum. "Iya, untung Pak bosku belum minum juga, repot kalau udah diminum." "Lho itu buat bos kamu?" tanya Joya. Kok samaan! "Iya, ini buat bos aku. Pak Prasetya Alfarizi." Joya mengangguk. Lalu keduanya terdiam. "Itu buat bos kamu juga?" Anton balik bertanya. "Iya buat Bu Nurul Azizah." Kening Joya melipat. Kok dia seperti pernah mendengar nama itu. Dimana ya? "Kalau nama kamu siapa?" tanya Anton iseng. "Oh nama aku?" Joya menunjuk dirinya. "Iya." Tiba-tiba Anton tersenyum. Gadis ini manis sekali senyumnya. "Aku Joya." "Kenalkan aku Anton." Anton mengulurkan tangan. Mereka berjabat tangan. "Kalau begitu aku ke meja bosku dulu ya." Joya pamit. "Oh ya silahkan Joya. Sampai ketemu lagi ya." Anton ikut tersenyum sambil berlalu pergi. Joya tersenyum dan melangkah ke arah Nurul. "Lama amat sih." Nurul protes. "Maaf bu bos, soalnya tadi gelas minumnya ketuker." "Lho kok bisa?" Nurul segera menyeruput minuman yang baru saja Joya bawa. Menatap gelasnya memastikan jika memang tidak tertukar. "Soalnya meja kita nomer sepuluh, meja mereka nomer sembilan belas." "Mereka?" Masih menikmati aliran air yang masuk ke tenggorokannya, Nurul meraih kembali kartu nama di tangannya dan memainkan di atas meja dengan mengetukkan jarinya. "Iya soalnya-astaga!" Joya menjerit tertahan. "Kamu kenapa?" tanya Nurul Joya menunjuk ke arah yang berlawanan dengan mereka. "Bu bos ikut ayo." Joya begitu saja menarik tangan Nurul supaya bangkit berdiri. "Joya ada apa sih?" Nurul berusaha melepaskan cekalan tangan asistennya. "Itu yang tadi ketuker gelasnya itu lho. Pokoknya ikut, cepat." Nurul merasa ini genting. Jadinya ia ikutan. Joya melarikan matanya ke sekeliling ruangan. "Kok gak ada ya?" Lalu ia ke pinggir cafe yang menampilkan lahan parkir. "Ah itu mereka." "Hey Anton! Tunggu aku!" teriak Joya kencang. Merasa yang dipanggil tak menjawab, Joya begitu saja berlari ke bawah. Nurul semakin heran melihat asistennya berlari bak kesetanan. "Joya tunggu!" Jadilah ia ikutan berlari ke bawah. Ini ada apa sih? Siapa Anton? Menemukan Joya terengah-engah, Nurul jelas heran. Apalagi asistennya itu memandang mobil yang berlalu pergi. "Kita terlambat, Bu bos." Wajah Joya meringis sekali. "Joya, kamu bilang sama aku, kamu itu kenapa?" "Itu!" Tangan Joya menunjuk ke arah mobil yang sudah menghilang. "Dia, yang tadi itu adalah Prasetya Alfarizi, suami Sekar." "Apa?" Nurul terlonjak kaget. Matanya menatap ke arah jalanan. Mobil itu sudah menghilang di ujung jalan. Kebetulan sekali ia hampir bertemu dengan suami dari istri siri suaminya, itu. Sayang telat. Andai tadi ia tahu, ingin sekali ia bicara. Nurul menatap sekali lagi kartu nama di tangannya. Prasetya Alfarizi. Suami dari istri siri suamiku. Ini kenapa ribet amat ya aku sebutnya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD