PART 9 - PRAS DAN ANTON.

1659 Words
Mobil Pras masuk carport dengan cepat dan menimbulkan decitan ban di telinga. Sungguh ia kesal sekali terhadap wanita yang sama sekali tidak percaya dengan penjelasannya. Sayang ia tak bisa melawan karena takut dikutuk menjadi batu! Bagaimana tidak, sedang menikmati minuman di cafe, dan bersantai ria, tiba-tiba sang bunda menelpon. "Mama mau kamu dan Anton pulang sekarang juga! Mama menunggu di rumah!" "Mama, aku sedang-" "Perlu Mama yang kesana Pras?" Makjleb kalau dia sudah mendengar ancaman sang bunda yang seperti itu. Jadilah ia langsung bangkit. "Mau kemana Pak Bos?" tanya Anton heran. "Pulang!" Pras bergerak. Tumben! Dahi Anton melipat. Pras yang sudah dua langkah bergerak, kembali menoleh ke belakang. "Anton, kamu ikut saya!" "Kemana Pak Bos?" "Ck, tanya lagi! Pulanglah!" "Maksudnya saya disuruh pulang gitu?" Demi apa, Anton jadi lola begini? Berbalik perlahan dan kembali menghadap Anton, Pras bertitah. "Sekarang kamu ikut saya kemanapun saya pergi, kalau gak mau gaji kamu saya potong." Melihat atasannya bergerak, buru-buru Anton bangkit. Ancamannya selalu gaji! Pras membanting pintu mobilnya dengan keras, membuat Anton tersentak kaget. Ia mengusap dadanya. "Untung gaji aku besar kerja sama dia, kalau kagak? Bisa tekor aku setiap bulan cek kesehatan jantung aku." Sambil menggeleng, Anton ikutan keluar dari mobil. Tentu saja ia keluar dengan pelan dan menutup pintu pelan pula. Ini bukan mobilnya, bisa repot kalau dia ikuti kelakuan bosnya. Anton tidak tahu apa yang terjadi ketika tiba-tiba bosnya memberi titah untuk pulang ke rumah. Seingatnya bos nya hanya menerima telepon saja. Dan ia pun sedang sibuk ber-medsos ria. Ia nyaris bersiul ketika akan memasuki teras, tapi langkahnya berhenti ketika melihat sosok atasannya bak patung yang berdiri tegap. "Kalian memang berdua terus ya?" Rena berdiri di ambang pintu layaknya seorang ibu yang menangkap basah putranya yang pulang malam. Anton meneguk ludahnya. Pemikiran gila terlintas di benaknya. "Ck, Ma. Mama ada perlu apa sama kami berdua?" Jika tidak mengingat sang Mama ini adalah wanita yang telah melahirkan dirinya ke dunia ini, mungkin Pras tak akan mau waktunya diganggu. Baru saja ia nyaman di café, ponselnya berteriak nyaring. Dan pelakunya ini adalah sang Mama. Yang tiba-tiba meminta dia pulang bersama Anton! Rena menyipitkan matanya pada Pras dan juga Anton. "Mama memang ingin bicara pada kalian berdua. Masuk!" Mengkode lewat matanya, membuat Pras dan Anton menurut. Jika di kantor, Pras mungkin atasan yang paling tegas. Tapi jika di depan sang Mama, dia layaknya anak kecil seperti yang kini Anton lihat. "Kalian dari mana?" Rena menatap bergantian pada Anton dan Pras. "Dari café Ma." Pras yang menjawab dengan sikap malas. Mereka berdua, Pras dan Anton sudah menduduki sofa di ruang tamu. Rena masih berdiri bak satpam komplex. Rena menoleh ke arah Anton. Seolah menuntut Anton menjawab juga. "Benar kok Tante, kami dari café berdua." "Kalian hanya berdua ke café?" Rena menatap horror. "Jangan bilang gossip yang Mama dengar itu benar Prasetya Alfarizi!" pekik Rena. "Ma." Pras berdiri. "Gak Tante!" Anton ikutan berdiri. Tiba-tiba suasana mencekam. "Saya ke café sebelum bertemu sama Pak Pras saya ketemu pacar saya kok." Kepala Pras tertoleh cepat ke arah samping. "Pacar?" Rena dan Pras bertanya bersamaan. "Iya, saya sudah punya pacar. Beneran." Anton memberikan dua jarinya ke depan wajah. Gila aja aku dituduh suka ama Pak Bos. Suka sih, suka uangnya aja yang dia kirim tiap tanggal satu. Pras mencoba menangkap kejujuran dari sang asisten. Mungkin Anton berbohong. "Siapa namanya?" Rena bertanya tidak percaya. "Joya! Namanya Joya!" Anton menjawab pasti. Sebuah senyum tercetak di sudut bibir Anton. "Anaknya cantik, ramah dan murah senyum." Pras menyeringai. Jangan bilang Anton mulai gila! Sejak tadi mereka berdua di café. "Kamu gak bohong?" selidik Rena. "Beneran kok Tante, saya gak bohong. Tadi saya ketemu Joya dulu sebelum ketemu Pak Pras." Anton nyengir. Itu benar kan? Namanya Joya! "Oke." Rena mengangguk. Kembali menoleh pada sang putra kesayangannya. "Pras, kamu lihat. Anton bahkan sudah punya pacar." Anton bernapas lega, berbeda dengan Pras yang menggeram dalam hati. Apa hubungannya coba! Ya kali Anton kecebur, aku ikut kecebur juga. "Oh ya, Anton. Kapan kamu mau kenalkan pacar kamu itu, siapa tadi namanya, Joya?" Anton meneguk ludahnya. Maksudnya? "I-iya Tante, namanya Joya." "Kapan kamu mau bawa Joya ke hadapan Tante?" Anton mengedip dan melirik atasannya. Pras mengernyit seolah ikutan bingung atas sikap anak buahnya ini. "Me-memang sejak kapan karyawan Pak Bos harus memperkenalkan pacarnya pada Ibu Pak Bos?" Sungguh, Anton hanya spontan bertanya. "Sejak malam ini. Dan kalau kamu terbukti bohongi Tante, Tante akan minta Pras potong gaji kamu lima puluh persen bulan ini." Anton melotot. Demi apa? "Sekarang Mama pulang, Pras." Rena begitu saja berjalan ke arah pintu. Meninggalkan Pras dan Anton yang berdiri termangu. "Lain kali kalau bohong pikir-pikir dulu!" Pras membentak asistennya yang bodoh menurutnya. "Saya tidak berbohong Pak Bos. Saya memang ketemu Joya di restoran tadi." Mengerjap sambil memandang Anton, Pras mencoba percaya. "Jadi, Joya pacar kamu itu, benar?" "Oh kalau itu bukan. Saya memang berbohong." Anton nyengir kuda. "Kalau begitu bulan ini kamu siap-siap ada pemotongan gaji." "Lah, loh! Kok gitu?" Anton kalut. "Sekarang aku tanya kamu, kamu itu ketemu Joya kan?" "Iya." Anton mengangguk. "Tapi dia ... bukan pacar kamu." "Iya." "Lalu siapa dia?" selidik Pras. "Oh, hanya perempuan yang sama-sama datang ke café tadi, dan saya kenalan karena gelas kami tertukar." "Nah udah. Bereskan! Jadi gaji kamu tetap saya potong." "Tapi kenapa?" Pras berdecak dalam hati. "Memang kamu bisa mendatangkan si Joya-Joya itu kemari?" Anton menggeleng. "Itu alasan gaji kamu bakal dipotong." "Dan bagaimana jika saya bisa bertemu Joya?" Pras terkekeh. Segitu luasnya Jakarta? "Saya kasih kamu bonus sebulan gaji." "Iyesss!" Anton bersorak. Tapi hanya sebentar. "Tapi aku cari Joya kemana ya?" Joya membuka pintu tempat tinggalnya. "Silahkan bu bos. Bu bos mau langsung istirahat apa tidak? Tapi kita berbagi kasur ya?" Joya cengengesan. Maklum kamar cuma satu di tempat kostnya. "Hmmm." Nurul duduk di sofa menutup mata. "Joya." "Ya bu bos." Hembusan napas terdengar dari mulut Nurul. "Kenapa ya hidupku gak pernah beres?" Mata Nurul membuka. "Padahal aku ingin lho kayak yang lain, bisa punya keluarga. Berharap aku akan punya suami yang sayang sama aku, aku bisa mengandung anaknya. Bisa merasakan kebahagiaan menjadi seorang ibu, dengan suami yang cinta-cinta dan cintaaaaa sama aku." Seolah mendalami kata-katanya, Nurul melebarkan kedua lengannya ke udara. Joya mengangguk. Kasihan Bu bos. "Tapi kok susah ya. Pacaran, aku gagal terus. Sekalinya nikah, aku dimadu. Kok hidup aku ngenes amat ya!" Tersenyum sambil mengusap bahu atasannya, Joya memberi semangat. "Mungkin jodoh bu bos yang sebenarnya belum datang." Mulut Nurul cemberut. "Terus si Lukman itu?" "Ya siapa tahu dia hanya jodoh numpang lewat, kayak kang paket. Cuma datang sebentar lalu pergi." "Seharusnya aku gak nikah sama Lukman." "Benar." "Seharusnya aku bisa dapat lelaki yang lebih-lebih dari Lukman." "Benar juga." "Tapi, kira-kira aku bisa dapat gak ya?" Nurul menatap Joya dengan sendu. "Semodel Lukman aja aku dikhianati. Astaga!" Nurul menjambak rambutnya. "Bu bos sabar. Orang sabar pahalanya lebar." "Joya, kamu sudah punya pacar?" Joya menggeleng. "Sudah pernah jatuh cinta?" Joya tersenyum. "Oh ya? Dengan siapa?" Ah, Joya malu. "Huh! Pasti kamu bohong. Kamu tuh sama kayak aku, jomblo terus." Lah, bu bos. Katanya nanya, dijawab juga belum, sudah memvonis. "Oh ya Joya." Nurul bangkit berdiri. "Besok pagi, kita ke kantor siapa tadi?" Nurul kembali membaca kartu nama yang dia ambil dari dalam tasnya. "Prasetya Alfarizi." "Be-besok bu bos?" "Hmmm, aku ingin bertemu lelaki ini. Ah, sayang kita gak ketemu tadi. Padahal aku penasaran seperti apa orangnya itu." "Kan saya sudah bilang bu bos. Orangnya super ganteng pokoknya." Nurul mengembuskan napas. "Oke, sekarang kita tidur. Besok kita ke butik. Aku ganti baju di sana, baru kita ke tempat si Prasetya ini." "Baik bu." Joya mengangguk dan melangkah mengekori Nurul ke dalam kamar. Nurul menguap dan langsung begitu saja merebahkan tubuhnya dan menutup mata. Sebentar saja, ia sudah terlelap. "Hadeh kasihan amat ya bu bos. Pasti lelah lahir batin. Lagian Pak Lukman, bisa-bisanya nikah sama Sekar dan Bu Nurul juga. Maruk amat sih." Di rumah Prasetya. "Anton, besok pagi apa jadwal saya?" Anton bergegas membuka ponselnya. "Pagi ada pertemuan dengan klien." "Lalu?" "Ada beberapa meeting penting setelahnya." "Sipp." Pras merenggangkan lengannya. Ia menguap. "Aku tidur dulu. Kamu kalau mau pulang, jangan lupa kunci pintu." Begitu saja Pras masuk ke dalam kamarnya. Anton baru saja akan keluar rumah, ketika ponselnya berbunyi. Waduh bunda ratu nih. Takut-takut Anton membuka ponselnya. Kasih tahu bosmu. Saya sudah kirimkan beberapa foto wanita. Suruh dia pilih, dia suka yang mana? Nanti saya atur pertemuan dengan Pras secepatnya. Anton menggeleng. "Kasihan amat sih Pak Bos." "Ganteng iya, banyak duit pula. Tapi cari istri saja kayak cari jarum di tumpukan batu kali." Kebiasaan Nurul yang bangun pagi, membuatnya langsung membuka mata begitu mendengar bunyi alarm di ponselnya. Bergegas ia mandi dan bersiap pergi ke butik. Joya meletakkan semangkok lontong sayur di atas meja, juga secangkir teh manis hangat. "Silahkan bu bos." Nurul mulai menyuap. Perutnya lapar sekali. Entah kenapa beberapa hari ini malas makan. Effek melihat kemesraan Lukman dan Sekar, bawaannya mau muntah! Sebentar saja semangkok lontong itu sudah berpindah ke perutnya. Nurul kekenyangan. Joya menggeleng. Ia baru saja merapikan dandanannya. "Kalau kamu sudah sarapan, kita langsung ke butik, baru ke kantor orang itu." Setelah Joya selesai, mereka pun berangkat ke butik Nurul. Ketika ia sampai, butik sudah dibuka dan beberapa karyawan toko sedang membereskan barang pajangan. Nurul berulang kali menatap penampilannya di kaca. Ia akan datang ke sebuah perusahaan besar dan ternama. Jadi penampilannya juga harus di jaga. Menghindari pertanyaan dari satpam atau mungkin receptionist yang bekerja di sana, ia harus tampil rapih. Setelan kerja dengan semi jas warna maroon dan celana panjang hitam. Nurul sudah seperti pekerja kantoran. "Bu Bos cantik," puji Joya. "Sayangnya cantik saja kurang untuk membuat suamiku setia." Nurul mengibaskan rambutnya yang hitam legam itu supaya terlihat lebih rapi. "Bener juga sih bu bos." Nurul meraih tas tangannya. "Kita jalan sekarang Joya," ajak Nurul sambil melangkah ke arah luar. Beberapa pegawai Nurul mengangguk hormat ketika atasannya lewat di depan mereka. Oke, Prasetya Alfarizy. Kita akan bertemu hari ini. Aku ingin tahu seperti apa tampangmu, hingga istrimu itu harus mengejar-ngejar suamiku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD