AWAL

1471 Words
Mulut manis tatapan menggoda Duhai engkau hamba dunia Bisakah kau sejenak berpikir Jika satu saat tempat ini akan terjungkir . Wajah mulus bibir yang indah Mungkin kau lupa akan sejarah Apa kau tau tentang suatu kisah Dimana semuanya sekarang sudah sah! *** Seth sedang termenung melihat tumpukan berkas di atas mejanya. Sudah mulai menggunung, semuanya ada beberapa file perjanjian dengan klien yang sudah ditinjau oleh bagian legal sisanya tinggal ditandatangani, tapi dia malas sekali hari ini untuk tanda tangan. Semuanya karena wanita itu. Dia benar-benar mengganggu ketenangan Seth saat ini, wanita itu tak hentinya mencoba mendekatinya, jelas sekali wanita itu bukan tipenya. Memang betul kalau dia cantik, seksi, pintar tak ada yang salah dari itu, tapi Seth tak suka dengannya. Mungkin laki-laki diluar sana jelas akan sangat tergoda dengan wanita itu, tapi sayangnya dia bukan tipe Seth, baginya wanita ini sangat berlawanan sekali, seratus delapan puluh derajat dengan wanita yang dia impikan. Jika saja dia masih melajang sampai saat ini karena dia sangat selektif dalam menentukan pasangan hidup, dia tak ingin sembarang memilih wanita-wanita yang terkadang hanya ingin hartanya saja. Dia tak mau rumah tangganya hancur seperti teman-temannya kebanyakan karena menikah dengan wanita yang gayanya terlalu tinggi, hidup penuh kemewahan istilah kerennya hedon life dan juga tak bisa menjadi istri yang baik. Dia menginginkan sosok yang sederhana saja, yang bisa membuat hatinya merasa damai jika melihatnya. Dia sangat suka wanita seperti itu, apalagi jika wanita itu menggunakan pakaian yang tertutup, dan menundukkan pandangannya kepada laki-laki yang bukan muhrimnya. Namun, kata orang jodoh itu ibarat cerminan diri kita sendiri, jika saat ini dia tak bisa kau miliki mungkin saat ini kita tak sama dengannya. Seth berharap dapat menikahi wanita yang baik, jika sampai saat ini dia masih belum menemukannya bisa jadi saat ini dia belum mempersiapkan diri dengan baik. Baru saja dia akan tenang, kali ini wanita itu kembali mengganggunya, mengirim pesan untuk kembali bertemu dan membahas tentang kerjasama. Jujur dia sangat malas sekali melayaninya. Seth tak meresponnya, dia lalu mematikan handphone itu dan melemparnya asal ke atas meja yang masih penuh dengan tumpukan berkas, kemudian merenggangkan dasinya. "Woi, kenapa? Dia lagi?" Tanya Abrar, sahabatnya dan juga salah satu direktur diperusahaan ini. "Entahlah, gue males banget sama nih cewek satu. Gedek gue!" Dia mendengus kesal. "Wajar Bro namanya juga usaha, siapa tau lo mau bikin kerjasama, tapi kalo diliat dari yang dia sampein menurut gue sih gak ada yang salah ya dizaman sekarang ini memang apa-apa perlu mobilisasi yang cepat, termasuk proses pembayaran dan lain-lainnya." Abrar memberikan masukan. "Iya gue ngerti, gue tau tentang itu. Gue itu yang malesnya, dia ini ngebet banget maksa gitu loh biar dana operasional kita dipindahin ke tempatnya dia. Terus nawarin ini itu, ya kan gue males aja kali. Maksud gue, biarin gue berpikir dulu dan juga one thing that you must be know! Dia ini sepertinya tipe cewek yang akan melakukan berbagai cara agar keinginannya tercapai. Jangan-jangan nih cewe bispak!" Kali ini Seth benar-benar kesal. "Ngucap Bro! Lo jangan ngomong asal, negatif thinking ga boleh loh, dia bisa jadi seperti itu tapi dia juga gak mungkin sampe segitunya, dia ini temen gue waktu sekolah dulu, gue yakin nih anak ngomongnya aja yang gede tapi dia untuk hal yang begitu gak mungkin deh." Abrar berkata dengan penuh keyakinan. "Everybody Changing! Lo harus ingat itu Bro! Mana lo tau sepanjang perjalanan lo gak ketemu sama dia, tuh anak malah ke jalan yang sesat. Buktinya sekarang, dia udah jadi tentara Riba!" Seth berkata dengan nada dibuat santai padahal tidak seperti itu. "Weitz! Kontroversi banget ucapan lo barusan." Abrar berkata memperingatkan. "Sorry kelepasan." Jawabnya simpel. "Seth, lo jangan sampe terlalu begitunya, karena kita ini sudah gak bisa lepas dengan hal begitu saat ini." Lagi-lagi Abrar mengingatkan. "Udahlah ya Zuhdi Abrar, kan lo sendiri tau mereka itu ibarat rentenir yang dilindungi undang-undang, apapun yang mereka lakukan sah dimata hukum. Harusnya mereka yang kerja disana itu baca sejarah, awalnya bagaimana bisa tercipta lembaga itu." Seth mulai ngomong tentang sejarah dan akan membuat mengantuk. Abrar hanya tersenyum dia tahu laki-laki ini memang gak terlalu ingin berhubungan dengan Bank. Dia hanya pakai bank untuk kegiatan operasional saja dan itu juga dia buat surat pernyataan tidak mengambil keuntungan dari dana itu, dia tak menerima bunga ataupun bagi hasil dari simpanan uangnya. "Oke tapi lo gak perlu sampe ngomong gitu. Gak baik." Abrar berkata pelan sambil tersenyum. "Udahlah, gue lagi males sekarang, gue mau review ini berkas-berkas dulu. Kalo lo ada yang mau disampein gih cepet ngomong karena gue udah males liat lo." Ucapan Seth ini sih sebenarnya biasa saja, karena dia memang seperti itu pada Abrar yang bahkan sudah dianggapnya sebagai saudaranya sendiri Karena Abrar jugalah akhirnya dia sekarang seperti diteror oleh wanita ini. Dia bernama Zeline, wanita karir yang sukses diusia muda. Jika dipikir-pikir wajar saja dia sudah menjadi Branch Manager di Bank Swasta Nasional terkenal, Palem Bank karena perjuangannya ini tau sendiri, dia bahkan rela memohon pada orang sampai akhirnya dia bisa mendapatkan apa maunya. Kalau Seth bilang sih, wanita ini tak tahu malu. Dia malas untuk menanggapinya. *** Ibunya menelpon Seth melalui sambungan telpon kantor. Dia baru menyadari ternyata dari tadi memang dia mematikan handphonenya karena wanita yang bernama Zeline. "Kau sibuk sekali Nak? Apa kau banyak kerjaan?" Tanya Ibunya dengan lembut. "Gak juga Bu. Kenapa?" Tanyanya. "Ibu hanya ingetin, nanti kamu jangan lupa yang Ibu bilang semalam itu loh, Ibu minta tolong kamu jemputin temennya Papa yang dateng dari luar kota itu, dan tolong anterin kerumah anaknya." "Ah, iya hampir aja aku lupa." Seth baru ingat janjinya semalam dia menepuk keningnya. "Jam berapa pesawatnya Bu?" Tanya Seth. "Katanya sih jam tujuh malam mendarat. Ibu minta bantuannya ya, karena Papamu lagi ada kerjaan yang kemarin itu loh, dan anaknya sedang ada urusan diluar kota, sebenarnya dia juga datang diam-diam karena mau kasih kejutan dengan anaknya itu." Ibunya bercerita panjang lebar. Seth mencari handphonenya yang dia lempar keatas meja dan ketemu, dia langsung menghidupkan handphone itu sambil menempelkan tangan di telinganya, sebenarnya dia tak terlalu mendengarkan celotehan ibunya ini. Malas. Dia tahu hanya satu: jemput teman Papanya dan antarkan ke rumah anaknya di kawasan Paradise Continent. Salah satu perumahan mewah dan yang masuk saja harus melewati berbagai pemeriksaan. Seth memang kaya, tapi dia tak tinggal ditempat seperti itu. Dia bersama orang tuanya tinggal di tempat biasa saja. Tak terlihat seperti orang yang memiliki banyak uang. Kadang orang berkata mereka seperti tak menikmati hidup. Tapi seperti itulah kondisi keluarga mereka saat ini. Rumah yang tak terlalu besar, tapi ada dimana-mana, rumah itu dipergunakan sebagai rumah singgah, dan urusan kegiatan sosial lainnya. Sedangkan Seth dia memilki apartemen di dekat katornya, dia jarang untuk pulang ke rumah karena biar lebih mudah untuk datang dan pergi dari kantor. Ibu dan Papanya tak ingin memiliki rumah besar ya karena itu tadi, mereka hanya menunggunya berdua saja jadi mereka keberatan untuk tinggal di rumah yang besar yang disediakan oleh Seth. "Ibu, nanti kalau sudah dibandara aku telpon Ibu lagi. Tapi sebelum ini apa Ibu ada pegang nomor temannya papa ini?" "Nanti ibu kirimkan via chat messenger." Ibunya berkata dengan semangat. Jujur saka Seth ini malas untuk menjemput orang itu, dia sebenarnya kesal kenapa juga dia harus capek-capek jemput orang tua orang lain. Ibunya juga tak membolehkan dia menyuruh supir untuk menjemput temannya ini. Setelah ibunya mematikan sambungan telpon, Seth segera membereskan berkas di atas meja tersebut. Dia harus segera siap-siap untuk pergi menjemputnya. *** Sesaat memasuki kawasan perumahan itu, Berbekal alamat yang diberikan teman papanya itu, akhirnya mereka sampai juga di depan rumah yang terlihat minimalis. Seth membantu mereka menurunkan koper, lalu mereka menekan bel beberapa kali. Tak lama pintu terbuka. Seth jelas terkejut melihat wanita yang ada dihadapannya ini. Wanita ini hanya mengenakan tanktop tipis dan hotpant! Rambut bewarna coklat gelap dan di-higlight dibeberapa helainya dengan warna coklat terang. Dia wanita yang sangat membuat Seth benar-benar merasa terganggu belakangan ini. Dia adalah Zeline! Yah wanita itu. "Papa ... mama..." ucapnya terkejut dan dia lebih terkejut lagi saat melihat laki-laki yang mengantarkan orang tuanya adalah Seth Adelard Adam! "Pak ... Adam?" Ucapnya tak percaya sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya saking terkejutnya. "Loh kalian sudah saling kenal?" Tanya papanya. Seth malas untuk menjawab, dia tak tahu bencana apalagi yang akan dia hadapi setelah kejadian hari ini. Dia tak menyangka bahwa hidupnya benar-benar luar biasa kebetulan! "Ah iya, kita memag sudah kenal tapi belum lama sih. Eh. Masuk yuk ..." ajaknya dengan tersenyum sangat ramah pada Seth, jujur saja Seth makin keki dengan wanita ini. Dia benar-benar aneh! "Tak perlu, lagipula aku masih ada urusan lainnya." Tolaknya. "Wah gak masalah loh Nak Adam. Masuk aja dulu." Ibu Zeline mempersilahkan masuk. Zeline hanya tersenyum manis saja. "Saya gak enak tante, sudah malam. Saya permisi dulu." Dengan cepat dia berjalan ke mobilnya. 'Sial!' Umpat Seth sambil memukul kemudinya lalu menghidupkan kendaraannya dan segera melaju dengan cepat keluar dari komplek perumahan itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD