#2

1013 Words
"Kamu nggak papa kan?" Nanta menatap wanita yang ia tabrak dengan kawatir. "Nggak papa, cuman lutut aja yang berdarah, saya yang salah, nyebrang nggak liat-liat, udah makasih,  saya ada kuliah pagi ini takut telat," Devi melangkah cepat dan Nanta mengejarnya. "Siapa namamu, jurusan apa?" tanyanya lagi. Devi tetap berjalan tergesa-gesa dan berteriak.. "Deviii,  sastra Indonesia." Dan Devi menghilang di belokan menuju kampusnya. Hari-hati selanjutnya Nanta sering berada di kampus Devi hanya menunggu Devi selesai berkuliah dan mengikuti langkah Devi ke tempat kosnya. "Kamu jangan ke sini lagi deh,  aku tahu kamu mencintaiku, kita nggak bakalan cocok sampe kapan,  kamu terlalu kaya untuk aku yang kere dan terlalu tampan untuk aku yang model bar-bar kayak gini," ucap Devi di depan tempat kosnya. Nanta hanya menatap wajah cantik sederhana yang bibirnya tidak pernah tersapu lipstik. "Aku mencintaimu Dev, tiga bulan aku mengejarmu apakah belum cukup?" tanya Nanta menatap Devi dengan pandangan memelas. "Tidak akan pernah ada jalan bagi kita, kamu ingat saat pertama kamu mengajakku ke rumahmu, padahal cuman berdiri bentar di teras rumahmu,  ibumu sudah menatapku seperti menatap sampah, terlihat jijik dan hampir muntah, nggak ada jalan bagi kita Nanta, sudahlah, mumpung baru tiga bulan kamu mencintaiku, pulanglah,  pergilah dan jangan temui aku lagi," ujar Devi lelah. "Kau tidak mencintaiku?" tanya Nanta memelas. "Tidak," jawab Devi tegas. "Nggak mungkin Dev,  aku melihat binar di matamu jika aku menemuimu di kampus," ujar Nanta lagi. "Kamu salah,  aku nggak punya perasaan apapun padamu,  orang miskin macam aku dilarang mencintai orang kaya, akan semakin sakit dan terhempas jika menuruti kata hati, pulanglah,  jangan kembali lagi," Devi masuk ke tempat kosnya dan tidak ke luar lagi. **** Sebulan sudah Nanta tidak menemuinya membuat Devi semakin tenggelam dalam kesibukannya menyusun skripsi, harus Devi akui ada yang hilang dari hatinya saat Nanta tidak menemuinya lagi, sering Devi melamum di taman kampusnya, atau saat ia berada di perpustakaan tak terasa air matanya mengalir. Devi juga heran,  bagaimana mungkin ia bisa jatuh cinta pada laki-laki lembut dan santun seperti Nanta,  ia bukan tipenya,  Devi lebih menyukai laki-laki yang tak jauh dari dunianya yang tanpa aturan, berbicara seenaknya dan bertingkah menyebalkan. Sampai selesai yudisium, Devi tak melihat Nanta di kampusnya,  ia harus menghilangkan bayangan Nanta karena ini keinginannya. Sampai akhirnya Devi jatuh sakit dan diantar Nadia sahabatnya menuju klinik kampus. Badan Nadia yang kurus agak tertatih memapah Devi yang terlihat lemas. Sampai akhirnya tiba-tiba Nanta meraih tubuh Devi,  menggendongnya masuk ke dalam mobil, menyuruh Nadia kembali ke tempat kosnya dan memastikan akan mengembalikan Devi setelah dari dokter. **** "Kamu menyakiti dirimu sendiri Dev,  menyuruhku pergi dan kamu tidak siap aku tinggalkan, jangan kau kira aku tidak tahu saat kau sering melamun di taman kampusmu dan kadang menangis di perpustakaan,  katakan aku t***l menguntitmu,  memang iya,  aku mengikutimu ke mana saja,  hanya ingin memastikan apakah perasaanku salah,  ternyata benar kamu juga mencintaiku kan,  kita hadapi berdua rintangan ini Dev, akan aku hadapi ibuku jika dia menolakmu," ujar Nanta setelah dari dokter dan berbicara lama di dalam mobil. **** Seperti perkiraan Devi,  ibu Nanta menolaknya habis-habisan mengatainya telah mengguna-gunai anaknya dan lain-lain ujaran yang menyakitkan, dan mengancam Nanta akan mencabut hak waris dalam keluarganya. Yang mengejutkan Nanta melawan ibunya, ia mengatakan akan melepas semua hak warisnya dan akan pindah ke Surabaya mengikuti Devi setelah wisuda. Ibunya memeluk kaki Nanta,  tidak rela anak laki-laki satu-satunya meninggalkannya. Akhirnya pernikahan sederhana berlangsung setelah keduanya wisuda, malah terlalu sederhana untuk ukuran keluarga Nanta yang kaya raya,  memiliki lima hotel di Jogjakarta. Devi mendapat perlakuan manis jika berada di dekat Nanta namun jika Nanta berada di kantor ia akan mendapat caci maki,  u*****n dan bahkan diludahi oleh ibu mertua dan adik iparnya. Devi tak pernah menceritakan deritanya pada Nanta,  sampai akhirnya Nanta menerima tawaran orang tuanya untuk melanjutkan kuliahnya di Singapura, ada keinginan ikut namun ibu mertuanya sejak awal melarang dengan alasan,  kawatir mengganggu konsentrasi Nanta. Hingga datang badai yang membuat Devi terusir dari rumah ibu mertuanya. **** Hari pertama Devi terpisah dari Sena dan Ejak,  pagi-pagi sekali,  ia telah ditelpon oleh dua anaknya yang mengabarkan bahwa mereka telah sampai di Jogja dan besok akan mulai berpraktik. Ada perasaan resah di hati Devi namun ia tepis jauh-jauh. Lamunannya sedikit terganggu saat ia menerima telepon dari Steven anak mama Sisil yang mengingatkannya bahwa saham perusahaan sudah dibagi atas namanya dan Steven, serta sebuah rumah di Italia dihibahkan atas namanya oleh mama Sisil, meski Devi menolak dengan keras tapi wasiat dari mama Sisil benar-benar dilaksakan oleh Steven,  sebagai salah satu bentuk terima kasih karena telah merawat mamanya sampai akhir hayatnya. Setahun lalu mama Sisil meninggal karena jantung koroner meski telah diusahakan berbagai pengobatan namun akhirnya ia menyerah juga pada penyakit yang telah lama menggerogotinya. Kini Devi benar-benar sendiri hanya beberapa karyawan toko rotinya yang kadang menemaninya saat ia sendiri. Devi menyediakan beberapa kamar di belakang toko rotinya bagi pegawainya yang belum mampu menghidupi dirinya. **** Devi telah merampungkan novel terbarunya yang mengisahkan perjuangan hidup sepasang anak manusia yang akhirnya bisa hidup bahagia, novel bergenre dewasa ini akan segera ia kirim pada penerbit yang telah berkali-kali menghubunginya karena akan segera diedit, lalu proses layout serta mencari cover yang sesuai, dan turun cetak,  tinggal promosi dan distribusi. Selama ini Devi tak pernah memperlihatkan wajah aslinya sebagai penulis disemua bukunya ia tak pernah menyertakan foto, nama pena yang ia gunakan serta tahun lahir ia sembunyikan,  semuanya semata hanya agar ia aman dari jangkauan keluarga suaminya. Devi selalu menolak jika ada undangan pelatihan menulis menjadi narasumber di luar Bali, ia memilih jalur aman. **** Jam sebelas malam saat Devi mulai merebahkan badannya ia menerima telepon dari Sena dan Ejak. Seperti biasa Sena lebih banyak bicara,  Ejak hanya kata ia dan tidak yang keluar dari mulutnya. "Seneng deh Bun, hotelnya besar dan pegawai di sana ramah-ramah,  pemiliknya baik juga, tadi kami 20 orang diperkenalkan, seperti kata Bunda kami nggak nyebut nama belakang kami," ujar Sena tersengar bersemangat. "Di hotel apa sayang kamu praktiknya?" tanya Devi sambil ngantuk-ngantuk. "New Heritage Hotel, Bun, dan nama CEOnya singkat Nanta, bujang lapuk lagi, ganteng tapi gak laku," terdengar tawa Sena dan Ejak. Seketika tangan Devi gemetar dan ponselnya terlepas dari genggamannya..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD